Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bisnis minyak atsiri menggeliat di sejumlah daerah.
Permintaan meningkat seiring maraknya produksi antiseptik.
Pemasaran dan lahan jadi kunci.
“PAK Kabul kalau di Klaten kedinginan, silakan ke sini dekat tungku, kalau masih dingin oles minyak serai,” ujar Djanuardi, produsen minyak atsiri, sambil merekam video kegiatannya menyuling minyak serai wangi, Rabu, 23 Februari lalu. Suaranya bersahutan dengan gemuruh api yang menjilati potongan kayu di dalam tungku besar. Video itu dikirim ke Kabul dan beberapa kawannya sesama produsen minyak atsiri di Klaten, Jawa Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Djanuari menyuling di pabriknya, sebuah bangunan semipermanen di Kelurahan Tanah Garam, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok, Sumatera Barat. Edi—begitu biasanya pria 67 tahun ini biasa dipanggil—bekerja bersama dua rekannya yang bernaung di Kelompok Tani Agribisnis Atsiri dan Industri Kecil Menengah Agribisnis Citronella Oil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama masa pandemi, Djanuardi rajin berkirim kabar ihwal kegiatannya di kebun serai wangi dan penyulingan minyak atsiri melalui video. Dia sebenarnya memulai usaha ini semenjak pensiun dari Dinas Perhubungan Kota Solok pada 2012. Rabu itu, kegiatan penyulingan memakan waktu tujuh jam, menghasilkan 7,1 kilogram minyak serai wangi dari sekitar 850 kilogram bahan baku yang dipanen. “Panen bergantung pada kemampuan penyulingan juga karena alat dan orang kami masih terbatas,” kata Djanuardi.
Keterbatasan itu juga yang membuat Djanuardi tak bisa berbuat banyak ketika pasar sedang gandrung akan minyak atsiri. Selama masa pandemi, permintaan minyak atsiri meningkat dua kali lipat. Rata-rata, dalam sebulan, kelompoknya menghasilkan 200-300 kilogram minyak serai wangi dari sekitar 10 hektare lahan sewa yang bisa digarap.
Sekitar 60 persen hasil penyulingan dijual kepada eksportir seharga Rp 170 ribu per kilogram. Sisanya diproduksi menjadi beberapa produk turunan, seperti minyak untuk olesan, obat herbal, juga sabun padat dan cair, untuk dijual langsung ke konsumen secara online. Limbahnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan produk antihama.
Pekerja di tempat penyulingan akar wangi, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat, 24 Februari 2022. TEMPO/Rommy Roosyana
Dua tahun belakangan, permintaan meningkat secara eceran dari sejumlah daerah di Jawa dan Bali. Kebanyakan pembelinya adalah produsen hand sanitizer, disinfektan, dan produk kebersihan yang marak di masa pagebluk.
Kepada para pembeli eceran ini, Edi bisa menjual minyak serai wangi Rp 250 ribu per kilogram. “Permintaan tinggi pas pertengahan 2020 sampai Agustus tahun lalu,” tutur Djanuardi, yang juga menjadi Ketua Perhimpunan Petani dan Penyuling Minyak Atsiri Sumatera Barat.
Industri atsiri di Solok memang belum sebesar di Kabupaten Garut, Jawa Barat, yang sudah berjaya dengan minyak atsiri akar wanginya sejak 1970-an. Saat itu, Garut sudah bisa memproduksi 60 ton atsiri akar wangi per tahun. Menurut Djanuari, Solok bisa berkembang seperti Garut.
Hingga saat ini, Garut nyaris tak punya saingan sebagai penghasil minyak akar wangi atau Vetiveria zizanioides di Indonesia. Sebagaimana fungsi minyak atsiri pada umumnya, vetiver juga banyak digunakan sebagai bahan pengikat (fixative) dalam pembuatan parfum, kosmetik, dan obat-obatan.
Kamis, 24 Februari lalu, gerumuh semburan api juga mengaung di Kampung Randukurung, Kecamatan Samarang, Garut. Di salah satu pabrik penyulingan, asap hitam pekat menyembul, diikuti aroma wangi yang bercampur bau sangit oli terbakar. Eman, 21 tahun, duduk menyiangi akar-akar yang menggunung di salah satu sudut ruangan. Marwan, kolega Eman, sibuk mengencangkan baut-baut besar yang mengikat penutup ketel raksasa. “Tekanan uap dari proses penyulingan akar wangi sangat tinggi,” kata Marwan.
Alat penyulingan yang digunakan Marwan sama tradisionalnya dengan yang digunakan Djanuardi di Solok. Bedanya, Marwan menggunakan tungku pemanas berbahan bakar oli bekas. Ia bisa menghabiskan 450 liter oli bekas untuk menyuling 2 ton akar kering selama 15-20 jam. Hasil dari penyulingan ini, ujar Marwan, bisa menghasilkan minyak yang lebih jernih sehingga harga jualnya lebih tinggi.
Sejak 2020, harga minyak akar wangi bertahan pada angka Rp 1,8- 2 juta per kilogram, meski permintaan sedang tinggi. Harga ini jauh di bawah harga minyak akar wangi kelas premium yang bisa mencapai Rp 3,5 juta per kilogram. “Yang premium ini ongkos pengolahannya tinggi. Para penyuling di Garut masih menggunakan ketel tradisional. Belum ada yang menggunakan ketel modern, baru dua yang memiliki ketel semimodern,” ucap Ketua Asosiasi Minyak Atsiri Jawa Barat Ede Kadarusman saat ditemui Tempo, Kamis, 24 Februari lalu.
Pekerja memproduksi minyak atsiri di taman aromatik Rumah Atsiri Indonesia, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Tempat Marwan menyuling akar wangi di Kecamatan Samarang adalah satu dari tiga pusat penyulingan di Garut. Dua penyulingan lain berada di Kecamatan Pasirwangi dan Kecamatan Cilawu. Adapun sentra penanaman akar wangi di Garut tersebar di Kecamatan Samarang, Kecamatan Pasirwangi, Kecamatan Bayongbong, Kecamatan Cilawu, dan Kecamatan Leles.
Mereka tergabung dalam 28 kelompok tani, meliputi 1.964 pemilik lahan dan penyulingan serta 2.063 petani atau penggarap. Setiap hektare lahan menghasilkan rata-rata 10 ton akar wangi kering siap olah. Dengan total luas lahan perkebunan akar wangi 2.400 hektare, produksi minyak akar wangi di Garu bisa mencapai 72 ton per tahun.
Selama masa pandemi, menurut Ede, permintaan meningkat dua kali lipat dari pasar dalam negeri. “Banyak yang memproduksi hand sanitizer, disinfektan, dan sabun cuci tangan,” katanya.
Selain akar wangi, minyak atsiri yang banyak dicari pelaku usaha lokal selama masa pandemi adalah hasil olahan serai, eucaliptus, dan jeruk purut. A.M. Faizal Daeng Pawewang yang memproduksi minyak jeruk purut atau kaffir lime sejak 2017 di Garut memanfaatkan peluang ini. Dia juga memproduksi hand sanitizer dan disinfektan bermerek Javegar, kepanjangan Java Vetiver Garut. “Pas pandemi, permintaan produk homecare meningkat, tapi tidak besar,” ujar Faizal, Sabtu, 26 Februari lalu.
Permintaan yang tak begitu besar, menurut Faizal, bisa jadi karena usaha barunya itu belum mengoptimalkan pemasaran. “Selama ini yang pesan karena sudah kenal dan tahu,” ujarnya. Walau begitu, setiap bulan Faizal bisa meraup keuntungan Rp 20-30 juta.
Dugaan Faizal ada benarnya. Di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Cahyaningrum ketiban durian runtuh. CEO-Founder Nares Essential Oil, produsen minyak atsiri, ini meraup untung ketika permintaan produknya meningkat hingga lima kali lipat sejak awal masa pandemi hingga pertengahan 2021. “Sekarang sudah turun lagi, tapi relatif stabil,” tutur Cahyaningrum, Rabu, 16 Februari lalu. “Sudah kembali normal. Orang sudah vaksin, sudah tidak sepanik saat awal pandemi.”
Kini, untuk produk yang dijual retail, tokonya bisa menjual 70-100 botol berkapasitas 10 mililiter per bulan. Harganya berkisar Rp 105-400 ribu per botol, bergantung pada jenis minyaknya.
Arum—begitu Cahyaningrum biasa dipanggil—sempat kewalahan untuk memenuhi permintaan minyak dalam bentuk curah di awal masa pandemi. “Permintaan ekspor banyak, di dalam negeri juga lagi banyak-banyaknya,” ujarnya. Dia mencontohkan, permintaan dari Amerika Serikat dan Swiss bisa sampai 10 ton per bulan. “Kami belum bisa memenuhi kapasitas itu tiap bulan.”
Kementerian Luar Negeri mencatat, ekspor minyak atsiri Indonesia ke Swiss naik lebih dari 300 persen pada 2020. Jenis produknya beragam, seperti agarwood (gaharu), jasmine (melati), rose (mawar), vetiver (akar wangi), wintergreen (gandapura), patchouli (nilam), cajeput (kayu putih), dan kaffir lime (jeruk purut).
Sementara ini Nares Essential Oil fokus memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bahan bakunya dipasok sejumlah petani mitra dari beberapa daerah. Adapun lahan pabrik penyulingan Nares di Kendal, Jawa Tengah, hanya tersisa kurang dari 1 hektare yang bisa ditanami serai wangi.
Nares kebanjiran permintaan karena mereknya sudah banyak dikenal. Bernaung di bawah PT Kendal Argo Atsiri, Nares sudah memproduksi sekitar 20 jenis minyak atsiri dari berbagai tanaman. Sebagian produknya diekspor ke berbagai perusahaan kosmetik, parfum, farmasi, dan makanan ke beberapa negara Eropa.
ROMMY ROOSYANA (GARUT)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo