Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Perpu Atur Defisit APBN, Mahfud MD: Kalau Tak Setuju, Tolak Saja

Menteri Mahfud MD menyebutkan, karena pertimbangan defisit APBN bisa melebihi dari 3 persen yang diatur UU saat ini maka dirumuskan Perpu Corona.

20 April 2020 | 11.15 WIB

Menko Polhukam Mahfud MD didampingi Menkes Terawan Agus Putranto mengikuti dzikir dan doa bersama di Masjid Agung Natuna, Kepulauan Riau, Kamis, 6 Februari 2020. Dzkir dan doa tersebut bertemakan "Dari Natuna Selamatkan Indonesia". ANTARA/M Risyal Hidayat
Perbesar
Menko Polhukam Mahfud MD didampingi Menkes Terawan Agus Putranto mengikuti dzikir dan doa bersama di Masjid Agung Natuna, Kepulauan Riau, Kamis, 6 Februari 2020. Dzkir dan doa tersebut bertemakan "Dari Natuna Selamatkan Indonesia". ANTARA/M Risyal Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan maksud dari ketentuan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dimungkinkan melebihi 3 persen selama tiga tahun berturut-turut hingga 2022. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang alias Perpu Nomor 1 Tahun 2020.

Menurut dia, ketentuan itu dikeluarkan untuk memberi landasan kepada kebijakan pemerintah lantaran berdasarkan UU yang ada saat ini defisit tidak bisa lebih dari 3 persen. Padahal, dalam situasi wabah Virus Corona alias Covid-19 saat ini, nilai tukar rupiah cenderung melemah dan masyarakat mengalami dampak ekonomi yang mesti dibantu.

"Sehingga, mungkin saja terjadi defisit lebih dari 3 persen, maka pemerintah membuat Perpu sebagai agenda kegentingan yang memaksa," ujar Mahfud MD saat diwawancarai Staf Ahli Menteri Keuangan Nufransa Wira Sakti dan diunggah di YouTube, Ahad, 19 April 2020. "Kalau DPR tidak setuju, ditolak saja nanti. Kita akan lihat reaksi rakyat atas penolakan itu."

Menyitir Undang-Undang Dasar 1945, Mahfud mengatakan pemerintah bisa mengeluarkan Perpu tersebut dalam kondisi yang genting dan memaksa. Kondisi yang dianggap sebagai genting dan memaksa saat ini, tutur dia, adalah ketika pemerintah perlu mengambil tindakan penting dan butuh dana banyak, namun perangkat hukumnya tidak ada.

Karena itu, dengan tidak adanya perangkat hukumnya, Mahfud mengatakan pemerintah mengambil keputusan penerbitan Perpu. "Kalau langsung bertindak itu nanti salah," ujar dia. Perpu itu pun akan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan apabila disetujui bisa menjadi Undang-undang. Sementara, kalau tidak disetujui maka harus ada solusinya.

Secara substansi, Mahfud mengatakan bahwa DPR setuju ada kebijakan membantu rakyat harus ditempuh. Walau mekanisme akan ditinjau anggota dewan. "Kita enggak pernah punya niat korupsi, ditolak pun tidak dilarang," kata dia. Ia mengatakan Perpu itu tidak membuat pemerintah kebal hukum dari tindak pidana korupsi.

Pernyataan ini membantah anggapan bahwa salah satu pasal di beleid tersebut memberikan imunitas kepada pemerintah dalam mengambil kebijakan. "Ada atau tidak pasal itu, kalau nanti ada korupsi di pelaksanaannya, tidak ada yang kebal hukum. Kalau tidak ada korupsinya, ya jangan dipersoalkan. Ini kan hukum dalam keadaan darurat," kata dia.

Sebelumnya sejumlah pihak menganggap Pasal 27 Perpu tersebut bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Pada pokoknya, Pasal 27 itu menyatakan biaya yang pemerintah keluarkan tidak dihitung sebagai kerugian negara melainkan upaya penyelamatan ekonomi. Pemerintah, khususnya pelaksana Perpu Covid-19, tidak bisa dituntut secara perdata atau pidana dalam menjalankan tugasnya yang didasarkan pada itikad baik.

Mahfud mengatakan saat ini sejatinya sudah ada juga Undang-undang yang mengatur soal kekebalan pemerintah, bukan hanya melalui Perpu ini. Ia menyebut salah satunya di UU Restitusi Pajak. "Tapi kalau korupsi, siapapun dalam implementasinya dibawa ke penjara juga," ujar dia. "Tapi pembuatan Perpu dan misinya itu sendiri dianggap tidak masalah, selama ini UU sudah mengatur itu kenapa baru ramai sekarang."

Apabila di kemudian hari terjadi dugaan tindak pidana korupsi, kata Mahfud, maka pihak terduga tetap bisa dituntut. Namun, ia mengatakan yang dimaksud dengan korupsi adalah ada perbuatan korupsi dan ada itikad jeleknya. "Kalau tidak ada itikad jelek ya enggak apa apa," tutunya.

Walau demikian, ia mempersilakan bagi pihak yang berkeberatan dengan Perpu Corona itu untuk melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Ia pun menyerahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat ataupun Mahkamah Konstitusi untuk menyikapi persoalan ini. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus