Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Megawati Institute Faishal Rahman menuturkan empat faktor penyebab ketimpangan di Indonesia. Ada empat faktor yang mendorong terjadinya ketimpangan di Indonesia. Antara lain akses pendidikan dan kesehatan yang masih terbatas. Kemudian, peluang tenaga kerja kasar untuk menerima kenaikan gaji, angkanya lebih sedikit dibandingkan pekerja yang memiliki keahlian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Terpusatnya kekayaan pada segelintir orang, ujar Faishal juga salah satu hal yang mendorong terjadinya ketimpangan di Indonesia. Selain itu, ketimpangan resiliensi rentan terhadap guncangan ekonomi. “Hal tersebut akan mempengaruhi alokasi pendapatan terhadap pendidikan dan kesehatan,” ujar Faishal di Kantor Megawati Institute, Rabu, 19 Maret 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Faishal, rata-rata pertumbuhan penghasilan 40 orang terkaya di Indonesia sebesar 17 persen dalam kurun waktu 2006 hingga 2016. Angka tersebut tidak sejalan dengan pertumbuhan perekonomian nasional, dengan rata-rata 6 persen dan pendapatan perkapita yang rata-ratanya hanya 4 persen dalam kurum waktu 10 tahun.“Laju kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia tiga kali lebih cepat dari pertumbuhan nasional selama tahun 2006 hingga 2016.” Kata dia.
Faishal menjelaskan akumulasi dari pendapatan 40 orang terkaya tersebut selama satu tahun mencapai US$ 16,8 miliar atau sekitar Rp 231 triliun. Dia menuturkan satu orang terkaya di Indonesia bisa menghasilkan US$ 400 juta atau sekitar Rp 5,5 triliun selama satu tahun.
Jika bentang waktunya dipersempit, kata Faishal, penghasilan orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 36 juta perbulan atau sekitar Rp 400 miliar. Angka tersebut menjadi timpang, ketika penghasilan buruh tani di Indonesia hanya Rp 1,5 juta per bulan.
Faishal mengatakan jumlah buruh tani di Indonesia sebanyak 37 juta orang. “Penghasilan satu orang konglomerat di Indonesia, hampir sama dengan penghasilan 37 juta buruh tani se-Indonesia,” tutur dia.
Buruh tani sendiri merupakan penyumbang 29,68 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Faishal berujar, kualitas tenaga kerja Indonesia masih rendah. Hal tersebut ditunjukkan dari persentase angka tenaga kerja berpendidikan akhir Sekolah Dasar (SD) masih mendominasi. Di tahun 2017 42,1 persen pekerja Indonesia merupakan lulusan SD.
Megawati Institute memberikan beberapa rekomendasi atas hasil penelitiaannya soal ketimpangan ekonomi di Indonesia. Salah satunya ialah mendorong inovasi yang mampu meningkatkan keahlian tenaga kerja. Pemerintah juga diharapkan membuat lapangan kerja pedesaan di luar usaha tani. “Garis kemiskinan merupakan representasi kebutuhan masyarakat,” ucap Faishal.