Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASIH tiga setengah bulan lagi tahun berganti. Tapi Rochyati, 52, sudah punya rencana. Mulai awal tahun depan, dosen perguruan tinggi negeri di Rawamangun, Jakarta Timur, itu berniat beralih angkutan: dari mobil pribadi ke busway. ”Biar lebih irit,” katanya.
Namun, ia tentu boleh berharap. Selain harus nyaman, angkutan publik itu sebaiknyalah punya jadwal pasti, mengantar cepat sampai tujuan, memiliki pendingin ruangan yang oke punya, dan tak perlu bersempit-sesak di dalamnya.
Rochyati hanya satu di antara 8,7 juta penduduk Jakarta yang bermimpi punya angkutan umum nyaman. Maklum, dari sekitar 150 unit bus di tiga koridor busway yang sudah beroperasi, faktor kenyamanan masih jauh panggang dari api.
Darmaningtyas, pengamat transportasi dari Institut Studi Transportasi, punya catatan lain. Proyek busway yang sudah berjalan lebih dari dua tahun itu melenggang sendiri, tanpa diintegrasikan dengan moda angkutan lain di Ibu Kota. Langkanya angkutan penghubung (feeder) busway membuat penumpang lumayan repot.
Ini berbeda dengan Bogota, Kolombia, yang menjadi acuan busway di Jakarta. Di sana, di setiap titik keramaian, angkutan penghubung siap melayani penumpang. Karena itu, kata dia, ”Manajemen angkutan penghubung dengan manajemen busway harus terintegrasi.”
Bambang Susantono, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia, setuju usul Darmaningtyas. Pengelolaan transportasi Jakarta harus dipadukan dengan daerah di sekitarnya. Terutama kawasan Bekasi, Tangerang, dan Bogor.
Busway sebetulnya bukan cerita baru. Gubernur Sutiyoso sudah merintisnya sejak 2001. Tengok sana-sini, ide itu baru terwujud awal 2004. Kini empat koridor baru pun sedang dibangun. Itu sebabnya, sejak awal Agustus lalu, sebagian besar jalan di Jakarta macet.
Melalui jalan-jalan utama di Jakarta, proyek baru ini menelan dana sekitar Rp 618 miliar. Jika ditotal sejak 2002, proyek busway sudah menelan dana lebih dari Rp 1 triliun. Menurut Pristono, Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, empat koridor baru itu akan bertemu di beberapa titik, seperti di Matraman, Senen, Halimun, dan Dukuh Atas. ”Di titik itu nanti dibangun SWPA,” kata Pristono kepada Tempo, pekan lalu.
SWPA—maksudnya sky walk paid area—merupakan area jembatan penghubung antarkoridor. Penumpang yang akan pindah koridor bisa lewat jembatan ini tanpa dipungut biaya. Syaratnya, telah memiliki tiket seharga Rp 3.500. ”Inilah salah satu hal yang nanti membuat nyaman penumpang,” Pristono menjanjikan.
Jumlah armada bus juga akan ditambah. Dari kebutuhan sekitar 400 bus untuk tujuh koridor, saat ini baru tersedia 150 bus. Separuh sisanya akan dipenuhi hingga pengoperasian busway tahun baru besok. Dengan penambahan bus, diharapkan tidak terjadi lagi penumpukan penumpang.
Gubernur Sutiyoso malah punya ambisi. Sebelum jabatannya berakhir, Oktober 2007, sudah ada 10 koridor busway di Jakarta, yang pada 2010 menjadi 15 koridor. Lantas, siapa yang diincar sebagai pengguna busway? Orang seperti Rochyati itulah yang diinginkan: pemilik mobil pribadi yang mengidamkan kenyamanan di jalan.
Untuk dua tahun terakhir, memang belum ada data resmi berapa sesungguhnya jumlah pemilik mobil pribadi di Ibu Kota. Tapi Badan Pusat Statistik Jakarta mencatat, hingga 2004 setidaknya mencapai 1,4 juta—sepertiga dari total 4,5 juta kendaraan di Jakarta.
Jika mengacu pada hasil penelitian Japan International Corporation Agency (JICA) bahwa pertumbuhan kendaraan di Jakarta per tahun mencapai 11 persen, berarti jumlah kendaraan saat ini sekitar 5,5 juta, dengan mobil pribadi sekitar 1,7 juta.
Meski begitu, tentu tak mudah ”menggiring” para pengguna mobil pribadi beralih ke busway. Menurut data Institut Studi Transportasi, untuk 2004 perpindahan orang dari mobil pribadi ke busway cuma sekitar 7,6 persen, dan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun ini. Penelitian JICA pun menyebutkan, cuma sekitar 14 persen penumpang busway yang berasal dari para pengendara mobil pribadi.
Angka penumpang busway memang meningkat dari tahun ke tahun. Lihatlah data Dinas Perhubungan. Sejak awal koridor satu beroperasi pada 2004, penumpang busway meningkat dari 56 ribu per hari menjadi 80 ribu di tahun berikutnya. Setelah ditambah dua koridor baru, jumlahnya pun bertambah menjadi 126 ribu penumpang per hari.
Danto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo