Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

RI Alami Deflasi 3 Bulan Beruntun, Ekonom Indef Ingatkan Risiko Resesi

Indonesia telah mengalami deflasi tiga bulan berturut-turut yang menunjukkan terjadinya pelemahan daya beli konsumen.

3 Agustus 2024 | 15.19 WIB

Pedagang melayani pembeli di salah satu kios di Pasar Rumput, Jakarta, Senin 3 Juni 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Mei 2024 mencapai 2,84 persen secara tahunan (yoy) dan deflasi sebesar 0,03 persen secara bulanan (mtm) dengan komoditas penyumbang utama inflasi bulan lalu adalah harga beras. TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Pedagang melayani pembeli di salah satu kios di Pasar Rumput, Jakarta, Senin 3 Juni 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Mei 2024 mencapai 2,84 persen secara tahunan (yoy) dan deflasi sebesar 0,03 persen secara bulanan (mtm) dengan komoditas penyumbang utama inflasi bulan lalu adalah harga beras. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,18 persen pada Juli 2024 secara bulanan. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Amalia mengatakan deflasi bulan Juli lebih dalam dibanding bulan sebelumnya. “Dan merupakan deflasi ketiga pada 2024,” ujarnya lewat YouTube BPS, Kamis, 1 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini mengatakan deflasi merupakan penurunan tingkat umum harga barang dan jasa. Degradasi tersebut menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya menyebabkan harga semakin jatuh. “Hal ini dapat mengakibatkan resesi yang berkepanjangan,” kata dia lewat pernyataan resmi dikutip Sabtu, 3 Agustus 2024.

Perkembangan deflasi ini harus dicermati dengan baik.  Musababnya, deflasi beruntun tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan rangkaian pengelolaan ekonomi  yang tidak memadai. Deflasi yang terjadi, seolah-olah menguntungkan masyarakat, namun ini secara umum merupakan gejala konsumen secara luas tidak bisa mengkonsumsi barang dengan wajar atau setidaknya menunda konsumsinya.  

Guru besar Universitas Paramadina itu menambahkan kedengarannya deflasi menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah. “Tetapi ini merupakan fenomena makro ekonomi dimana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya,” ujarnya.  

Selain menerima keadaan deflasi beruntun, ia melanjutkan, konsumsi lemah karena pendapatan turun dan PHK pengangguran yang semakin massal. Dengan adanya gabungan masalah industri, pengangguran, dan deflasi karena konsumsi menurun, maka dunia usaha akan semakin berat.  Didik yang juga anggota Dewan Pertimbangan kamar dagang dan industri (Kadin) melihat tidak banyak alternatif yang bisa diambil pengusaha saat ini kecuali memangkas biaya produksi. Yang pada akhirnya berujung mengurangi pekerja menjadi lebih sedikit lagi. 

Dunia usaha mengalami penurunan pendapatan akibat konsumsi masyarakat turun sehingga dengan terpaksa memberhentikan pekerja atau mengurangi jam kerja. Dalam jangka lebih panjang bisa terjadi stagnasi atau penurunan upah. “Secara makro ini selanjutnya mengurangi permintaan secara keseluruhan dalam perekonomian,” ujarnya lagi.

Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Anggawira mengatakan hal senada.“Deflasi sering kali merupakan tanda bahwa permintaan agregat dalam perekonomian menurun, yang bisa berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat," ujarnya dalam pernyataan tertulis.

Ia merekomendasikan pemerintah untuk mendorong penguatan sektor riil. Dengan cara memberikan insentif atau subsidi untuk sektor-sektor seperti pertanian, manufaktur, dan pariwisata yang memiliki multiplier effect tinggi. Selain itu, diiversifikasi produk ekspor dan membuka pasar baru dapat membantu mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional yang mungkin sedang lesu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus