Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro menilai Indonesia masih membutuhkan migas untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk menggiatkan investasi hulu migas, perlu dibentuk badan khusus di luar pemerintah yang melakukan pengaturan, pengurusan dan pengawasan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan migas yang dilandasi peraturan perundang-perundangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di masa depan perlu dipastikan kontrak kerjasama dengan KKKS dilakukan oleh badan khusus independen, bukan dengan pemerintah. Tujuannya, agar segala risiko bisnis tidak terkena kepada negara,” kata Purnomo, dinukil dari keterangan tertulis, Sabtu, 5 Juni 2021.
Purnomo Yusgiantoro menuturkan, banyak kasus di masa lalu yang akhirnya membawa negara berhadapan dengan tuntutan pengadilan karena pemerintah terlibat dalam pengelolaan kontrak.
“Saya mengingatkan agar kita tidak melupakan sejarah karena ia adalah guru yang baik, yang dapat kita jadikan pelajaran untuk membuat masa depan lebih baik,” katanya.
Bentuk BPMIGAS, cikal bakal SKK Migas, yang lahir tahun 2001, menurut Purnomo sebetulnya cukup ideal karena merupakan lembaga independen, tidak termasuk dalam eksekutif dan bukan bagian dari BUMN yang menjalankan bisnis migas.
“Ini baik untuk semua pihak, termasuk Pertamina sebagai BUMN, terbukti ketika menjadi BUMN yang setara dengan KKKS, Pertamina berkembang dan labanya naik," tutur Purnomo.
Di samping itu, BPMIGAS pun dinilai bisa mengawal industri hulu migas dengan baik. Terbukti, kata dia, banyak proyek yang berhasil dilahirkan, misalnya Tangguh Train 1 sampai 3, juga pengembangan Lapangan Cepu yang kini memasok 30 persen produksi nasional.
Ia mengakui bahwa ketika menjadi Menteri ESDM, usaha mengawal kelahiran BPMIGAS bukan perkara sederhana karena terjadi banyak pihak yang berkepentingan. Proses tarik-tarikan kepentingan terlihat masih terjadi ketika lembaga itu sudah lahir, terlihat dari empat kali lembaga itu menghadapi judicial review yaitu di tahun 2003, 2004, 2007 dan yang terakhir di tahun 2012.
“Yang terakhir berhasil membuat BPMIGAS dibubarkan sehingga kemudian lahir SKK Migas yang hanya didasarkan pada Kepres. Ini sebetulnya aneh karena lembaga ini sudah berjalan selama 10 tahun dan punya prestasi. Dibubarkan oleh pihak-pihak yang tidak ada hubungannya dengan hulu migas,” kata dia.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Retno Saraswati, pada kesempatan yang sama menyoroti langkah pemerintah yang belum juga menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 untuk membentuk badan pengelola hulu migas baru, padahal sudah berjalan 10 tahun.
“Apa yang menjadi putusan MK ini seharusnya sudah final. Oleh karena itu harus segera ditindaklanjuti karena kita butuh kepastian dan kepatuhan hukum,” kata alumnus doktor hukum Universitas Diponegoro ini.