Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BIMANTARA Group semakin berkibar saja. Setelah berhasil menjual Palapa B2R kepada PT Telkom, konglomerat di bawah pimpinan Bambang Trihatmojo itu kini berniat memiliki dan mengelola Sistem Satelit Komunikasi Domestik (SKSD) Palapa generasi C. Ini adalah satelit pengganti Palapa B2P yang akan uzur usianya pada tahun 1995. ''Investasi yang kami sediakan sebesar lima ratus juta dolar,'' kata bos Bimantara itu kepada para wartawan, seperti dikutip harian Jawa Pos, Jumat pekan lalu. Modal besar memang dibutuhkan dalam bisnis ini. Maklum, harga satelit Palapa generasi C, termasuk peluncuran dan asuransinya saja, diperkirakan US$ 350 juta. Perkara modal jugalah tampaknya yang membuat Pemerintah menoleh ke swasta. Semula PT Telkom berniat menyapih bagian yang bergerak di bisnis satelit kepada sebuah anak perusahaan tersendiri. ''Soalnya, Palapa diharapkan bersaing di pasar telekomunikasi internasional di daerah Pasifik,'' kata seorang pejabat PT Telkom yang tak mau disebut namanya. ''Sebagai perusahaan yang terpisah, diharapkan bisa lebih gesit dalam merebut pasar,'' tambahnya. Maka, setelah PT Telkom mengadakan langkahlangkah persiapan, Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi mengusulkan pembentukan anak perusahaan ini, pertengahan tahun lalu. Izin memang kemudian turun, tapi soal permodalan ternyata menjadi hambatan. Pemerintah rupanya sedang pelit dalam memberi izin untuk berutang -- termasuk kepada BUMN -- karena beban utang Pemerintah dianggap sudah lampu merah. ''Keuntungan memasukkan swasta untuk usaha satelit ini banyak segi positifnya,'' kata Menteri Keuangan Sumarlin kepada TEMPO. ''Sebab, permodalan ditanggung mereka, Pemerintah tak usah repotrepot,'' tambahnya. Itulah sebabnya rencana PT Telkom, yang semula hanya menawarkan partisipasi modal swasta 20%, berubah menjadi 60%. Karena prospeknya cerah, banyak sekali pihak swasta yang berminat. ''Boleh dikata semua grup besar di Indonesia ingin ikut,'' kata seorang pengusaha yang terlibat dalam upaya ini. Tapi PT Telkom tampaknya hanya ingin bermitra dengan swasta yang berpengalaman di bidang ini. Direktur Utama PT Telkom, Drs. Setyanto P. Sentosa, pernah menyebutkan dua nama, yaitu PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) dan PT Elektrindo Nusantara. ''Hanya dua perusahaan ini yang kami nilai cukup berpengalaman dan dianggap layak,'' tuturnya. Elektrindo Nusantara adalah anak perusahaan Bimantara Group, sedangkan PSN adalah patungan antara PT Telkom (40%), Bimantara (30%), A. Adiwoso, M.Sc. (15%), dan Prof. Dr. Iskandar Alisjahbana (15%). Adapun perusahaan baru yang akan mengelola Palapa generasi C dikabarkan bernama Satelindo, dengan swasta menguasai 60%, PT Telkom 30% dan PT Indosat 10%. ''Bimantara akan mengoordinasi pembagian saham di antara swasta,'' kata seorang pengusaha yang tak mau disebut namanya. Pakar telekomunikasi kenamaan Iskandar Alisjahbana jelas gembira. ''Ini gejala bagus, sebab memberi kesempatan lebih banyak kepada putra Indonesia untuk menggeluti dunia telekomunikasi,'' kata mantan rektor ITB yang adalah penggagas kehadiran Palapa ini. Lagi pula sudah sejak 1985 Iskandar mencanangkan perlunya swastanisasi di bidang telekomunikasi. ''Melayani konsumen internasional untuk jasa satelit tentu berbeda dengan melayani konsumen domestik telepon biasa,'' katanya. Bahwa banyak swasta yang berminat, dapat dimaklumi. Palapa C1 dan C2 masingmasing berkapasitas 34 transponder (satu transponder mampu menyalurkan satu saluran TV atau 500 pasang sambungan telepon). Diperkirakan satu transponder dapat disewakan dengan harga sekitar US$ 1,5 setahun dan usia pakai satelit minimal 12 tahun. Mengingat jangkauan satelit ini jauh lebih luas dari generasi sebelumnya, maka dinilai cukup prospektif. Apalagi hampir seluruh Asia Pasifik terjangkau, sebuah kawasan yang pertumbuhan ekonominya tercepat di dunia dewasa ini. Hong Kong, Jepang, Korea, dan Taiwan, misalnya, dikabarkan masih antre mencari transponder yang menganggur. ''Tapi yang lebih menguntungkan lagi sebenarnya di distribusinya,'' kata sebuah sumber. Pasalnya, Pemerintah memang sedang serius mempertimbangkan usul Bank Dunia agar dibuat perusahaan telekomunikasi kedua menyaingi PT Telkom. Agaknya, sebagai pengelola satelit, Satelindo berpeluang paling baik untuk merebut kemungkinan itu. Apalagi, kabarnya, Satelindo akan mendapat izin mengelola telepon selular dan hubungan internasional. Hanya kalangan dalam PT Telkom tampaknya kurang antusias dengan swastanisasi ini. ''Ini semua kan infrastrukturnya Telkom, dan bisnisnya secara utuh kami kuasai. Jadi, mengapa harus membayar untuk orang lain?'' celetuk seorang tokoh di BUMN itu. Menteri Soesilo Soedarman sendiri tidak melihatnya demikian. ''Boleh saja melibatkan swasta, tapi ini bukan swastanisasi,'' katanya. Swastanisasi memang diusulkan oleh Bank Dunia, karena dianggap bisa menyajikan pelayanan yang lebih efisien. Tapi untuk swastanisasi itu Bank Dunia mensyaratkan agar tendernya dilakukan secara terbuka, dan seperti kata Wakil Presiden Bank Dunia, Gautam Kaji, ''Proses maupun peraturannya dilakukan secara transparan.'' Sementara itu, Prof. Donahue, pengajar ekonomi politik di Universitas Harvard yang banyak mempelajari soal swastanisasi di dunia, memastikan, ''Satu hal yang lebih merugikan dari monopoli Pemerintah ialah monopoli swasta yang tak dikontrol.'' Mengingat jasa telekomunikasi merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi, pesan Pak Donahue ini tentulah sangat layak untuk diperhatikan. Bambang Harymurti (Washington, D.C.) dan Linda Djalil (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo