Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIPPO Bank tengah menuai badai. Dalam situasi gonjang-ganjing, direksi Lippo Bank urung bertemu dengan pemimpin Bursa Efek Jakarta pekan lalu. Alasannya, mereka belum siap. Hal itu membuat berbagai pihak kian memperketat pemantauannya terhadap bank milik bankir kenamaan Mochtar Riady ini.
Dalam barisan pemantau, ada para investor publik, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai pemegang saham terbesarnya, dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Semuanya menelisik mana yang benar: Lippo Bank sebagai the best retail and consumer bank di Indonesia?seperti ditetapkan The Asian Banker?ataukah bank yang kinerjanya babak-belur seperti terungkap dalam laporan Lippo Bank sendiri ke Bursa Jakarta.
Menjawab teka-teki itu tak mudah, terutama karena manajemen Lippo Bank cenderung tutup mulut. Hal ini dibenarkan oleh Presiden Direktur Lippo Bank, I Gusti Made Mantra. "Direksi diperintahkan tutup mulut," ujarnya menjawab telepon TEMPO, Sabtu pekan lalu. "Saya diminta puasa bicara," katanya menambahkan. Ketika ditanya perihal kinerja Bank Lippo, Mantra mengatakan bahwa semuanya akan dijelaskan oleh Bapepam pekan ini.
Pasar modal sejauh ini mengisyaratkan bahwa kondisi Bank Lippo memang mengkhawatirkan. Harga sahamnya jatuh dari Rp 70 per lembar enam bulan lalu ke Rp 25 (setelah reverse stock, sahamnya memang menjadi Rp 250). Akibatnya, nilai pasar saham pemerintah di Lippo Bank juga anjlok. Berdasarkan data BPPN, nilai pasar saham pemerintah di Lippo per 6 Januari hanya Rp 614 miliar, padahal nilai bukunya pada Oktober 2002 masih Rp 1,7 triliun. Hal yang ganjil ini kian nyata karena nilai pasar bank-bank lain di bawah BPPN?kecuali BII, yang sedang dalam proses konsolidasi?malah naik.
Seiring dengan kejatuhan harga sahamnya, kinerja Lippo Bank juga memburuk. Berdasarkan laporan keuangan per September 2002 yang dibuka ke publik pada 28 November 2002, Lippo Bank masih memiliki aktiva Rp 24,18 triliun dan laba Rp 98,7 miliar. Rasio kecukupan modalnya (capital adequacy ratio/CAR) juga aman, yakni 24,77 persen. Tapi, dalam laporan ke Bursa Efek Jakarta pada 27 Desember 2002, tercantum aktivanya tinggal Rp 22,8 triliun dan Lippo merugi Rp 1,27 triliun. Rasio modal minimumnya pun amblas hingga 4,38 persen.
Rupanya, ada penurunan nilai aset yang diambil alih, dari Rp 2,39 triliun menjadi hanya Rp 1,42 triliun. Aset ini merupakan jaminan yang diserahkan Grup Lippo sebagai pembayaran atas utang-utangnya kepada Lippo Bank. Menurut Kepala Riset Bahana Securities, Mirza Adityaswara, sistem pelaporan di Bank Indonesia memungkinkan terjadinya hal ini. Di Indonesia, hanya kredit atau surat berharga bermasalah yang disediakan pencadangannya (provisi). Tak aneh jika kasus ini baru terungkap ketika aset yang diambil alih bermasalah. Lain di Filipina. Di sana, bank tetap memberikan provisi kepada aset yang diambil alih.
Sumber TEMPO di bursa meyakini bahwa semua itu bukan kejadian yang berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang secara sistematis sudah lama dirancang. Tujuannya tak lain agar Grup Lippo bisa membeli Lippo Bank dengan harga murah. "Indikasinya kuat karena transaksi jual-beli sahamnya hanya dilakukan oleh broker yang itu-itu saja," katanya.
Mirza melihat hal yang sama. Menurut dia, Lippo Bank seperti tak memberikan banyak pilihan kepada BPPN. Dengan CAR di bawah delapan persen, mau tidak mau BPPN harus merekap ulang. Jika tidak, BI akan menutupnya. "Ada upaya fait accompli," kata Mirza. Pilihan lain, divestasi saham, sami mawon. Cara ini berakibat dua hal: saham pemerintah akan berkurang atau saham pemerintah tetap melalui suntikan modal.
Nah, jika pemerintah tidak mengambil haknya, pemilik lama akan masuk karena mereka masih punya saham sekitar 8,11 persen melalui Lippo E-Net. Tentang kemungkinan ini, I Gusti Made Mantra hanya bungkam. "Nanti saja kalau semuanya sudah beres," katanya kepada Dewi Rina Cahyani dari TEMPO.
Ketua BPPN Syafruddin Temenggung memastikan untuk tidak merekap Lippo. "Enak saja," katanya. Deputi Ketua BPPN Bidang Restrukturisasi Perbankan, I Nyoman Sender, pun sepakat dengan bosnya. Bahkan, katanya, BPPN akan mengganti manajemen Lippo jika mereka tidak mampu mengelolanya. Menurut Mirza, penggantian ini memang harus dilakukan untuk memotong pengaruh keluarga Riady di Lippo Bank. Sender pun mengakui bahwa pengaruh pemilik lama di Lippo Bank masih kuat, meskipun BPPN menguasai 59,25 persen sahamnya.
Bahkan, dalam pandangan Mirza, BPPN tidak cuma harus mengganti manajemen, tapi juga mesti memasukkan Lippo Bank ke kategori bank dalam penyehatan (BDP). Hanya dengan cara itu, BPPN bisa sepenuhnya mengontrol dan memperbaiki kinerja bank tersebut.
M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo