Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Soimah Cerita Pengalaman Tak Mengenakkan dengan Petugas Pajak, Begini Kata Kemenkeu

Artis Soimah menceritakan pernah didatangi petugas pajak yang membawa debt collector. Bagaimana kata Kementerian Keuangan atau Kemenkeu?

8 April 2023 | 09.57 WIB

Soimah. TEMPO/ Agung Pambudhy
Perbesar
Soimah. TEMPO/ Agung Pambudhy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Artis Soimah menceritakan pernah didatangi petugas pajak yang membawa debt collector saat menagih pajak. Bagaimana kata Kementerian Keuangan atau Kemenkeu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Kemenkeu melalui Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, telah menyampaikan klarifikasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertama, kata dia, mengenai kisah tahun 2015 ketika Soimah membeli rumah. Mengikuti kesaksiannya di Notaris, diduga yang berinteraksi adalah petugas Badan Pertanahan Negara (BPN) dan Pemerintah Daerah (Pemda), yang berurusan dengan balik nama dan pajak-pajak terkait BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

"Kantor Pelayanan Pajak (KPP) biasanya hanya memvalidasi," tutur Prastowo. 

Jika ada kegiatan lapangan, lanjut dia, itu adalah kegiatan rutin untuk memastikan nilai yang dipakai telah sesuai dengan ketentuan, yaitu harga pasar yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya. 

Prastowo menilai, pernyataan ini perlu dikonfirmasi ke pengalaman Soimah sendiri. Dia berkelakar, jika ada yang gebrak meja, jangan-jangan pemilik Soto Gebrak Madura yang disangka sedang marah, padahal ramah.

"Kedua, tentang kedatangan petugas pajak yang membawa debt collector, masuk rumah melakukan pengukuran pendopo, termasuk pengecekan detail bangunan. Itu adalah kegiatan normal yang didasarkan pada surat tugas yang jelas," papar Prastowo.

Dia menjelaskan, membangun rumah tanpa kontraktor dengan luas di atas 200 meter persegi terutang PPN 2 persen dari total pengeluaran. Undang-Undang mengatur ini, kata dia, justru untuk memenuhi rasa keadilan dengan konstruksi terutang PPN (Pajak Pertambahan Nilai). 

Selanjutnya: cerita debt collector Soimah versi Kemenkeu

Menurut Prastowo, petugas pajak bahkan melibatkan penilai profesional agar tak semena-mena. Sehingga kerjanya detail dan lama, tak asal-asalan. 

"Hasilnya, nilai bangunan ditaksir Rp 4,7 M, bukan Rp 50 M seperti diklaim Soimah. Dalam laporannya sendiri Soimah menyatakan pendopo itu nilainya Rp 5 M," tutur Prastowo.

Penting dicatat, kata dia, kesimpulan dan rekomendasi petugas pajak tersebut bahkan belum dilakukan tindak lanjut. Artinya, PPN terutang 2 persen dari Rp 4,7 miliar sama sekali belum ditagihkan.

"Kenapa membawa 'debt collector'? Bagian ini saya belum paham betul, berusaha mengunyah," ujar Prastowo.

Menurut Undang-Undang, kantor pajak sudah punya debt collector yaitu Juru Sita Pajak Negara (JSPN). Mereka bekerja dibekali surat tugas dan menjalankan perintah jelas ketika ada utang pajak yang tertunggak. 

"Soimah sendiri tidak pernah diperiksa kantor pajak dan tercatat tak ada utang pajak, lalu buat apa didatangi sambil membawa debt collector? Bagi JSPN, tak sulit menagih tunggakan pajak tanpa harus marah-marah," ungkap Stafsus Sri Mulyani ini.

Sebab, JSPN bisa menerbitkan Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, memblokir rekening, lalu melelang aset atau memindahkan saldo rekening ke kas negara. 

"Kesaksian semua petugas pajak yang berinteraksi, mereka tak pernah bertemu Soimah, hanya keluarga atau penjaga rumah. Terakhir dengan konsultan pajak," bebernya.

Ketiga, kata Prastowo, curhatan Soimah ketika dihubungi petugas pajak yang seolah dengan cara tidak manusiawi untuk segera melaporkan SPT di akhir Maret 2023 ini.

"Saya pun sudah mendengarkan rekaman percakapan Soimah dan juga chat WA dengan petugas pajak. Duh…saya malah kagum dengan kesabaran dan kesantunan pegawai KPP Bantul ini," ujar Prastowo.

Selanjutnya: Petugas pajak menawarkan bantuan jika Soimah kesulitan

Meski punya kewenangan, kata dia, petugas itu tak sembarangan menggunakannya. Petugas tersebut hanya mengingatkan, bahkan menawarkan bantuan jika Soimah kesulitan. 

"Ternyata itu dianggap memperlakukan seperti maling, bajingan, atau koruptor. Hingga detik ini pun meski Soimah terlambat menyampaikan SPT, KPP tidak mengirimkan teguran resmi, melainkan persuasi," kata Yustinus.

Terkait uneg-uneg Soimah yang seolah harus mengumpulkan nota dan sebagainya, Prastowo mengatakan itu ada Undang-Undang dan aturannya. 

"Soimah mesti bersyukur penghasilannya cukup tinggi, sehingga menurut UU Pajak sudah harus menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung pajak," ujar Prastowo.

Menurutnya yang tahu semua ini ya Soimah. Perihal berapa uang yang didapat, berapa biaya dikeluarkan, hanya Soimah yang tahu. 

"Rumit dan ribet? Iya juga sih. Tapi itulah konsekuensi aturan dan administrasi agar adil," ungkap Prastowo.

Undang-Undang, kata dia, tak bisa membedakan orang per orang, maka dibuat standar yang dijalankan jutaan orang wajib pajak. 

"Mungkin ada benarnya kata seorang pakar 'pajak itu hal tak mengenakkan yang harus ada supaya negara tetap berdiri tegak'," tuturnya.

Untuk itulah, kata dia, disediakan standar akuntansi, aplikasi pembukuan, jasa akuntasi, jasa konsultan dan lainnya. 

"Memang tak mudah, tapi bisa dipelajari. Kantor Pajak pun menyediakan bimbingan dan konsultasi, selain jasa praktisi yang profesional dan terjangkau," jelas Prastowo.

Lebih lanjut, dia berterima kasih kepada pembayar pajak, termasuk Soimah. Dia juga berempati pada petugas pajak, khususnya di KPP Bantul. 

"Bisa saja ada oknum petugas yang bertindak tak pantas, meski dari rangkaian kesaksian, ingatan, dan catatan – tak ada alasan untuk harus melakukan tindakan itu," tuturnya.

Prastowo meyampaikan, Plt Kakanwil Pajak Jogja, Slamet Sutantyo, tegas dan tak segan meminta maaf jika ada kesalahan seperti itu.

Selanjutnya: Prastowo menghubungi budayawan kondang Butet

Lebih jauh, Prastowo mengatakan sudah menghubungi budayawan kondang Butet Kertaradjasa yang menyediakan diri menjadi penengah yang baik. 

"Beliau mengajak pihak KPP dan Soimah duduk bareng, ngobrol hati ke hati. Tak perlu masing-masing merasa yang (paling) benar," kata Prastowo.

Menurut dia, sejak 2015 pejabat di KPP Bantul belum pernah berhasil bertatap muka dengan Soimah. 

Prastowo melanjutkan, kantor pajak perlu terus andhap asor atau rendah hati dalam menjalan tugas. Sebaliknya, kata dia, wajib pajak pun perlu memahami sudah banyak perubahan dilakukan sehingga tak beralasan untuk menghindari. 

"Jika perjumpaan itu dapat segera dilakukan, tentu amat baik," tuturnya.

Sebelumnya, Soimah menceritakan pengalaman tak mengenakkan dengan orang pajak dalam podcast yang diunggah di kanal YouTube mojokdotco pada 5 April 2023.

"Saya merasa diperlakukan seperti bajingan, seperti koruptor," kata Soimah dalam video tersebut.

Dia menjelaskan beberapa hal yang membuatnya mengalami hal seperti ini. Pada 2015, orang pajak datang ke rumahnya, membuka pagar tanpa kulanuwun (permisi).

"Tiba-tiba sudah di depan pintu yang seakan-akan saya mau melarikan diri. Pokoknya yang saya dicurigai arep pemeriksaan opo ngunu," tutur Soimah.

Soimah menceritakan, dia bahkan dimintai nota yang menjelaskan mengenai bantuannya ke keluarga. "Dijaluki nota, masa bantu dulur gedene sak mene," tutur Soimah.

Dalam kesempatan yang lain, dia membeli rumah Rp 430 juta dengan cara mencicil. Ketika sudah lunas, urusan pembelian rumah dibawa ke notaris.

"Nggak deal dari perpajakan karena nggak percaya, lho rumah di situ harganya 650 juta. Jadi saya dikira menurunkan harga," cerita Soimah.

Tak hanya itu, dia kemudian membangun pendapa. Pendapa tersebut belum jadi, tapi sudah diukur oleh orang pajak dari pukul 10.00 hingga 17.00 WIB.

"Saya waktu itu di Jakarta, dapat laporan. Akhirnya pendapa itu di-appraisal itu hampir 50 miliar, padahal saya yang bikin aja belum tahu itu habis totalnya berapa," ungkapnya.

Pilihan editor: Terkini Bisnis: Ditjen Pajak Tanggapi Curhat Soimah, Promo Lebaran Super Air Jet

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus