Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Rencana Setop Impor BBM Singapura Terkait Negosiasi Tarif Dagang. Benarkah?

Pengurangan impor BBM konsekuensi logis bila Indonesia ingin meningkatkan impor migas dari Amerika Serikat.

14 Mei 2025 | 11.12 WIB

NERACA PERDAGANGAN TERPUKUL IMPOR MINYAK
Perbesar
NERACA PERDAGANGAN TERPUKUL IMPOR MINYAK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pengamat energi menanggapi rencana pemerintah menyetop menyetop impor bahan bakar minyak (BBM) dari Singapura. Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI) Mulyanto, misalnya, menduga rencana itu adalah dampak negosiasi tarif dagang Amerika Serikat terhadap Indonesia.

Terlebih sebelumnya, pemerintah telah menyatakan niat meningkatkan impor minyak dan gas atau migas dari Amerika Serikat. "Dugaan saya negara importirnya juga bukan dialihkan ke Timur Tengah tetapi ke Amerika Serikat, sesuai dengan logika tarif timbal-balik,” kata Mulyanto melalui keterangan tertulis, Rabu, 14 Mei 2025.

Menurut Mulyanto, mengurangi impor migas dari negara importir eksisting merupakan konsekuensi logis bila Indonesia mau meningkatkan impor migas dari Amerika Serikat. Anggota Komisi Energi DPR RI periode 2019-2024 itu pun mengatakan harus mengkaji rencana itu secara cermat, baik dari sisi teknis maupun ekonomis.

“Peningkatan importasi migas dari Amerika ini jangan sampai menyebabkan ketergantungan, khususnya untuk komoditas LPG, yang menjadi bahan baku gas melon 3 kilogram bersubsidi,” kata Mulyanto.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya menyampaikan rencana untuk menyetop impor minyak dari Singapura pada Kamis, 8 Mei 2025, di DPP Partai Golkar, Jakarta.

Saat itu Bahlil berujar, sebanyak 54 persen impor minyak Indonesia berasal dari Singapura. “Singapura negara yang tidak punya (bukan penghasil) minyak, tapi kita beli dari sana,” katanya.

Bahlil juga menilai harga beli minyak dari Singapura mirip dengan harga beli dari wilayah Timur Tengah. Karena itu, pemerintah akan beralih impor minyak dari Timur Tengah. “Jauh lebih bermartabat kita dapat minyak dari middle east,” kata Ketua Umum Partai Golkar itu.

Senada dengan Mulyanto, Dosen Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menduga rencana tersebut merupakan dampak tekanan dagang Amerika Serikat, terutama sejak era Presiden Donald Trump.  

Menurut dia, Amerika ingin menekan defisit perdagangan dengan Indonesia. “Karena tidak mungkin kita impor mobil atau produk manufaktur, maka minyak menjadi sasaran,” ujar Fahmy saat dihubungi, Senin, 12 Mei 2025.

Namun, Fahmy menilai rencana menghentikan impor minyak dari Singapura merupakan hal keliru. Ia berujar, rencana itu tidak rasional secara ekonomi dan justru berpotensi merugikan Indonesia. Rencana itu juga mengabaikan realitas rantai pasok dan efisiensi energi.

Ia menjelaskan bahwa BBM dari Singapura telah melalui proses blending di kilang mereka sehingga sesuai dengan kebutuhan domestik, terutama jenis seperti Pertalite yang tidak dijual di pasar global. “Kalau kita impor dari Amerika atau negara lain, belum tentu bisa sesuai spesifikasinya, apalagi ongkos kirimnya lebih mahal,” kata Fahmy.

 

Hendrik Yaputra dan Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor:  Target Swasembada Energi Prabowo Sulit Tercapai. Mengapa?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus