Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah Dorodjatun Kuntjoro-Jakti terlihat cerah. Berkali-kali Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu merayu anak buahnya agar tampil ke panggung, berdendang ria. Dorodjatun sendiri melantunkan lagu kondang era 1960-an: I Left My Heart in San Francisco. Dan sejumlah stafnya terlihat menyimak, penuh khidmat.
Pesta kecil itu digelar Rabu malam pekan lalu di Nusa Dua, Bali, setelah dua hari sibuk berunding tentang utang dengan para anggota Consultative Group on Indonesia (CGI). Sebagaimana luas diberitakan, lembaga donor sepakat mengucurkan bantuan alias pinjaman lunak sebesar US$ 2,7 miliar kepada Indonesia, dengan bunga 1 hingga 4 persen.
Sidang CGI kali ini dikawal ketat aparat polisi dan ratusan pecalang alias pasukan pengawal dari lembaga adat Bali. Wartawan dilarang "mengintip" apalagi meliput jalannya sidang. Para kuli tinta cuma boleh hilir-mudik di lantai satu dan dilarang keras mampir ke lantai dua, tempat pertemuan digelar. Selain itu, tiga pintu masuk menuju hotel juga ditutup rapat. Jalur keluar-masuk cuma dibolehkan melalui satu pintu. Konon penjagaan superketat itu sengaja dilakukan untuk mengantisipasi kelompok masyarakat anti-utang yang dikhawatirkan nekat merangsek masuk ke hotel bintang lima tersebut. Di bawah penjagaan seperti itu, situasi memang aman sentosa. Dorodjatun pun berkomentar bahwa sidang CGI berlangsung kondusif, juga mulus.
Tapi sumber TEMPO yang ikut dalam pertemuan itu berkisah sebaliknya. Sumber yang tidak mau disebut namanya ini mengatakan, sidang sempat tegang, kikuk, juga kaku. Pemicu ketegangan adalah uraian Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Kwik Kian Gie. Dalam forum itu, secara terbuka Kwik?yang juga merangkap sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)?menegaskan bahwa Indonesia sebetulnya bisa hidup tanpa utang dari sejumlah negara dan lembaga donor luar negeri. Maksudnya, Indonesia bisa menghidupi diri sendiri jika saja kolusi, korupsi, dan nepotisme bisa disirnakan.
Sampai di situ, situasi sidang masih adem ayem. Tapi ketegangan mulai terasa ketika Kwik menyinggung soal kebocoran dana bantuan dari sejumlah negara dan lembaga donor. Penyaluran bantuan itu, kata Kwik, tidak sempurna dan terjadi kebocoran di sana-sini. Jika ditotal, jumlah kebocoran melambung ke angka US$ 28,4 miliar. "Kita menyia-nyiakan uang sebesar itu, tetapi hari ini mengemis kepada CGI sekitar US$ 3 miliar atau bahkan lebih kecil lagi," tutur Kwik. Peserta sidang terkejut mendengar uraian itu. Situasi agak tegang, sedangkan para pejabat dari negara donor terlihat berbisik-bisik.
Sebenarnya, apa yang dikatakan Kwik perihal kebocoran bukanlah sesuatu yang baru. Bank Dunia, salah satu kreditor utama, juga mengakui kebocoran pinjaman untuk Indonesia rata-rata sekitar 30 persen. Hal itu terungkap lima tahun lalu, ketika Indonesia, yang fundamental ekonominya dipujikan cukup kuat, ternyata goyah dilanda badai krisis moneter. Jadi, kebocoran bukanlah soal baru, namun tak urung ketegangan yang dicetuskan Kwik Kian Gie menjalar ke Jakarta.
Sehari setelah penutupan sidang di Bali, Sekretaris Bappenas Koensatwanto Inpasihardjo melontarkan kejutan lain. Menurut dia, tidak semua utang yang dipinjamkan oleh sejumlah donatur itu sampai pada sasarannya. Sekitar 20 persen utang itu bocor, terutama dalam pelaksanaan proyek pembangunan. Jika sinyalemen ini benar, memang mengherankan juga. Soalnya, proyek yang tersangkut dengan pinjaman asing umumnya sangat selektif dan kerap menggunakan jasa konsultan dari negara kreditor itu sendiri.
Pernyataan Koensatwanto serta-merta mengejutkan sejumlah lembaga donor. Seakan dimaksudkan untuk membantah pernyataan itu, Jemal Uddin Kassum menyatakan bahwa, "Kebocoran 20 persen itu masih bersifat laporan dan belum bisa dibuktikan." Pernyataan ini diutarakan oleh Wakil Presiden Direktur Bank Dunia untuk Asia Pasifik ini, setelah bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri, Jumat pekan lalu. Menurut Jemal Uddin, Bank Dunia sangat berkomitmen untuk melenyapkan penyelewengan dalam penggunaan dana yang dikucurkannya untuk Indonesia.
Bantah-membantah perihal kebocoran segera marak dan berbalas-balasan. Koensatwanto pun sigap memberi tanggapan. Katanya, hasil monitoring Bappenas seharusnya bisa digunakan sebagai bahan evaluasi oleh lembaga atau negara donor. Karena itu, tidak arif kalau pihak donor malah sibuk menyangkalnya. "Jangan-jangan negara donor terlibat dalam mekanisme yang menyebabkan kebocoran itu," ujarnya sengit.
Tak kurang menarik komentar beberapa ekonom tentang kebocoran. Menurut mereka, angka kebocoran sesungguhnya jauh lebih besar dari yang disebut Kwik. Revrisond Baswir, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, menghitung bahwa jumlah dana bantuan yang sampai ke masyarakat cuma sekitar 30 persen. Sisanya sebesar 70 persen lenyap (baca: bocor) dalam proses penyalurannya.
Jadi, "Angka kebocoran 20 persen itu terlalu kecil," kata Revrisond. Pinjaman dari sejumlah lembaga donor itu, menurut dia, cuma menggelembungkan saku kreditor sendiri, juga kontraktor yang terlibat dalam proyek bantuan ini. Nah, agar bisa keluar dari kesulitan seperti itu, ia mengusulkan agar pemerintah mencari sumber pendapatan alternatif untuk menambal anggarannya, ketimbang terus-menerus mengandalkan bantuan yang bocor ke mana-mana.
Pertemuan di Bali juga dinilai sejumlah kalangan tak banyak memperlihatkan kemajuan dibandingkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Juga tidak ada terobosan baru. Program-program yang dibicarakan tidak menyentuh masalah mendasar di negeri ini, yaitu kemiskinan. Selama dua hari itu, isi perundingan masih seputar upaya mendongkrak investasi, mengurangi defisit anggaran, pencabutan subsidi, penjualan aset negara, dan divestasi sejumlah perusahaan milik negara. "Ini tak jauh-jauh dari keinginan IMF," kata Binny Buchori, dari International NGO Forum on Indonesia (Infid), yang terus memonitor kerja sama Indonesia dengan sejumlah lembaga donor itu. Sidang itu, kata Binny, melesat jauh dari tema besarnya, yaitu mengurangi kemiskinan yang sangat kronis di Indonesia.
Itu sebabnya, ia sepakat dengan sejumlah pengamat lainnya, agar pemerintah Indonesia tidak melanjutkan kontrak kerja sama lembaga donor, termasuk dengan Dana Moneter Internasional (IMF), yang akan berakhir tahun 2003 ini. Pemerintah sebaiknya lebih mengandalkan sumber pendapatan dalam negeri.
Tapi umumnya mereka yang anti-utang juga tidak siap dengan alternatif lain yang meyakinkan. Harus diakui, utang luar negeri dengan risiko kebocorannya adalah alternatif yang paling terjangkau daripada alternatif lain yang ada. Sumber pendapatan dalam negeri, misalnya, tidak menjawab masalah bagaimana menutup defisit anggaran belanja negara tahun 2003 yang Rp 34 triliun itu. Apalagi untuk membuka lapangan kerja dan meredam angka pengangguran yang kian meningkat.
Di luar isu kebocoran, dalam pertemuan di Bali pemerintah sendiri tampak ragu-ragu menentukan sikapnya soal kontrak kerja sama dengan IMF. Menurut Dorodjatun, soal kontrak kerja sama itu akan dibahas oleh satu tim yang kelak akan segera dibentuk oleh pemerintah. Apakah kerja sama dilanjutkan atau tidak, tim tersebutlah yang akan membahas untung ruginya.
Sementara itu, Dorodjatun tak habis pikir bagaimana sejumlah ekonom bisa menyudutkan IMF dengan tudingan bahwa lembaga itulah yang selama ini mendikte pemerintah Indonesia. "Saya bingung, bagaimana lembaga itu mendikte kita," Dorodjatun balik bertanya. Menurut pendapatnya, sejumlah peraturan yang muncul dalam kerja sama itu bukan karena IMF doyan mendikte pemerintah, tetapi karena memang konstitusi lembaga ini seperti itu. Katanya, kepatuhan kita pada peraturan IMF adalah sebuah konsekuensi karena kita menggunakan duit IMF.
Terlepas dari sikap pro dan kontra-IMF, Dorodjatun memastikan bahwa tim kecil yang disebutkannya itulah yang akan memikirkan berbagai cara yang harus ditempuh, jika kontrak kerja sama Indonesia dengan IMF benar-benar putus. Tim ini juga akan berpikir keras bagaimana kiat mengatasi masalah ketimpangan anggaran, jika Indonesia tidak lagi mengandalkan pinjaman CGI.
"Kalau kreatif, sebetulnya ada banyak cara untuk keluar dari kesulitan anggaran itu," tutur Rizal Ramli, ekonom senior dari lembaga Econit, yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Salah satu jalan keluar itu, katanya, melakukan reformasi besar-besaran dalam bidang perpajakan. Selama ini sektor pajak tidak dimaksimalkan, padahal sangat potensial sebagai sumber pendapatan.
Pemerintah juga, menurut Rizal, masih bisa memanfaatkan tagihan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dinikmati sejumlah bankir bermasalah. "Kalau hal-hal itu bisa dilakukan, tidak perlu Paris Club, juga CGI itu," katanya. Rizal menambahkan bahwa pemerintah sebaiknya menggarap dengan serius sumber-sumber pendapatan alternatif ini. Dia menilai, hal itu lebih baik daripada terus-menerus berutang, dan terus-menerus bocor ke mana-mana.
Wenseslaus Manggut, Leanika Tanjung (Denpasar, Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo