Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Silang Pendapat Sekitar ...

Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy berencana menurunkan bunga kredit investasi kendati kondisi ekonomi masih labil. Suku bunga tinggi menyebabkan kredit macet. Para penunggak sulit untuk diadili.

10 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOKTOR Adrianus Mooy pekan silam mengejutkan dunia perbankan. Gubernur Bank Sentral itu mengatakan, pemerintah akan menekan bunga kredit investasi. "Tapi tentu tidak bisa dalam tempo semalam," kata Dr. Mooy. Ini dikemukakannya kepada pers selesai membuka Regional Program on Investment Banking, Senin pekan lalu di Jakarta. Keterangan itu seolah mengesankan, pemerintah cukup serius mempertimbangkan perekonomian sekarang, yang sulit digerakkan karena tersendatnya bidang investasi, antara lain karena suku bunga yang tinggi. "Dalam waktu dekat ini akan ada suatu kebijaksanaan moneter yang dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap nilai mata uang rupiah, sekaligus untuk mengatasi kesenjangan antara tingkat suku bunga di dalam dan di luar negeri," demikian Mooy lebih jauh. Seorang bankir pemerintah yang dihubungi TEMPO terus terang mengatakan, tak percaya ada pernyataan seperti itu dari Gubernur Mooy. Seorang bankir asing di Jakarta juga heran. "Kami setuju bahwa suku bunga harus diturunkan. Tapi bagaimana caranya?" ujar bankir Amerika itu. Masalahnya, menurut bankir tadi, sudah diketahui masyarakat luas: ekonomi negara tengah menghadapi beban pembayaran utang luar negeri. Bank Indonesia sekarang ini memerlukan banyak devisa untuk membayar utang pokok dan cicilan pinjaman luar negeri pemerintah. Sehingga, devisa yang diperoleh dari ekspor tak bisa dipakai Bank Sentral sebagai backing untuk mencetak rupiah. Itu berarti uang beredar tidak akan bertambah banyak. Lalu bagaimana menurunkan suku bunga pinjaman? Kurangnya uang beredar akan menyebabkan bank-bank terus bersaing, menawarkan suku bunga deposito yang tinggn Dewasa ini, suku bunga deposito per tahun sudah berkisar 18%-22%. Dan suku bunga pinjaman, tentu, akan lebih tinggi dari bunga deposito tadi. Sekedar perbandingan, suku bunga pinjaman di Malaysia sekitar 8%-9% setahun, Muangthai 11-13%, sedangkan Indonesia 18%. Ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional Swasta (Perbanas) Nyoman Moena berkata, "Meskipun diinstruksikan Gubernur BI, saya kira bank-bank tidak akan menurunkan suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman. Sebab, sekarang tidak ada lagi kepekaan terhadap manuver-manuver Bank Sentral." Moena dan beberapa bankir lain sama-sama mengakui bahwa suku bunga bank sekarang ini sangat bergantung pada pasar. Struktur suku bunga kredit sekarang ini sangat bervariasi. "Ada sekitar 36 jenis kredit yang menawarkan bunga mulai dari 3% sampai 30%. Bunga setinggi itu masih bisa dijalankan, antara lain oleh bank pasar," ujar Moena, yang kini juga menjadi Direktur Utama PT Sucofindo. Pernyataan Dr. Mooy sebenarnya dikemukakan secara tidak langsung. Gubernur BI itu ditanya pendapatnya oleh wartawan, tentang pernyataan pakar ekonomi Mohamad Sadli dalam suatu diskusi dua hari sebelumnya. Di situ Profesor Sadli menyatakan, suku bunga di Indonesia harus diturunkan. Sebenarnya, sudah sejak akhir 1986, pendapat ini selalu dikemukakan pengamat ekonomi Indonesia yang juga menjadi anggota tim lima orang bijak (wise men) di Asian Development Bank itu. Biasanya pendapat Sadli ditanggapi para pejabat moneter dengan alasan: masalah beban utang pemerintah (debt service ratio). Tapi mengapa Gubernur BI Adrianus Mooy kini sampai menyinggung soal kebijaksanaan moneter? Sebuah sumber dari kalangan pemerintah menduga, mungkin karena Gubernur Bank Sentral yang sekarang lebih berani. "Bukan hanya dalam bicara, tapi dalam melaksanakan wibawa moneter," katanya. Priasmoro Prawiroardjo, pengamat ekonomi yang menjabat Presiden Direktur Bank Perkembangan Asia, sependapat tentang hal itu. Buktinya bisa dilihat pada pengendalian kurs valuta asing oleh BI kini. Hampir setiap hari ada perubahan. Dan kebijaksanaan seperti itu, ternyata, tidak membuat gejolak pelarian modal ke dolar atau ke luar negeri. Tapi terjadinya depresiasi rupiah menyebabkan para penanam modal asing harus men-swap-kan modal asingnya (swap adalah kontrak tukar-menukar valuta, dengan perjanjian harus ditukarkan kembali dalam uang yang sama penawar pertama biasanya harus membayar premi atau diskon). Tarifnya sekarang berkisar 9%. Tarif swap setinggi itu menyebabkan orang tetap khawatir akan adanya devaluasi. Lalu, bagaimana menurunkan suku bunga itu ? Seorang bankir pemerintah mengatakan, "Pemerintah bisa mengendalikan suku bunga perbankan lewat kebijaksanaan tiga ekonomi makro, yakni dengan tetap mengatur anggaran berimbang, menekan inflasi serendah-rendahnya, dan menjaga kestabilan ekonomi," katanya pada TEMPO. Beberapa kalangan berpendapat, anggaran pemerintah sebenarnya belum cukup berimbang. Pemerintah masih sering meminjam dari perbankan, guna membiayai proyek-proyek, yang dibuat lebih karena faktor politis. Akibatnya, BI terpaksa mencetak rupiah. Maka, tak terhindarkan bila inflasi di Indonesia masih cukup tinggi ketimbang Muangthai. Dan Sadli melihat, hanya dengan menekan inflasi, laju pertumbuhan 5% bisa dicapai dalam Pelita V. "Inflasi sekitar 9% di Indonesia memang tidak terlalu tinggi. Tapi, kalau ingin menghilangkan kekhawatiran terhadap devaluasi, tingkat inflasi masih perlu diturunkan. Muangthai bisa menekan inflasi sampai 5%, mengapa kita tidak melakukannya?" ujar Sadli. Muangthai dewasa ini mencatat pertumbuhan ekonomi 7% per tahun. Inflasi yang rendah di sana menyebabkan suku bunga pinjaman cuma 11%-12%. Berarti deposito 7%-8%, kurang lebih sama dengan situasi di Indonesia lima tahun silam. "Ternyata, bunga deposito baht di Thai setinggi itu tidak menyebabkan pemilik modal lari ke luar negeri," ujar Sadli. Padahal, perbankan di Indonesia terpaksa memasang bunga deposito 18%-22%. Alasannya lumrah, takut pemilik modal lari. "Saya kok sangsi pada alasan itu. Kalau misalnya ditaruh dalam deposito dolar, bunganya sekitar 6%. Okelah, ada orang pintar yang bisa memutarkan dalam pasar modal di luar negeri. Tapi tak semua orang mampu berbuat begitu. Risikonya bisa rontok, seperti kasus di bursa Wall Street tahun lalu," tutur Sadli. Tingginya suku bunga deposito tentu saja menyebabkan bank-bank harus memutarkannya dalam bentuk pinjaman dengan bunga lebih tinggi. "Orang bilang bahwa bank-bank masih bisa menjual kredit dengan bunga sampai 30%. Tapi yang bisa menggunakan pinjaman dengan bunga sekitar 24% itu hanya pedagang. Kalau untuk investasi, waduh, merana," kata Sadli lagi. Ia juga sangsi melihat data investasi BKPM yang semakin meningkat. Apalagi data PMDN. "Pengusaha lokal rata-rata hanya mampu menyediakan dana sekitar 25%, selebihnya pinjam dari bank. Jika harus membayar bunga kredit investasi sampai 18%, ya berat," ujar Sadli. Kwik Kian Gie, seorang pengamat ekonomi, malah mensinyalir bahwa banyak pengusaha nasional selama ini memakai 100% kredit bank untuk membuka perusahaan. Mereka memang harus menyertakan modal, katakanlah 25%. Tapi, ada yang membuat perhitungan investasi lebih tinggi (overpriang). Begitu perusahaan jalan dan mulai untung, labanya juga tidak dipakai untuk memperkuat modal, tapi dipakai sebagai modal untuk membuat perusahaan baru. "Mereka tampaknya pengusaha besar-besar, tapi sebenarnya penuh dhht utang. Begitu perusahaannya rugi, ya bangkrut," tutur Kwik sambil tertawa. Ini dibenarkan seorang bankir asing. Banyak perusahaan milik pengusaha besar di Indonesia yang, menurut bankir ini, seharusnya sudah tutup buku dalam beberapa tahun terakhir. Apalagi perusahaan-perusahaan yang harus membeli bahan baku dari Jepang. Priasmoro juga membenarkan hal itu. Suku bunga yang tinggi serta equity yang tipis cenderung menyebabkan kredit macet. Para investor tak ingin hanya kerja bakti untuk keuntungan bank. "Mereka pun tak mengacuhkan pinjamannya, karena masih sukarnya law enforcement. Masih sulit sekali menuntut penunggak lewat pengadilan," tutur pengelola BPA, bank milik Profesor Sumitro Djojohadikusumo. Akibatnya, para bankir, selain harus memperhitungkan biaya deposito yang sudah mahal, harus pula memperhitungkan risiko kredit macet. "Jika tingkat kemacetan sudah berkisar 3%-4% dari seluruh kredit, itu sudah cukup parah," kata Nyoman Moena. Max Wangkar dan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus