Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CH. Sukarsa Talkanda, satu-satunya dokter ahli penyakit dalam di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan, mendadak menutup prakteknya,
pertengahan Oktober. Alasannya, karena Kantor Inspeksi Pajak,
Kal-Sel di Banjarmasin menetapkan pajak rampung dr Talkanda
untuk tahun 1978 sebesar Rp 6 juta. Naik 2000% dibandingkan
dengan pajak rampungnya pada 1977 yang berjumlah Rp 300.000.
Rupanya taksiran petugas pajak yang main 'ternbak' itu tak dapat
diterima Talkanda.
Lima tahun lalu, Dirjen Pajak Sutadi Sukarya, sudah
memperingatkan para petugas pajak agar jangan main 'tembak
begitu dalam menentukan pajak pendapatan (PPd). Dan yang menjadi
sasaran petugas pajak jangan hanya itu-itu saja. Namun
kenyataannya, anak buah Dirjen Pajak di Banjarmasin masih belum
sepenuhnya mempraktekkan anjuran lama Dirjennya. Bahkan cukup
menjengkelkan dr. Talkanda. Di samping penetapan pajak
rampungnya naik sekali, penagihannya pun disertai ancaman
penyitaan barang-barangnya dan apabila tidak dibayar dalam tempo
2 x 24 jam dapat disandera.
Tentu saja itu bikin kaget sang dokter. Tapi setelah Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kal-Sel turun tangan, antara lain
adana pernyataan bersama antara IDI Kal-Sel dengan Inspeksi
Pajak setempat, kasus Talkanda itu dianggap selesai. Tapi apa
reaksi Ditjen Pajak? Itu "baru kami ketahui dari koran, sehingga
belum diketahui duduk perkara sebenarnya," ujar drs. B. Budiono,
Ka Humas Ditjen Pajak, pekan lalu.
Menurut dia, "surat paksa dan ancaman penyanderaan terhadap
wajib pajak (WP) diatur dalam Undang-Undang No. 19 tahun 1959."
Dan penyanderaan terhadap WP tidaklah sama dengan penyanderaan
yang dilakukan oleh para pembajak, misalnya. Selama dalam
tahanan WP yang kena sandera itu makanannya ditanggung oleh
Inspeksi Pajak.
Sebegitu jauh, "istilah sandera jarang kita pergunakan, apalagi
dipraktekkan," lanjut B. Budiono. Sebabnya, sebelum sampai
seseorang itu disandera, banyak prosedur yang harus ditempuh.
Jadi tak segampang apa yang tertera dalam undang-undang pajak
warisan Belanda itu.
Menurut Budiono, "sampai saat ini hubungan Ditjen Pajak dengan
IDI Jaya dan Jawa Timur baik." Ini dibenarkan dr Kartono
Mohamad, Ketua IDI Jaya. Beberapa orang dokter anggota IDI Jaya
juga pernah mendapat surat paksa. "Tapi berkat kerjasama yang
baik dengan Inspeksi Pajak, semua berjalan lancar," kata
Kartono. Bahkan, dokter yang membayar pajak pendapatannya lewat
IDI Jaya, dijamin tidak akan diganggu oleh petugas pajak dalam
menjalankan prakteknya.
Jika jumlah Menghitung Pajak Sendiri (MPS) oleh Inspeksi Pajak
dianggap tidak wajar, koreksinya dilakukan oleh IDI. Dan IDI
Jaya pula yang menyetorkan pajak para anggotanya ke Kas Negara.
Pada 1976 pajak pendapatan yang disetor IDI Jaya baru Rp 99,5
juta. Tahun lalu meningkat sedikit menjadi sekitar Rp 118 juta.
Tapi itu baru meliputi 500 anggota IDI dari 2.000 dokter di
Jakarta. Dan jumlah pajak pendapatan tertinggi baru sampai Rp 2
juta. Tidak ada yang mencapai Rp 6 juta, seperti disodorkan
kepada dr. Talkanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo