Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Potensi dampak gejolak ekonomi 2022 diprediksi tak seburuk 2013.
Masih ada potensi risiko ekonomi berbalik lebih buruk.
PASAR finansial sedang mengalami déjà vu, terlempar ke masa 2013, saat The Federal Reserve mulai menaikkan bunga dan mengetatkan likuiditas. Sejarah akan berulang, inflasi tinggi memaksa The Fed segera mengambil kebijakan serupa. Seberapa kuat Indonesia menghadapinya? Ada satu jawaban yang datang dari Bank Dunia lewat World Development Report 2022 yang terbit pekan lalu. Kesimpulannya: risiko pada ekonomi Indonesia terlihat lebih rendah. Gejolak kali ini akan berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu alasannya, dana asing sudah terbang. Porsi kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah RI berdenominasi rupiah menyusut, dari 39 persen pada Februari 2020 menjadi 19 persen per 17 Februari 2022. Secara nominal, duit asing yang keluar Rp 170 triliun atau US$ 11,9 miliar. Investor rupanya sudah mengantisipasi perubahan kebijakan The Fed itu. Mereka kabur lebih awal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemudian defisit neraca transaksi berjalan yang membebani Indonesia pada 2013 sudah terangkat, dari minus US$ 28,5 miliar menjadi surplus US$ 3,3 miliar pada 2021. Surplus neraca transaksi berjalan merupakan indikator baik yang berpengaruh sangat penting pada daya tahan Indonesia saat pasar bergejolak.
Seandainya saat ini Indonesia masih memikul defisit neraca transaksi berjalan, pasti pasar sudah meradang. Defisit pada 2013 membuat Indonesia masuk kelompok lima negara rapuh, the fragile five, yang terpukul hebat bersama Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Nilai rupiah merosot melampaui batas psikologis 10 ribu per dolar Amerika Serikat pada Juli 2013, terus terpuruk hingga melampaui 14 ribu per dolar Amerika pada pertengahan 2015, dan tak pernah kembali lagi.
Relatif tenangnya pasar finansial Indonesia belakangan ini sepertinya mendukung optimisme Bank Dunia. Kurs rupiah masih relatif stabil di kisaran 14.300 per dolar Amerika. Berkebalikan dengan apa yang terjadi di bursa-bursa utama dunia, harga saham di bursa Indonesia justru naik tajam. Indeks harga saham gabungan malah mencatatkan rekor baru, 6.893, per Jumat, 18 Februari 2022.
Kendati aura positif masih dominan, investor sebaiknya tak terbuai. Sebab, berbagai faktor risiko yang dapat membalik keadaan tidak sepenuhnya lenyap. Surplus neraca pembayaran 2021, misalnya, adalah buah melonjaknya penerimaan ekspor Indonesia karena kenaikan harga komoditas tambang dan minyak sawit yang abnormal. Tak ada kepastian Indonesia akan terus menikmati durian runtuh ini. Harga komoditas kapan saja bisa luruh dan kembali normal.
Risiko terbangnya dana asing juga tak sepenuhnya lenyap. Betul, porsi kepemilikan asing di obligasi pemerintah RI tinggal 19 persen. Namun, secara absolut, nilainya masih besar: Rp 900 triliun per 17 Februari 2022 atau sekitar US$ 63 miliar. Ketika bunga benar-benar naik dan likuiditas dolar kian seret, tak ada jaminan semua dana ini akan tetap tinggal. Jika sebagian akhirnya keluar, terlebih bila nilainya besar, Indonesia bisa kembali menjadi rapuh. Nilai rupiah akan terperosok lagi.
Ada satu lagi risiko yang belum eksis pada 2013: monetisasi utang oleh Bank Indonesia. Kebijakan yang tak disukai pasar finansial ini semula diniatkan hanya akan berlangsung selama 2020, tapi terus berlanjut sampai sekarang. Monetisasi utang dapat menurunkan selera investor asing pada obligasi pemerintah RI dalam rupiah dan mendorong keluarnya dana yang sudah ada di sini.
Pembiayaan kembali atau refinancing utang yang jatuh tempo, terutama dalam dolar, juga berpotensi menjadi beban berat. Dalam situasi normal, hal ini biasa saja. Jika ada utang jatuh tempo, pihak yang berutang akan berupaya mencari pinjaman baru untuk membayarnya. Masalahnya, tidak mudah melakukan refinancing ketika bunga naik dan likuiditas seret. Risiko Indonesia akan membesar jika pada akhirnya kesulitan membiayai kembali utang-utang jatuh tempo berujung pada gagal bayar, apalagi kalau hal itu menimpa badan usaha milik negara.
Kesimpulannya, dibanding pada 2013, dampak gejolak pasar kali ini terhadap Indonesia memang akan berbeda. Masalahnya, tak ada yang mampu memastikan apakah itu ringan saja atau justru lebih parah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo