Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

RI Masuk Negara Maju, Neraca Perdagangan dengan AS Bakal Defisit

Langkah Amerika Serikat memasukkan Indonesia ke daftar negara maju berisiko membuat neraca perdagangan Indonesia dengan AS defisit.

24 Februari 2020 | 13.18 WIB

Sekretaris Menteri Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyampaikan berbagai perkembangan yang terjadi pada Pertemuan Tahunan IMF - World Bank Group 2018 dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Selasa 9 Oktober 2018. ICom/AM IMF-WBG//Nyoman Budhiana
Perbesar
Sekretaris Menteri Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyampaikan berbagai perkembangan yang terjadi pada Pertemuan Tahunan IMF - World Bank Group 2018 dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Selasa 9 Oktober 2018. ICom/AM IMF-WBG//Nyoman Budhiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menilai langkah Amerika Serikat memasukkan Indonesia ke daftar negara maju akan berisiko membuat neraca perdagangan Indonesia dengan AS defisit.

"Karena itu kaitannya dengan fasilitas perdagangan. Jadi mungkin nanti teman-teman perdagangan yang akan jelaskan. Karena nanti konsekuensinya akan ke GSP (Generalized System of Preferences) dan lain-lain," kata Susiwijono di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin, 24 Februari 2020.

Sabtu lalu, Amerika Serikat lewat Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang dan memasukkan sebagai negara maju.

Susiwijono mengatakan saat ini perdagangan Indonesia dengan AS masih surplus. Menurut data Badan Pusat Statistik atau BPS pada Januari 2020, surplus perdagangan Indonesia dengan Amerika sebesar US$ 1,01 miliar.

Pada kesempatan yang berbeda ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan dampak dari keputusan USTR itu berpengaruh besar dengan dikeluarkannya Indonesia sebagai negara penerima fasilitas Generalized System of Preferences atau GSP.

Dia melihat selama ini banyak pelaku usaha menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS melalui GSP. "GSP ini diberikan pada negara berkembang dan miskin, kalau Indonesia tidak masuk GSP lagi kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk," kata Bhima saat dihubungi, Sabtu, 22 Februari 2020.

Bhima memperkirakan ekspor ke pasar AS terancam menurun khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi. Ujungnya, kata dia, akan memperlebar defisit neraca dagang setelah sebelumnya pada Januari 2020 defisit mencapai US$ 864 juta.

Dia mencatat dari Januari hingga November 2019 ada US$ 2,5 miliar nilai ekspor Indonesia dari pos tarif GSP. Jika tidak masuk GSP, harga akan lebih mahal karena bea masuknya dikenakan normal.

"Daya saing di pasar internasional akan turun. Konsumen di AS akan beralih ke produk dari negara penerima GSP," kata dia.

Menurut dia, ada total 3.572 produk Indonesia yang mendapatkan GSP. Namun, kata dia, share ekspor tekstil apparel Indonesia ke AS lumayan besar.

HENDARTYO HANGGI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus