Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pers Islam Maju

Perkembangan pers Islam di Indonesia & kedudukan pers Islam di dunia ke-3. dalam usaha memperkuat peranan & pengaruh pers Islam, liga Islam sedunia menyelenggarakan muktamar media massa Islam di Jakarta.(md)

30 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU karikatur di koran The Christian Science Monitor, AS, menggambarkan Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusl Iran, tengah mengendarai keledai menuju masa silam, tahun 650. Sedang Wakil Perdana Menteri RRC, Deng Hsiao-ping, tampak siap terbang menjangkau modernisasi di tahun 2000. Olok-olok dan kritik serupa itu kerap dikemukakan pers Barat. Hingga revolusi Iran yang sering dikaitkan dengan revolusi Islam Iran tampak tidak simpatik. Tapi koran Iran maupun koran Islam di negara lain tak mampu melancarkan pemberitaan balasan. Kedudukan pers Islam, apalagi di Dunia Ketiga, memang lemah. Dalam usaha memperkuat peranan dan pengaruhnya itu, Rabithah Alam Islami (Liga Islam Sedunia), 1-4 September ini menyelenggarakan Muktamar Media Massa Islam Sedunia I di Jakarta. "Di muktamar itu, kami akan saling bertukar pikiran dan pengalaman," kata Harmoko, Ketua Panitia Penyelenggara. Diperkirakan 250 peserta dari 40 negara akan hadir. Muktamar ini antara lain bertujuan menggalakkan Kantor Berita Islam (INA) yang berdiri di Mekkah sejak 1964. Perkembangan pers Islam di Indonesia sendiri yang berpenduduk mayoritas Islam, ternyata memprihatinkan. Malahan kini keadaannya merosot bila dibanding dengan periode awal Kebangkitan Nasional (1908), menurut kupasan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat (15 Juni 1979). Pada periode tersebut di hampir setiap kota besar muncul berbagai penerbitan Islam. Majalah Al Munir--diasuh oleh Abdullah Ahrad, Jamil Jambek, dan Abdul Karim Amrullah (Hamka) muncul 1 April 1911 di Padang. Empat tahun kemudian, setelah Al Munir mati, Zainuddin Lebai El Yunusi melanjutkan penerbitan tadi di Padang Panjang dengan nama baru: Munirul Manar. Di Samarinda muncul majalah Penharapan (1914). Di Surabaya, Syarikat Islam menerbitkan Al Djihad, selain khadiran, Al Islam (1916). Juga di Solo, Semarang, Jakarta, Bandung dan Medan Pers Islam pernah tumbuh dengan pesat. Bahkan di Medan pernah terbentul Wartawan Muslimin Indonesia dipimpin Zainal Abidin Ahmad. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, penerbitan pers Islam lebih banyak terpusat di Jakarta. Tapi menjelang G-30-S/ PKI banyak penerbitan Islam rontok diberangus penguasa. Setelah Orde Baru berkuasa, satu persatu penerbitan tadi bangkit kembali, tapi agak payah. Di antaranya di Jakarta tinggal majalah bulanan Risalah Islamiyah, Harmonis, iblat, Suara Masjid, Pani Masyarakat, Wahyu dan koran Pelita. Sedang koran Masa Kini dan majalah Suara Muhammadiyah terbit di Yogyakarta, koran Adil di Solo, dan majalah Al Muslimun di Bangil. Umumnya penerbitan itu kekurangan dana ataupun tenaga jurnalistik yang trampil. Buya Hamka, Pemimph Umum Panji Masyarakat, mengakui kelemahan pers Islam di sektor manajemen. "Tapi pers Islam sekarang sudah bertambah baik," katanya. Ialah tengah bulanan Panji Masyarakat (oplah 43.000) terbit pertama kali 15 Juni 1959, dengan modal pinjaman dari seorang hartawan. Peminatnya di daerah banyak. Ketika memuat artikel Demokrasi Kita oleh Bung Hatta (1960), ia dibredel penguasa. Kini, walaupun memuat sedikit advertensi, ia tampaknya dapat bertahan hidup. Sementara itu bulanan Al Muslimul (oplah 12.000) yang merupakan peneritan pesantren Persatuan Islam (Persis) Bahgil kini mencapai usia 26 tahun. Setiap bulan sekitar 30 surat tiba di meja redaksinya, yang bertanya dari soal hubungan suami-istri sampai cara mengatur tangan mayat. Di Yogyakarta, diam-diam majalah dwi mingguan Suara Muhammadiyah (oplah 20.000) kini memasuki usia ke-60. Ketika terbit pertama kali ia memakai huruf dan bahasa Jawa, dan masih mendapat subsidi Pucuk Pimpinan Muhammadiyah sampai 1965. Tapi sejak 4 tahun lalu, Suara Muhammadiyah berganti membantu PP Muhammadiyah. Dengan penghasilan iklan yang lumayan, ia di Yogya dikenal berani memberikan honorarium tinggi pada para penulis. Penerbitnya kini merencanakan membeli percetakan sendiri. "Mudah-mudahan bila nanti sudah cetak offset pembacanya bertambah," kata H. Ahmad Basuni, Pemimpin Umumnya. Rekannya satu kota, koran Masa Kini (d/h Mercu Suar), masih dalam periode perjuangan. Sampai-sampai gaji wartawanya, karena tidak besar, disebut gaji masa perjuangan. "Ironis memang," kata Drs. Muhadi Sofyan, Pemimpin Umumnya, "di negara yang justru mavoritas Islam pers Islam tidak maju." Tapi alhamdulillah, tidak menuju masa silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus