Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAERAH Khusus Ibukota Jakarta ini terbagi dalam 5 wilavah
walikota, 27 kecamatan 220 kelurahan. Pembagian wilayah
pemerintahan itu kemudian diperinci lagi dengan Rukun Warga
(RW) yang berjumlah 1.624 serta Rukun Tetangga (RT) sejumlah
20.359. Jabatan Lurah ke atas merupakan status pegawai
pemerirtah sedang RW dan RT merupakan jabatan hasil pilihan
masyarakat sendiri dan tidak beroleh gaji dari pemerintah.
Berikut ini ditampilkan seorang Kepala RT dari daerah Menteng
yang sebagian besar penghuninya terdiri dari pejabat tinggi
negara. Sedangkan urtuk Kepala RW dipilih dari sebuah daerah
yang penduduknya terdiri dari buruh kasar pedagang kecil serta
pegawai menengah.
RUMAHNYA kecuali bagus lumayan besar. Anak setengah lusin.
Semua belum dewasa. Paling besar baru kelas dua SMP. Paling
kecil bahkan masih kelewat manja misalnya antara lain belum
bosan merengek minta digendong. Bagaimana pun bagi nyonya Yet
Hansri Tando urusan rumah tangga bukan hal yang terlalu
merepotkan. Sebab seperti umumnya keluarga di kawasan Menteng,
Jakarta. untuk menyelesaikan urusan tersebut -- meski tak
seluruhnya tentu saja -- sudah ada si bibi dan si mamang alias
bujang sebagai tenaga bayaran. Walau begitu untuk jadi ketua RT
nyonya kelahiran Padang 34 tahun lalu itu mulanya merasa segan
bukan main.
"Saya tak ada ambisi. Bukan sebab jabatan tersebut tidak keren
tapi yang pokok di daerah Cendana ini masih hanyak ibu-ibu yang
jauh lebih berumur", katanya di rumahnya Jalan Cendana 31 tak
jauh dari rumah Presiden RI. Rumah itu sekaligus merupakan
kantor RT-002 RW-01 Kelurahan Gondangdia Kecamatan Menteng
Jakarta Pusat.
Nyonya-nyonya Menteng memang selalu tampil mewakili rumah tangga
masing-masing, maklum sang suami umumnya terbilang orang yang
banyak sibuk. Enam tahun sesudah pengangkatannya di tahun 1966,
nyonya Yet minta dibebaskan dari tugasnya. Ternyata tak kurang
dari nyonya Tien Suharto yang sudah tentu merupakan warga
terpandang di sana, berkata: "Kamu toh masih muda, mengapa mesti
mengundurkan diri?"
10 Tahun
Dihitung-hitung sudah 10 tahun nyonya Yet jadi ketua RT. Satu
kali ia pernah risau tatkala ada suara-suara entah dari mana --
yang menyebut tugasnya enak "Enaknya memang ada. Tidak enaknya
juga ada. Keduanya serba sedikit", ujarnya. "Terus terang enak-
nya ya misalnya bisa silaturachmi dengan keluarga Presiden,
sebab Pak Harto itu warga saya. Bagaimana pun hubungan ini hanya
karena saya ketua RT". Menurut nyonya Yet, tiap hari raya Iedul
Fitri RT-nya menyelenggarakan halal bihalal. Dua kali pernah
dilakukan di rumahnya sendiri sebagai ketua RT. Pada kesempatan
itu Pak Harto dan nyonya Tien datang. Berbincang sesama warga RT
tanpa terikat secara kaku oleh aturan protokoler sebagaimana
biasa diterima Presiden dalam tugasnya sehari-hari.
"Tugas RT bukan sekedar menyelenggarakan pertemuan halal bi
halal" kata nyonya Yet. RT memang lembaga masyarakat. Artinya
ketua dan pengurus lainnya diangkat dan diberhentikan oleh
masyarakat sendiri. Tugasnya sebenarnya merupakan unsur
pemerintahan, sebagai eselon paling bawah. Di satu pihak ia
misalnya bertugas menyampaikan pengumuman dari pemerintah, di
lain pihak ia merupakan penampung pertama persoalan masyarakat.
Kemalingan, perkelahian atau apa saja pada taraf pertama harus
disampaikan dan memang harus ditangani RT sebelum diserahkan
kepada instansi yang berwenang. Belum lagi soal pembuatan surat
keterangan, yang biasa diperlukan setiap warga, misalnya untuk
bepergian jauh atau tanda tidak terlibat G-30-S.
Nyonya Yet merasa beruntung selama nyaris sepertiga umurnya jadi
ketua RT katanya tak ada mengalami hal yang gawat. Kemalingan
bukan tak pernah terjadi, bahkan ia sendiri pernah jadi
korbannya. "Maling kecil", katanya. Maksudnya sasarannya boleh
dibilang tak seberapa. Ia pernah kemalingan pot antik di depan
rumah dan sejumlah jemuran. Dan itu tak usah dirisaukan benar
karena pintu halaman rumahnya memang tak pernah dikunci. "Tiap
orang bisa saja masuk, misalnya pura-pura mau menanyakan alamat
seseorang karena di depan toh ada keterangan bahwa ini rumah
RT".
Dalam mengurus warganya nyonya Yet tak bisa menetapkan jadwal
kerja sendiri. Kalau ada tamu, anak-anaknya tahu mana tetangga
atau warga RT mana orang jauh. Kepada tamu jauh anak-anak itu
biasa menyambutnya dengan rupa-rupa pertanyaan lebih dulu. Kalau
kebetulan maminya tidak lagi nganggur, apa boleh buat tamu itu
dipersilakan untuk lebih baik datang pada kesempatan lain.
Sebaliknya kalau tamu itu golongan tetangga, jauh sebelum yang
bersangkutan mengetuk pintu atau memijit bel, anak-anak sudah
memberitahu nyonya Yet tanpa lebih dulu tanya ini itu pada si
tamu. Dan, perduli tengah makan, istirahat atau apa saja, sang
ibu alias ketua RT segera keluar. "Tugas RT itu sebenarnya
mulia", tutur nyonya berpendidikan terakhir SGKP Gadih Rantih
Padang, 1960.
Keamanan
Satu keuntungan baginya, perkara keamanan tak menjadi urusannya.
Hal itu diambil alih bagian keamanan rumah tangga Presiden.
Itulah sebabnya ia tidak repot menyusun barisan hansip seperti
RT lain.
Sebelum tahun 70-an warga RT Cendana sering menyelenggarakan
bazar, arisan maupun piknik ke berbagai tempat misalnya
Pelabuhan Ratu. Kini kegiatan itu nyaris sepi, sebab sebagian
warganya ada yang hijrah ke tempat lain sementara penghuni baru
sebagian tampaknya masih terlalu repot dengan urusan
masing-masing. Bukan itu saja. RT Cendana kini kehilangan
warganya yang tergolong remaja. "Mereka kini sudah ada yang jadi
dokter, es-ha dan macam-macam lagi. Sebagian sudah ada yang
pindah, bahkan ada yang di luar negeri. Mereka-merekalah
sebenarnya yang dulu sering mengadakan kegiatan. Generasi baru
belum muncul, umumnya masih kecil, rata-rata baru SMP".
Sebagai ketua RT nyonya Yet tak mengadakan pungutan apa pun
kepada warganya, kecuali satu: iuran kebersihan. Yang satu ini
besarnya tergantung keikhlasan masing-masing. Umumnya Rp 500
sebulan. Tapi sejak 5 tahun terakhir ini katanya tak lagi
dilakukan. Soalnya karena nyonya Yet menyadari kegiatannya tidak
seperti dulu lagi. Tapi ada juga soal sampingan. "Tukang sapu
jalan itu memang sudah digaji oleh Balaikota atau pemerintah,
tapi tak ada salahnya toh kita memperhatikan kehidupannya yang
sebenarnya. Mereka kadang-kadang datang menyatakan celananya
atau sepatunya sudah sangat rusak".
Perkara kebersihan, dulu, warga RT juga turun tangan. Sesekali
mengadakan kerja bakti. Manfaatnya, "beberapa kali RT kami jadi
juara lomba kebersihan". Ada atau tidak ada kerja bakti kini
nyonya Yet cukup puas dengan kebersihan di lingkungannya. Jalan
Cendana itu dulu gelap oleh pohon tanjung, kini terang, dan
bersih. "Saya berterima kasih pada pemerintah daerah dan
khu-susnya pada para petugas dinas kebersihan".
Untuk keperluan RT-nya nyonya Yet mengaku tak segan-segan datang
ke Balaikota, setidaknya dulu. Selain merasa sudah seharusnya
hal itu juga lantaran dorongan dari suaminya. Suami-isteri
Hansri Tando dan Yet kisahnya menarik juga. Keduanya sama-sama
anak ke-3 dan 9 bersaudara. Maklum adat Minang, keduanya baru
saling jumpa setelah mereka jadi suami-isteri. "Saya dinikahkan
ketika saya masih di SGKP Padang. Pak Hansri kirim wakil.
Setelah tamat SGKP tahun 1960 baru kami berumah tangga".
Minggu yang cerah itu, Muryono S, Ketua RW 07 Kelurahan Harapan
Mulia, Kecamatan Kemayoran kelihatan sibuk. Dia berjalan hilir
mudik mengurus sesuatu dengan seulas senyum yang tidak pernah
lekang. Dari rumah dia menuju ke langgar kecil Riyadhul Jannah
yang baru berusia setahun. Lalu menuju jalan Cempaka Putih yang
hanya beberapa puluh meter jaraknya dari langgar. Pada jalur
lambat ada pawai yang diiringi drum band SMP Perunggu. Lalu di
tengah-tengah arakan pawai itu ada sekelompok kanak-kanak di
bawah 15 tahun mengenakan kerudung putih. Ada suasana Arab
sedikit. Pawai itu memasuki lorong-lorong kampung yang disambut
sorak sorai penonton. "Ini sehubungan dengan khatam Qur'an
pertama", ujar Muryono sambil tersenyum.
Pak Muryono memang cukup aktif di lingkungan masyarakat.
Sebagai Ketua RW yang tak pernah makan gaji dari DKI itu
kegiatannya lebih hanyak dipusatkan kepada agama. Tahun lalu dia
membangun mesjid yang diberi nama Riyadhul Jannah. Uang dikumpul
dari masyarakat. Tentu saja dia membentuk panitia kecil yang
mengurus segala macam soal sampai terbinanya mesjid.
Tapi urusan membangun langgar itu bukannya tanpa alasan pula.
Ada tergores kesan tak enak sewaktu memangku jabatan ketua RW
07. Soalnya di RW-nya itu memang tempat operasi wanita tuna
susila yang sulit diberantas. Sehingga tak heran bila banyak
rekan-rekannya suka berseloroh: "Kalau ingin selimut hidup, cari
saja ke RW 07". Nah, eksesnya tentunya banyak. Lingkungan
sekitarnya tentu tidak enak kalau ini kampung terus-terusan
digunjingi sebagai wilayah WTS. Maka Muryono yang baru memangku
jabatan ketua RW itu mengambil langkah. Yaitu meningkatkan
pendidikan di lingkungan RW 07 yang mencakup pengajian. Dan
rupanya memang tidak sia-sia. Selain pergunjingan, WTS pun
hilang dengan sendirinya.
Merokok
Bagi Muryono, memangku jabatan Ketua RW terasa sebagai amal. Dia
menyusun program kerja. Ada program "fisik" dan "kesra". Yang
program fisik bisa berbentuk perbaikan WC umum, jalan, saluran
air, pembangunan mesjid. Sedangkan yang bersifat "kesra"
(kesejahteraan masyarakat) meliputi sarana pendidikan, dana
kematian, tenaga kerja pembangunan masyarakat desa. Yang
ruwet-ruwet didahulukan. Seperti masalah pendidikan dan mengurus
sampah. Tempat pembuangan sampah yang ada kini tidak memadai
lagi. Sehingga orang membuang sampah ke kali. "Ini menimbulkan
polusi", ujarnya meyakinkan. Muryono memang tahu banyak
kasus-kasus polusi karena selain banyak membaca juga karena
dasar pendidikannya di SAA dulu.
Dalam kasus polusi ini Muryono yang asisten apoteker memang rada
ekstrim "Merokok", ujarnya "juga menimbulkan polusi". Asapnya
merusak kesehatan. Puntungnya dipungut gembel dan dijadikan
rokok. Kertasnya memperbanyak sampah. Ia sendiri tidak merokok.
Uang yang diterima pak RW dari kantor (ia kerja di sebuah
apotik), selain untuk keperluan dapur juga untuk kebutuhan
membiayai kuliahnya di Fakultas Hukum Ext. UI di tingkat tiga.
Dia tidak menggunakan pembantu rumah tangga. Lebih baik uang
ditabung buat anak-anaknya yang 3 orang itu untuk bisa masuk
Sekolah Dasar.
Pulang dari kuliah memang sudah cukup letih. Tapi pada tengah
malam selagi enaknya tidur bisa saja ada yang ketuk pintu. Ada
apa? Di kampung, perkara maling sudah rutin. Merasakan bangun
tengah malam ini berat juga. Maka dia membentuk team kerja.
Urusan maling ia serahkan kepada kepala seksi keamanan RW 07
--yang juga menangani pemuda nakal. Selain memangku jabatan
ketua RW, Muryono juga duduk selaku anggota LKPMDK Kelurahan
Kemayoran. "Saya tak tahu kenapa harus saya yang dipilih",
tuturnya merendah. "Kerja ini untuk kepuasan jiwa saya, karena
saya tak punya apa-apa selain yang namanya amal", tuturnya.
Tidak ada kesulitannya melayani warga. Katanya, kesulitan itu
ada karena dicari-cari. Seperti misalnya hendak mempersulit
warga. Makanya dalam urusan KTP ia tak terniat ambil komisi.
Dipersilakan orang datang sendiri dengan pasfoto. Tidak seperti
RW lain yang justru mengundang tukang potret. Lalu terima komisi
dari itu tukang.
Muryono tak mengenal rekreasi selain nnton TV di rumah.
Waktunya habis untuk kerja, belajar dan menyumbangkan tenaga
untuk masyarakat dan negara. Pendidikan digiatkannya kini di RW
07 itu dinilainya sebagai bersifat "gerilya". Kenapa? "kami
kerjakan sedikit demi sedikit". Lalu katanya bangga: "Buta
huruf itu bisa diberantas secara gerilya, saudara".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo