Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) buka suara setelah lembaga pemeringkat Standard & Poor's (S&P) kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada peringkat BBB, satu tingkat di atas investment grade dengan outlook stabil. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, afirmasi peringkat tersebut mencerminkan kepercayaan dunia internasional terhadap prospek perekonomian Indonesia yang baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Serta mencerminkan keyakinan terhadap langkah-langkah sinergi kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dan BI," kata Perry dalam keterangan resmi pada Rabu, 31 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sovereign Credit Rating merupakan penilaian terhadap kemampuan pemerintah untuk melunasi utangnya. Menurut Perry, afirmasi peringkat dari S&P tersebut memperkuat keyakinan lembaga pemeringkat utama seperti Fitch dan Moody's yang terlebih dahulu memberikan afirmasi untuk Indonesia pada awal 2024.
"BI terus terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk memastikan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan yang mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, di tengah tantangan ketidakpastian global," tutur Perry.
Dalam penilaiannya, S&P meyakini bahwa prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap solid. Di samping itu, ketahanan eksternal dan beban utang pemerintah juga diyakini terjaga, didukung oleh kerangka kebijakan moneter dan fiskal yang kredibel.
S&P memproyeksikan rerata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tiga sampai empat tahun ke depan tetap terjaga di kisaran 5 persen. Pertumbuhan ekonomi didorong oleh permintaan domestik yang tetap kuat, serta belanja pemerintah dan investasi swasta yang meningkat.
Kemudian, S&P menilai ketahanan sektor eksternal akan tetap terjaga pada jangka menengah. Kinerja sektor eksternal didukung oleh prakiraan kenaikan ekspor, sejalan dengan implementasi kebijakan penghiliran di tengah melemahnya harga komoditas. Selain itu, inovasi strategi operasi moneter yang pro-market dengan penggunaan instrumen berbasis pasar dinilai semakin meningkatkan fleksibilitas kebijakan moneter.
Pada sektor fiskal, S&P memandang pemerintah tetap berkomitmen untuk menjaga defisit fiskal di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Secara umum, S&P meyakini pemerintahan baru akan memperhatikan aspek keberlanjutan kebijakan, guna menjaga kredibilitas serta menghindari disrupsi ekonomi dan keuangan yang signifikan.