Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Proyek Panas di Kaki Rajabasa

Keengganan Menteri Kehutanan meneken izin pinjam pakai hutan untuk pembangkit panas bumi di Lampung dipertanyakan. Ia dianggap mencampuri urusan yang jadi bagian pemerintah daerah.

18 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada mulanya pidato Brigadir Jenderal Polisi Ike Edwin memukau seratusan warga Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, yang memadati Rumah Adat Marga Rajabasa, Ahad, 21 Juli lalu. Mereka antusias karena sangat jarang mendapat pemaparan tentang tata adat Lampung yang begitu lengkap. Namun, saat pidato Ike mulai menyiratkan ajakan untuk menerima proyek pembangkit listrik panas bumi di Gunung Rajabasa, suasana perlahan berbalik. Beberapa warga terlihat meninggalkan rumah panggung itu. Sebagian lagi bahkan membuka pakaian adatnya dan memilih pulang.

Menurut salah satu penduduk yang hadir, mereka mencium gelagat dan misi pria yang biasa mereka sebut dengan julukan Dang Gusti itu. Padahal Ike bukan orang sembarangan dalam tata adat Lampung Saibatin. Mantan Direktur Tindak Pidana Korupsi yang sekarang mengajar di Sekolah Pimpinan Polri di Bandung itu bergelar Gusti Batin Raja Mangkunegara. Dia semacam perdana menteri dalam Kepaksian Pernong di Kerajaan Adat Paksi Pak Skala Brak, yang dipimpin oleh sepupunya, Brigadir Jenderal Polisi Edward Syah Pernong. "Warga di sini sudah telanjur antipati pada proyek panas bumi," kata sumber Tempo yang ditemui sepekan sebelum Lebaran lalu di Rajabasa.

Penolakan oleh sebagian warga itulah yang dijadikan alasan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan untuk tak meneken izin pinjam pakai kawasan hutan bagi PT Supreme Energy sebagai pelaksana proyek. Dirancang dengan kapasitas 2 x 110 megawatt, pembangkit ini nantinya akan memakai sekitar 100 hektare lahan, 50 hektare­ di antaranya masuk kawasan hutan lindung register 3 Gunung Rajabasa.

Sebagai bagian dari percepatan penyediaan listrik 10 ribu megawatt tahap kedua, proyek di Rajabasa ini menjadi salah satu prioritas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama PT PLN. Pemerintah bahkan menjamin investasi ini melalui skema yang disebut "pemberian jaminan kelayakan usaha" (PJKU) oleh Menteri Keuangan. Selain untuk mengatasi byar-pet dan kekurangan pasokan listrik di jaringan Sumatera, proyek itu dibangun untuk mengantisipasi pertumbuhan kantong-kantong baru kawasan industri di Lampung.

Selain kepada proyek di Lampung, jaminan diberikan kepada dua proyek lain yang ditangani Supreme Energy, yakni PLTP Muara Laboh di Solok Selatan, Sumatera Barat, dan PLTP Rantau Dedap di Sumatera Selatan. Masing-masing berkapasitas 220 megawatt dan 240 megawatt. Total investasi bagi tiga proyek itu mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21,5 triliun. "Kami bekerja sama dengan Sumitomo Corp, GDF Suez, dan Marubeni," kata Direktur Utama Supreme Energy Triharyo Indrawan Soesilo atau yang akrab disapa Hengki. "Di Muara Laboh dan Rantau Dedap, proyek lancar dan izin penggunaan kawasan hutan tak ada masalah. Hanya di Rajabasa yang masih susah."

Kepala Dinas Energi dan Pertambangan Lampung Selatan Satria Jaya mengatakan ganjalan yang terjadi di wilayah mereka memang tak biasa. Sebab, kata dia, secara teknis perizinan atas proyek itu semestinya sudah bisa terbit. "Semua instansi sudah setuju. Saat ini hanya terganjal di Kementerian Kehutanan," ujarnya. Jika rekomendasi dari pemerintah daerah sudah terbit, semestinya tak ada alasan bagi Kementerian Kehutanan untuk menahan izin.

Satria mengaku tak mengetahui ada apa di balik keengganan Menteri Zulkifli menandatangani izin, karena semua syarat yang diperlukan sudah dipenuhi. Beberapa pihak lain juga mempertanyakan penolakan warga yang dijadikan alasan, karena urusan itu semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. "Alasan pastinya saya tidak tahu. Hanya Menteri Kehutanan dan Tuhan yang tahu," kata Satria.

Repotnya, dalam surat jaminan kelayakan usaha yang ditandatangani Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada Maret 2012, semua urusan perizinan itu masuk klausul yang dijamin pemerintah. Artinya, hambatan atau kerugian terhadap proyek ini, sebagai akibat dari tidak keluarnya izin yang diperlukan, akan dikategorikan sebagai peristiwa kahar atau event of force majeure. Itu berarti pula bahwa pemerintah wajib mengganti semua biaya yang sudah dikeluarkan oleh pelaksana proyek.

"Situasi ini yang kami sampaikan ke PLN melalui surat pada 24 Juli lalu," kata Hengki. Dalam suratnya, Supreme Energy menyebut angka US$ 10 juta atau Rp 100 miliar sebagai ongkos yang sudah dikeluarkan dalam eksplorasi di Rajabasa, dengan tenggat perjanjian yang semakin dekat.

1 1 1

Sehari menjelang pertemuan pada Ahad itu, ada persamuhan lain yang lebih dulu digelar masyarakat adat Lampung. Masih dengan tokoh utama Ike Edwin, undangan kali ini adalah para saibatin atau pemuka dari lima marga di Lampung Selatan. Mereka adalah marga Rajabasa, Legun, Ratu, Dantaran, dan Ketibung. Para tokoh adat ini diminta turut membujuk warga yang masih menolak dengan cara memberi pemahaman tentang pentingnya proyek itu bagi perekonomian Lampung.

Para punggawa dan hulubalang adat itu juga diharapkan bisa ikut meyakinkan bahwa pembangkit listrik ini aman, seperti yang telah mereka saksikan sendiri saat berkunjung ke area proyek serupa di Kamojang, Jawa Barat, sebulan sebelumnya. Dalam dua rombongan, Supreme memang sengaja mengajak sekitar 200 perwakilan masyarakat, lembaga swadaya, dan pemerintah berkunjung untuk membuktikan bahwa kekhawatiran mereka tentang kerusakan lingkungan akibat proyek geotermal itu tak terbukti.

"Kerajaan Skala Brak ini kan sudah ada sejak 1.700 tahun lalu," ujar Ike Edwin, yang dihubungi Jumat pekan lalu. Jadi, kata dia, meskipun kerajaan itu asalnya ada di Lampung Barat, pengaruh adat ini meliputi wilayah lain, termasuk di Lampung Selatan. "Kami bicara di sana sifatnya hanya menengahi. Karena para pemuka adat dan pemerintah setempat datang ke saya atau Pak Edward, sebagai raja ke-59 di kerajaan ini, jika ada masalah seperti kasus di Mesuji atau konflik dengan warga Bali Nuraga tempo hari."

Karena sifatnya menengahi, Ike melanjutkan, posisi kerajaan adat bukanlah sebagai pengambil kata putus terakhir untuk proyek di Rajabasa ini. Urusan itu akan dikembalikan ke pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dia hanya ingin memastikan bahwa proyek ini berguna bagi warga Lampung dan tak merusak lingkungan serta tata adat dan budaya di sana.

"Saya jamin proyek geotermal ini jauh lebih aman dan ramah lingkungan," kata Wakil Menteri Energi Susilo Siswoutomo, Kamis pekan lalu. "Tak perlu takut nanti mata air mereka akan terganggu, karena proyek ini tak akan mempengaruhi air permukaan." Wakil Menteri juga memastikan pengeboran yang akan dilakukan Supreme­ tak bakal merusak situs budaya yang disakralkan­ warga setempat. "Kalau perlu, pohon yang ditebang akan kita ganti dengan pohon baru di lokasi lain. Mau berapa kalinya? Kami jamin pasti akan disanggupi oleh Supreme."

Susilo mengatakan jaminan itu pernah pula ia sampaikan ketika bertemu dengan para pemuka adat di Lampung Selatan yang diundang ke Jakarta pada Juni lalu. "Mereka umumnya bisa paham. Hanya beberapa yang masih kaku dengan alasan macam-macam. Tapi yang sedikit itu suaranya terdengar lebih keras," ujarnya. Dia mengaku bisa memahami kesulitan Menteri Kehutanan dalam masalah ini. "Karena ini daerah asal Pak Zulkifli. Meskipun soal sosial ini sebenarnya urusan pemerintah daerah, kalau sembarangan memberi izin, barangkali Menteri Kehutanan khawatir juga kalau nanti ditolak pulang kampung."

Toh, menjelang Lebaran lalu, tak ada yang menolak Zulkifli saat ia pulang ke kampungnya di lereng Rajabasa. Tapi, saat berkunjung ke Desa Canti asal ayahnya di Kecamatan Rajabasa dan desa ibunya di Tatakan, Kecamatan Penengahan, tak urung Zulkifli mengaku sedih. Ia bercerita, di kampungnya masih terlihat ekspresi penolakan yang keras terhadap rencana pembangunan proyek pembangkit listrik oleh Supreme Energy. "Di beberapa perempatan dan lokasi, spanduk yang ditulis dengan darah masih terpasang. Isinya ungkapan penolakan mereka," kata menteri dari Partai Amanat Nasional itu, Jumat pekan lalu.

Ajakan tokoh adat seperti Ike Edwin, menurut dia, terasa kurang pengaruhnya di desa-desa di sekeliling Gunung Rajabasa. "Karena wilayah kerajaan itu memang berbeda. Mereka lebih banyak berpengaruh di daerah seperti Liwa di Lampung Barat," katanya. Dia mengatakan penduduk di kampungnya sudah lebih banyak bercampur dengan para pendatang dari Jawa dan Bali. "Juga lebih miskin dibanding daerah lain. Karakternya jadi lebih keras."

Dia lalu mencontohkan adanya beberapa konflik sosial dan bentrokan antarwarga yang berujung pada jatuhnya korban tewas yang tak sedikit. "Kalau sudah ribut, mereka sampai potong-potong kepala. Kondisi ini semakin parah karena pemerintah daerah dan bupatinya kurang akur dengan rakyatnya. Konflik mereka tajam sekali," Zulkifli menjelaskan.

Ia merujuk pada perselisihan antara Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza dan para tetua adat, yang tersinggung oleh tindakan Bupati yang menganugerahkan gelar adat secara serampangan. Pemberian gelar adat kepada sejumlah pejabat kepolisian, militer, dan kejaksaan itu dinilai melecehkan masyarakat lokal. "Karena gelar yang diberikan lebih tinggi dari strata yang ada di adat Lampung Saibatin," kata Yahuddin Haykar, salah seorang tokoh adat Marga Rajabasa.

Konflik antara Rycko Menoza dan masyarakat adat lima marga memang sudah berlangsung lama. Ribuan warga adat pernah memaksa putra sulung Gubernur Lampung Sjachroedin Zainal Abidin Pagaralam itu meminta maaf. Mereka mengamuk dan memblokade jalan lintas Sumatera. Puncaknya adalah saat mereka merobohkan patung monumen Zainal Abidin Pagaralam, yang tak lain adalah kakek Rycko, pada 30 April 2012.

"Kami memang berkukuh menolak proyek itu. Bukan hanya persoalan harga diri, melainkan sudah masalah hidup," ujar Yahuddin Haykar. Berbeda dengan para pendukung yang berorientasi kesejahteraan dan ketersediaan lapangan pekerjaan, para penentang beranggapan proyek itu akan meluluh-lantakkan Gunung Rajabasa. "Gunung itu telah menjadi bagian hidup bagi puluhan ribu jiwa masyarakat adat," kata pria bergelar Karya Niti Zaman itu.

Ketidakjelasan perizinan membuat pengerjaan proyek itu kini terkatung-katung. Ketika Tempo menyambangi lokasi itu pada akhir Juli lalu, para pekerja terlihat hanya duduk-duduk di atas alat berat di lokasi pembangunan dermaga PT Supreme di Kalianda, Lampung Selatan. "Sudah tiga bulan kami tak bekerja. Warga memaksa semua aktivitas proyek dihentikan," kata Herman, salah seorang pekerja.

Melihat situasi yang masih panas itu, Susilo tahu tak akan mudah bagi Supreme untuk segera mendapat izin dari Zulkifli dan memulai pekerjaan konstruksi di Rajabasa. "Sepertinya Pak Zulkifli masih perlu waktu untuk mengendapkan," katanya. "Tapi ujungnya nanti bergantung pada pemerintah. Biarpun masih ada sebagian warga menolak, bisa saja izin tetap dikeluarkan."

Y. Tomi Aryanto, Nurochman Arrazie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus