Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah kisruh persiapan impor jagung sebanyak 100.000 ton untuk pakan ternak, Kementerian Pertanian tiba-tiba mengeluarkan rilis yang menegaskan bahwa produksi jagung dalam negeri di tahun 2018 melebihi kebutuhan sehingga surplus. Rilis itu berjudul, "Buta Hati Tidak Paham Surplus Jagung, Dalih Menyesatkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam rilis itu, Direktur Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Bambang Sugiharto menyebut pihak yang mengatakan jagung tidak surplus, berarti tidak paham hitungan. Hanya saja, Bambang tidak menyebutkan secara jelas siapa pihak yang ia sebutkan.
"Orang yang mengatakan tidak surplus kemungkinan antek-antek dan corong mafia yang selama ini diperangi Kementan. Mereka hanya asbun (asal bunyi) sehingga memperdaya publik,“ kata dia, Jumat, 9 November 2018.
Sebelumnya, rapat koordinasi terbatas dilakukan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, 2 November 2018. Dalam rapat itu, kementerian menyetujui usulan kuota impor 50 sampai 100 ribu ton jagung dari Kementerian Pertanian. Walau begitu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan hingga hari ini masih belum mengeluarkan persetujuan impor jagung. "Jadi kami masih menunggu," ujarnya di hari yang sama.
Empat hari pasca keputusan ini, Amran mengatakan impor jagung hanya untuk mengontrol harga agar stabil. Sebab, di pasaran, harga jagung telah menyentuh Rp 5 ribu per kilogram dan bisa menyulitkan para peternak.
Menurut Amran, apabila harga jagung menurun, impor tak akan dilanjutkan. “Ini baru rencana impor jagung 50 ribu oleh Bulog. Itu pun pemerintah yang impor bukan dilepas. Kalau mungkin harga turun, enggak mungkin dikeluarin sebagai alat kontrol aja,” kata Amran di Kementerian Pertanian, Selasa, 6 November 2018.
Empat hari pasca keputusan ini, Amran mengatakan impor jagung hanya untuk mengontrol harga agar stabil. Sebab, di pasaran, harga jagung telah menyentuh Rp 5 ribu per kilogram dan bisa menyulitkan para peternak. Menurut dia, apabila harga jagung menurun, impor tak akan dilanjutkan.
“Ini baru rencana impor jagung 50 ribu oleh Bulog. Itu pun pemerintah yang impor, bukan dilepas (ke swasta). Kalau mungkin harga turun, enggak mungkin dikeluarin sebagai alat kontrol aja,” kata Amran di Kementerian Pertanian, Selasa, 6 November 2018.
Sehari kemudian, giliran Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang bercerita bahwa ia sempat mempertanyakan usulan Menteri Pertanian Amran Sulaiman perihal impor jagung.
Padahal, di saat yang sama, Amran berujar Indonesia mengalami surplus produksi jagung. "Dia mengusulkan perlu impor jagung, saya juga tanya, 'katanya surplus?' Akhirnya dijawab karena harganya naik," ujar Darmin di kantornya, Rabu malam, 7 November 2018.
Adapun di kalangan pelaku usaha, sebenarnya tidak pernah ada yang menyampaikan bahwa jagung Indonesia tidak surplus. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Peternakan dan Perikanan, Anton J. Supit misalnya.
Anton hanya mengatakan persoalan harga jagung ini tidak bisa diselesaikan dengan argumen surplus semata. "Bisa saja bilang surplus, tapi jagung itu di mana. Tolong tunjukkan ada di mana," kata dia.
Lebih jauh Bambang menjelaskan, masalah ini sebenarnya cukup dihitung dari neraca perdagangan ekspor dan impor beras. Dari Januari sampai September 2018, kata dia, Indonesia sudah mengekspor 372 ribu ton jagung. Jika dikurangi dengan rencana impor 100 ribu ton, maka masih ada selisih atau surplus 272 ribu ton.
Setelah itu, angka itu ditambah dengan penghematan impor selama ini sekitar 3,5 juta ton per tahun atau setara Rp 10 triliun, maka surplus total menjadi 3,77 juta ton setahun. “Ini rumusnya 372.000 dikurang 100.000 sama dengan 272.000. Ini adalah hitungan sederhana saat pelajaran waktu SD (Sekolah Dasar),” kata Bambang.
Karena itu, Bambang menilai bahwa pihak yang perlu diaudit adalah mereka yang sejak awal selalu mengatakan perlunya impor pangan dengan dalih menurunkan harga. Bambang mencontohkan kasus yang terjadi pada komoditas beras. Menurut dia, barang impor ini masuk sehingga tidak mampu menstabilkan harga.
Beras impor, menurut Bambang, masuk sehingga suplai naik. Ini masih ditambah dengan data surplus BPS sebesar 2,8 juta ton, stok beras Bulog 2,7 juta ton, stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang dua kali lipat dari itu.
Tapi, harga tak kunjung turun sehingga ia meyakini ada mafia yang sedang bermain. "Bahkan kabar burung beredar dalam urusan impor pangan ada fee Rp 2 juta per ton. Aroma bau busuk dan amis ini yang semestinya harus audit,” ujar Bambang.
CAESAR AKBAR
Simak berita menarik terkait impor jagung lainnya hanya di Tempo.co.