Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pucuk dicinta, bolkiah tiba

Sultan brunei hasanal bolkiah berkunjung ke jakarta. menawarkan bantuan us$ 100 juta kepada ri tanpa bunga. ingin membeli sebagian saham pt indocement, tertarik pada proyek alumina bintan & perhotelan.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UANG bukan soal. Memang. Apalagi bagi seorang Sultan dari negeri gemah ripah seperti Brunei Darussalam. Dengan gas alam cair yang terus mengalir deras dari perut buminya, Sultan negeri itu telah menghantar negerinya ke tingkat paling makmur di seantero jagat. Brunei pun jadi Kuwait di Asia Tenggara. Penghasilan per kapita rakyatnya jauh di atas US$ 12 ribu per tahun. Sementara itu, investasi mereka terus menebar di berbagai negeri. Kini, Sultan pun tampaknya terpikat ke Indonesia. Jumat pekan lalu, dalam sebuah kunjungan tak resmi, Sultan Hasanal Bolkiah menawarkan bantuan US$ 100 juta tanpa bunga kepada Presiden Soeharto. Padahal, dalam permohonan semula, pemerintah Indonesia minta bantuan itu diberikan dengan bunga lunak -- di bawah 3% -- dan berjangka waktu 25 tahun. "Tadi Sultan Brunei menyatakan bunga itu hapus," ujar Menteri Sekretaris Negara Sudharmono, menjelaskan hasil pertemuan empat mata Bolkiah-Soeharto. Tak hanya sampai di situ. Sultan juga melirik peluang bisnis. Dia mengutarakan niatnya membeli sebagian saham PT Indocement, yang 35% seronya dikuasai pemerintah. Pembangunan gencar di Brunei, itulah alasan Sultan. Dia lebih suka kebutuhan semennya diimpor dari Indonesia. Indonesia sendiri menyambut hangat minat itu. "Kalau jadi, status pabrik semen itu akan berubah dari PMDN menjadi PMA," ujar Sudharmono. Indocement memang tengah repot menghadapi melonjaknya nilai yen, lantaran besarnya komponen utang dari Jepang. Bahkan, menurut Sudharmono, kalau dihitung berdasarkan dolar AS, beban utang sudah berlipat dua. Berat. Tanpa restrukturisasi modal, keuntungan produsen semen terbesar di Indonesia itu akan habis dipakai membayar cicilan dan bunga utang. Soal produksi juga merupakan soal tersendiri bagi Indocement. Sejak 1983, tulis koran Asian Wall Street Journal, produksinya merosot terus. Sehingga diperkirakan, kini hanya mampu menghasilkan sekitar 4,5 juta ton setahun atau 60% dari kapasitas terpasangnya yang hampir 8 juta ton, meski masih masuk klasifikasi sehat. Sementara itu, pasar ekspornya juga makin melempem. Bulan lalu, rencana penjualan imbal beli dengan batu bara RRC juga berantakan, kendati Memorandum of Understanding sudah ditandatangani beberapa tahun silam. Runyamnya bisnis Indocement, sebagaimana pabrik-pabrik semen lainnya, sebenarnya sudah dilontarkan Liem Sioe Liong dua tahun silam. "Jual semen sudah susah," ujar bekas penguasa saham terbesar Indocement itu. Dia menghadapi sesaknya pasar. Di dalam negeri tersandung oleh penundaan proyek-proyek raksasa besar pemerintah. Di luar digencet oleh Korea Selatan, yang bisa pasang harga lebih murah lantaran sudah pakai bahan bakar batu bara. Padahal, kalau mau untung, mesti ekspor 3 iuta ton per tahun. Kemungkinan injeksi modal ke sana, dan sekaligus perluasan pasar di Brunei, tentu merupakan pucuk dicinta ulam tiba. Kabar gembira juga terdengar di bidang lain. Bolkiah juga tertarik ambil bagian dalam pelaksanaan Proyek Alumina Bintan, yang studi kelayakannya sudah lama selesai. Selama ini, proyek itu tercecer gara-gara mepetnya kantung pemerintah. Direncanakan, hasil proyek itu akan dipakai untuk memasok industri peleburan alumunium Asahan, di Kualatanjung, Sumatera Utara. Brunei -- yang kesultanannya dikabarkan memiliki bisnis hotel hal di London kabarnya tak hanya berhenti di Bintan dan Cibinong. Prospek di Nusa Dua, Bali, juga tak luput dari lirikan Sultan. Pihaknya mempertimbangkan untuk membangun sebuah hotel wisata di sana. Bila itu terjadi, hotel itu akan bersanding dengan empat hotel lainnya -- Putri Bali, Nusa Dua Beach, Med Club, dan Balisol -- yang belum pernah mengklaim kerugian. Insya Allah, Bolkiah. Prg.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus