MENKO Ekuin Ali Wardhana tampak lesu. Turun dari pesawat Singapore Airlines yang membawanya dari Tokyo, Kamis malam pekan lalu, wajahnya kentara betul terlihat lelah. Bisa jadi, karena perjalanan yang jauh. Tapi, boleh jadi pula usahanya menyelesaikan krisis keuangan Inalum (Indonesia Asahan Aluminium) kurang berhasil. Proyek besar berharga sekitar US$ 2 milyar itu, seperti diketahui, terus-menerus ditonjok kerugian: pada 1985 saja Inalum rugi US$ 47 juta. Proyeksi cash floq perusahaan itu juga, berantakan gara-gara harga aluminlum jatuh dari sekitar US$ 2.000 (1980) menjadi sekitar US$ 1.000 per ton tahun ini. Sialnya lagi, yen menguat lebih dari 60% melawan dolar. Akibatnya, kewajiban Inalum membayar utang pokok (dalam yen) membengkak Jadi sekitar US$ 540 juta dari semula cuma US$ 220 juta. Beban bunganya juga naik sekitar 40%. Inalum makin terpojok. Hasil penjualannya tidak cukup untuk memenuhi kewajibannya. Untung, pihak kreditor Jepang mau membantu, Juni tahun lalu, misalnya, memberikan penundaan pembayaran utang pemegang saham mayoritas (75%) Inalum (konsorsium perusahaan Jepang) 22 milyar yen. Sementara itu, Sumitomo Aluminium Smelting, salah satu pemegang saham bersama sogo shosha lainnya, bersedia menyuntikkan dana tambahan. Bahkan pemerintah Jepang lewat Overseas Economic Coopcration Funds (OECF) juga mau menyuntikkan modal tambahan 12 milyar yen. Total dana yang dibutuhkan Inalum untuk bisa keluar dari kesulitan cash flow itu seluruhnya diperkirakan 32 milyar yen. Sekitar 24 milyar yen akan diberikan pihak Jepang dan sisanya dari pihak Indonesia. Masalah ini yang antara lain dirundingkan Ali Wardhana dengan Menteri MITI Hajime Tamura, di Tokyo, Senin pekan lalu. Seorang pejabat MITI yang ditemui koresponden TEMPO Seiichi Okawa menegaskan pemerintah Indonesia harus mau menyuntikkan modal tambahan. "Inalum adalah proyek kerja sama kedua negara. Bila pihak Indonesia tak sanggup menambah modal, kami juga tak membayangkan hisa ikut memikirkan proyek itu," katanya.