Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Sejumlah KKKS mengusulkan perubahan skema bagi hasil, dari gross split ke cost recovery.
Pertamina mengkaji kemungkinan mengubah kontrak gross split.
Proses perubahan kontrak tak mudah terlaksana.
BADUNG — Pengembangan sejumlah lapangan minyak dan gas bumi terhambat kontrak bagi hasil dengan skema gross split. Pemerintah kemudian mempertimbangkan perubahan kontrak ke skema cost recovery.
Deputi Eksplorasi, Pengembangan, dan Manajemen Wilayah Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Benny Lubiantara, mengaku menerima keluhan dari sejumlah kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) soal keekonomian proyek yang menggunakan skema gross split.Â
Khususnya mereka yang mengembangkan lapangan baru setelah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split terbit. Kebijakan tersebut mewajibkan investasi baru di hulu migas menerapkan gross split, menggantikan yang berlaku sebelumnya, yaitu cost recovery. Namun, mulai 2020, pemerintah memberi kebebasan bagi kontraktor untuk memilih antara gross split dan cost recovery.
"Nah, sekarang begitu dihitung lagi, tidak ekonomis (proyek dengan skema gross split dulu)," kata Benny saat ditemui Tempo di sela acara The International Convention of Indonesian Oil and Gas 2023. Sebab, bagian perusahaan dalam kontrak berkurang ketika harus berinvestasi mengembangkan lapangan tersebut.
Kondisi tersebut mendorong sejumlah KKKS mengusulkan amendemen kontrak. Mereka ingin beralih dari skema gross split ke cost recovery. Selain itu, ada opsi lain: menambah porsi bagi hasil untuk kontraktor atau menyediakan insentif lain agar efisiensi investasi atau internal rate of return mereka layak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo