Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU karikatur di koran The Christian Science Monitor, AS,
menggambarkan Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusl Iran, tengah
mengendarai keledai menuju masa silam, tahun 650. Sedang Wakil
Perdana Menteri RRC, Deng Hsiao-ping, tampak siap terbang
menjangkau modernisasi di tahun 2000.
Olok-olok dan kritik serupa itu kerap dikemukakan pers Barat.
Hingga revolusi Iran yang sering dikaitkan dengan revolusi Islam
Iran tampak tidak simpatik.
Tapi koran Iran maupun koran Islam di negara lain tak mampu
melancarkan pemberitaan balasan.
Kedudukan pers Islam, apalagi di Dunia Ketiga, memang lemah.
Dalam usaha memperkuat peranan dan pengaruhnya itu, Rabithah
Alam Islami (Liga Islam Sedunia), 1-4 September ini
menyelenggarakan Muktamar Media Massa Islam Sedunia I di
Jakarta. "Di muktamar itu, kami akan saling bertukar pikiran dan
pengalaman," kata Harmoko, Ketua Panitia Penyelenggara.
Diperkirakan 250 peserta dari 40 negara akan hadir. Muktamar ini
antara lain bertujuan menggalakkan Kantor Berita Islam (INA)
yang berdiri di Mekkah sejak 1964.
Perkembangan pers Islam di Indonesia sendiri yang berpenduduk
mayoritas Islam, ternyata memprihatinkan. Malahan kini
keadaannya merosot bila dibanding dengan periode awal
Kebangkitan Nasional (1908), menurut kupasan majalah tengah
bulanan Panji Masyarakat (15 Juni 1979).
Pada periode tersebut di hampir setiap kota besar muncul
berbagai penerbitan Islam. Majalah Al Munir--diasuh oleh
Abdullah Ahrad, Jamil Jambek, dan Abdul Karim Amrullah (Hamka)
muncul 1 April 1911 di Padang. Empat tahun kemudian, setelah Al
Munir mati, Zainuddin Lebai El Yunusi melanjutkan penerbitan
tadi di Padang Panjang dengan nama baru: Munirul Manar.
Di Samarinda muncul majalah Penharapan (1914). Di Surabaya,
Syarikat Islam menerbitkan Al Djihad, selain khadiran, Al
Islam (1916). Juga di Solo, Semarang, Jakarta, Bandung dan Medan
Pers Islam pernah tumbuh dengan pesat. Bahkan di Medan pernah
terbentul Wartawan Muslimin Indonesia dipimpin Zainal Abidin
Ahmad.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, penerbitan pers Islam lebih
banyak terpusat di Jakarta. Tapi menjelang G-30-S/ PKI banyak
penerbitan Islam rontok diberangus penguasa. Setelah Orde Baru
berkuasa, satu persatu penerbitan tadi bangkit kembali, tapi
agak payah. Di antaranya di Jakarta tinggal majalah bulanan
Risalah Islamiyah, Harmonis, iblat, Suara Masjid, Pani
Masyarakat, Wahyu dan koran Pelita. Sedang koran Masa Kini dan
majalah Suara Muhammadiyah terbit di Yogyakarta, koran Adil di
Solo, dan majalah Al Muslimun di Bangil.
Umumnya penerbitan itu kekurangan dana ataupun tenaga
jurnalistik yang trampil. Buya Hamka, Pemimph Umum Panji
Masyarakat, mengakui kelemahan pers Islam di sektor manajemen.
"Tapi pers Islam sekarang sudah bertambah baik," katanya.
Ialah tengah bulanan Panji Masyarakat (oplah 43.000) terbit
pertama kali 15 Juni 1959, dengan modal pinjaman dari seorang
hartawan. Peminatnya di daerah banyak. Ketika memuat artikel
Demokrasi Kita oleh Bung Hatta (1960), ia dibredel penguasa.
Kini, walaupun memuat sedikit advertensi, ia tampaknya dapat
bertahan hidup.
Sementara itu bulanan Al Muslimul (oplah 12.000) yang
merupakan peneritan pesantren Persatuan Islam (Persis) Bahgil
kini mencapai usia 26 tahun. Setiap bulan sekitar 30 surat tiba
di meja redaksinya, yang bertanya dari soal hubungan suami-istri
sampai cara mengatur tangan mayat.
Di Yogyakarta, diam-diam majalah dwi mingguan Suara
Muhammadiyah (oplah 20.000) kini memasuki usia ke-60. Ketika
terbit pertama kali ia memakai huruf dan bahasa Jawa, dan masih
mendapat subsidi Pucuk Pimpinan Muhammadiyah sampai 1965. Tapi
sejak 4 tahun lalu, Suara Muhammadiyah berganti membantu PP
Muhammadiyah. Dengan penghasilan iklan yang lumayan, ia di Yogya
dikenal berani memberikan honorarium tinggi pada para penulis.
Penerbitnya kini merencanakan membeli percetakan sendiri.
"Mudah-mudahan bila nanti sudah cetak offset pembacanya
bertambah," kata H. Ahmad Basuni, Pemimpin Umumnya.
Rekannya satu kota, koran Masa Kini (d/h Mercu Suar), masih
dalam periode perjuangan. Sampai-sampai gaji wartawanya, karena
tidak besar, disebut gaji masa perjuangan. "Ironis memang," kata
Drs. Muhadi Sofyan, Pemimpin Umumnya, "di negara yang justru
mavoritas Islam pers Islam tidak maju." Tapi alhamdulillah,
tidak menuju masa silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo