Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

"Pak Harto Itu Warga Saya"

Muryono s, ketua RW 07 Harapan Mulya, kemayoran, mengaku memegang jabatan sebagai amal. Dengan membentuk kelompok pengajian, ia berhasil menghalau praktek WTS di daerahnya. (sd)

13 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAERAH Khusus Ibukota Jakarta ini terbagi dalam 5 wilavah walikota, 27 kecamatan 220 kelurahan. Pembagian wilayah pemerintahan itu kemudian diperinci lagi dengan Rukun Warga (RW) yang berjumlah 1.624 serta Rukun Tetangga (RT) sejumlah 20.359. Jabatan Lurah ke atas merupakan status pegawai pemerirtah sedang RW dan RT merupakan jabatan hasil pilihan masyarakat sendiri dan tidak beroleh gaji dari pemerintah. Berikut ini ditampilkan seorang Kepala RT dari daerah Menteng yang sebagian besar penghuninya terdiri dari pejabat tinggi negara. Sedangkan urtuk Kepala RW dipilih dari sebuah daerah yang penduduknya terdiri dari buruh kasar pedagang kecil serta pegawai menengah. RUMAHNYA kecuali bagus lumayan besar. Anak setengah lusin. Semua belum dewasa. Paling besar baru kelas dua SMP. Paling kecil bahkan masih kelewat manja misalnya antara lain belum bosan merengek minta digendong. Bagaimana pun bagi nyonya Yet Hansri Tando urusan rumah tangga bukan hal yang terlalu merepotkan. Sebab seperti umumnya keluarga di kawasan Menteng, Jakarta. untuk menyelesaikan urusan tersebut -- meski tak seluruhnya tentu saja -- sudah ada si bibi dan si mamang alias bujang sebagai tenaga bayaran. Walau begitu untuk jadi ketua RT nyonya kelahiran Padang 34 tahun lalu itu mulanya merasa segan bukan main. "Saya tak ada ambisi. Bukan sebab jabatan tersebut tidak keren tapi yang pokok di daerah Cendana ini masih hanyak ibu-ibu yang jauh lebih berumur", katanya di rumahnya Jalan Cendana 31 tak jauh dari rumah Presiden RI. Rumah itu sekaligus merupakan kantor RT-002 RW-01 Kelurahan Gondangdia Kecamatan Menteng Jakarta Pusat. Nyonya-nyonya Menteng memang selalu tampil mewakili rumah tangga masing-masing, maklum sang suami umumnya terbilang orang yang banyak sibuk. Enam tahun sesudah pengangkatannya di tahun 1966, nyonya Yet minta dibebaskan dari tugasnya. Ternyata tak kurang dari nyonya Tien Suharto yang sudah tentu merupakan warga terpandang di sana, berkata: "Kamu toh masih muda, mengapa mesti mengundurkan diri?" 10 Tahun Dihitung-hitung sudah 10 tahun nyonya Yet jadi ketua RT. Satu kali ia pernah risau tatkala ada suara-suara entah dari mana -- yang menyebut tugasnya enak "Enaknya memang ada. Tidak enaknya juga ada. Keduanya serba sedikit", ujarnya. "Terus terang enak- nya ya misalnya bisa silaturachmi dengan keluarga Presiden, sebab Pak Harto itu warga saya. Bagaimana pun hubungan ini hanya karena saya ketua RT". Menurut nyonya Yet, tiap hari raya Iedul Fitri RT-nya menyelenggarakan halal bihalal. Dua kali pernah dilakukan di rumahnya sendiri sebagai ketua RT. Pada kesempatan itu Pak Harto dan nyonya Tien datang. Berbincang sesama warga RT tanpa terikat secara kaku oleh aturan protokoler sebagaimana biasa diterima Presiden dalam tugasnya sehari-hari. "Tugas RT bukan sekedar menyelenggarakan pertemuan halal bi halal" kata nyonya Yet. RT memang lembaga masyarakat. Artinya ketua dan pengurus lainnya diangkat dan diberhentikan oleh masyarakat sendiri. Tugasnya sebenarnya merupakan unsur pemerintahan, sebagai eselon paling bawah. Di satu pihak ia misalnya bertugas menyampaikan pengumuman dari pemerintah, di lain pihak ia merupakan penampung pertama persoalan masyarakat. Kemalingan, perkelahian atau apa saja pada taraf pertama harus disampaikan dan memang harus ditangani RT sebelum diserahkan kepada instansi yang berwenang. Belum lagi soal pembuatan surat keterangan, yang biasa diperlukan setiap warga, misalnya untuk bepergian jauh atau tanda tidak terlibat G-30-S. Nyonya Yet merasa beruntung selama nyaris sepertiga umurnya jadi ketua RT katanya tak ada mengalami hal yang gawat. Kemalingan bukan tak pernah terjadi, bahkan ia sendiri pernah jadi korbannya. "Maling kecil", katanya. Maksudnya sasarannya boleh dibilang tak seberapa. Ia pernah kemalingan pot antik di depan rumah dan sejumlah jemuran. Dan itu tak usah dirisaukan benar karena pintu halaman rumahnya memang tak pernah dikunci. "Tiap orang bisa saja masuk, misalnya pura-pura mau menanyakan alamat seseorang karena di depan toh ada keterangan bahwa ini rumah RT". Dalam mengurus warganya nyonya Yet tak bisa menetapkan jadwal kerja sendiri. Kalau ada tamu, anak-anaknya tahu mana tetangga atau warga RT mana orang jauh. Kepada tamu jauh anak-anak itu biasa menyambutnya dengan rupa-rupa pertanyaan lebih dulu. Kalau kebetulan maminya tidak lagi nganggur, apa boleh buat tamu itu dipersilakan untuk lebih baik datang pada kesempatan lain. Sebaliknya kalau tamu itu golongan tetangga, jauh sebelum yang bersangkutan mengetuk pintu atau memijit bel, anak-anak sudah memberitahu nyonya Yet tanpa lebih dulu tanya ini itu pada si tamu. Dan, perduli tengah makan, istirahat atau apa saja, sang ibu alias ketua RT segera keluar. "Tugas RT itu sebenarnya mulia", tutur nyonya berpendidikan terakhir SGKP Gadih Rantih Padang, 1960. Keamanan Satu keuntungan baginya, perkara keamanan tak menjadi urusannya. Hal itu diambil alih bagian keamanan rumah tangga Presiden. Itulah sebabnya ia tidak repot menyusun barisan hansip seperti RT lain. Sebelum tahun 70-an warga RT Cendana sering menyelenggarakan bazar, arisan maupun piknik ke berbagai tempat misalnya Pelabuhan Ratu. Kini kegiatan itu nyaris sepi, sebab sebagian warganya ada yang hijrah ke tempat lain sementara penghuni baru sebagian tampaknya masih terlalu repot dengan urusan masing-masing. Bukan itu saja. RT Cendana kini kehilangan warganya yang tergolong remaja. "Mereka kini sudah ada yang jadi dokter, es-ha dan macam-macam lagi. Sebagian sudah ada yang pindah, bahkan ada yang di luar negeri. Mereka-merekalah sebenarnya yang dulu sering mengadakan kegiatan. Generasi baru belum muncul, umumnya masih kecil, rata-rata baru SMP". Sebagai ketua RT nyonya Yet tak mengadakan pungutan apa pun kepada warganya, kecuali satu: iuran kebersihan. Yang satu ini besarnya tergantung keikhlasan masing-masing. Umumnya Rp 500 sebulan. Tapi sejak 5 tahun terakhir ini katanya tak lagi dilakukan. Soalnya karena nyonya Yet menyadari kegiatannya tidak seperti dulu lagi. Tapi ada juga soal sampingan. "Tukang sapu jalan itu memang sudah digaji oleh Balaikota atau pemerintah, tapi tak ada salahnya toh kita memperhatikan kehidupannya yang sebenarnya. Mereka kadang-kadang datang menyatakan celananya atau sepatunya sudah sangat rusak". Perkara kebersihan, dulu, warga RT juga turun tangan. Sesekali mengadakan kerja bakti. Manfaatnya, "beberapa kali RT kami jadi juara lomba kebersihan". Ada atau tidak ada kerja bakti kini nyonya Yet cukup puas dengan kebersihan di lingkungannya. Jalan Cendana itu dulu gelap oleh pohon tanjung, kini terang, dan bersih. "Saya berterima kasih pada pemerintah daerah dan khu-susnya pada para petugas dinas kebersihan". Untuk keperluan RT-nya nyonya Yet mengaku tak segan-segan datang ke Balaikota, setidaknya dulu. Selain merasa sudah seharusnya hal itu juga lantaran dorongan dari suaminya. Suami-isteri Hansri Tando dan Yet kisahnya menarik juga. Keduanya sama-sama anak ke-3 dan 9 bersaudara. Maklum adat Minang, keduanya baru saling jumpa setelah mereka jadi suami-isteri. "Saya dinikahkan ketika saya masih di SGKP Padang. Pak Hansri kirim wakil. Setelah tamat SGKP tahun 1960 baru kami berumah tangga". Minggu yang cerah itu, Muryono S, Ketua RW 07 Kelurahan Harapan Mulia, Kecamatan Kemayoran kelihatan sibuk. Dia berjalan hilir mudik mengurus sesuatu dengan seulas senyum yang tidak pernah lekang. Dari rumah dia menuju ke langgar kecil Riyadhul Jannah yang baru berusia setahun. Lalu menuju jalan Cempaka Putih yang hanya beberapa puluh meter jaraknya dari langgar. Pada jalur lambat ada pawai yang diiringi drum band SMP Perunggu. Lalu di tengah-tengah arakan pawai itu ada sekelompok kanak-kanak di bawah 15 tahun mengenakan kerudung putih. Ada suasana Arab sedikit. Pawai itu memasuki lorong-lorong kampung yang disambut sorak sorai penonton. "Ini sehubungan dengan khatam Qur'an pertama", ujar Muryono sambil tersenyum. Pak Muryono memang cukup aktif di lingkungan masyarakat. Sebagai Ketua RW yang tak pernah makan gaji dari DKI itu kegiatannya lebih hanyak dipusatkan kepada agama. Tahun lalu dia membangun mesjid yang diberi nama Riyadhul Jannah. Uang dikumpul dari masyarakat. Tentu saja dia membentuk panitia kecil yang mengurus segala macam soal sampai terbinanya mesjid. Tapi urusan membangun langgar itu bukannya tanpa alasan pula. Ada tergores kesan tak enak sewaktu memangku jabatan ketua RW 07. Soalnya di RW-nya itu memang tempat operasi wanita tuna susila yang sulit diberantas. Sehingga tak heran bila banyak rekan-rekannya suka berseloroh: "Kalau ingin selimut hidup, cari saja ke RW 07". Nah, eksesnya tentunya banyak. Lingkungan sekitarnya tentu tidak enak kalau ini kampung terus-terusan digunjingi sebagai wilayah WTS. Maka Muryono yang baru memangku jabatan ketua RW itu mengambil langkah. Yaitu meningkatkan pendidikan di lingkungan RW 07 yang mencakup pengajian. Dan rupanya memang tidak sia-sia. Selain pergunjingan, WTS pun hilang dengan sendirinya. Merokok Bagi Muryono, memangku jabatan Ketua RW terasa sebagai amal. Dia menyusun program kerja. Ada program "fisik" dan "kesra". Yang program fisik bisa berbentuk perbaikan WC umum, jalan, saluran air, pembangunan mesjid. Sedangkan yang bersifat "kesra" (kesejahteraan masyarakat) meliputi sarana pendidikan, dana kematian, tenaga kerja pembangunan masyarakat desa. Yang ruwet-ruwet didahulukan. Seperti masalah pendidikan dan mengurus sampah. Tempat pembuangan sampah yang ada kini tidak memadai lagi. Sehingga orang membuang sampah ke kali. "Ini menimbulkan polusi", ujarnya meyakinkan. Muryono memang tahu banyak kasus-kasus polusi karena selain banyak membaca juga karena dasar pendidikannya di SAA dulu. Dalam kasus polusi ini Muryono yang asisten apoteker memang rada ekstrim "Merokok", ujarnya "juga menimbulkan polusi". Asapnya merusak kesehatan. Puntungnya dipungut gembel dan dijadikan rokok. Kertasnya memperbanyak sampah. Ia sendiri tidak merokok. Uang yang diterima pak RW dari kantor (ia kerja di sebuah apotik), selain untuk keperluan dapur juga untuk kebutuhan membiayai kuliahnya di Fakultas Hukum Ext. UI di tingkat tiga. Dia tidak menggunakan pembantu rumah tangga. Lebih baik uang ditabung buat anak-anaknya yang 3 orang itu untuk bisa masuk Sekolah Dasar. Pulang dari kuliah memang sudah cukup letih. Tapi pada tengah malam selagi enaknya tidur bisa saja ada yang ketuk pintu. Ada apa? Di kampung, perkara maling sudah rutin. Merasakan bangun tengah malam ini berat juga. Maka dia membentuk team kerja. Urusan maling ia serahkan kepada kepala seksi keamanan RW 07 --yang juga menangani pemuda nakal. Selain memangku jabatan ketua RW, Muryono juga duduk selaku anggota LKPMDK Kelurahan Kemayoran. "Saya tak tahu kenapa harus saya yang dipilih", tuturnya merendah. "Kerja ini untuk kepuasan jiwa saya, karena saya tak punya apa-apa selain yang namanya amal", tuturnya. Tidak ada kesulitannya melayani warga. Katanya, kesulitan itu ada karena dicari-cari. Seperti misalnya hendak mempersulit warga. Makanya dalam urusan KTP ia tak terniat ambil komisi. Dipersilakan orang datang sendiri dengan pasfoto. Tidak seperti RW lain yang justru mengundang tukang potret. Lalu terima komisi dari itu tukang. Muryono tak mengenal rekreasi selain nnton TV di rumah. Waktunya habis untuk kerja, belajar dan menyumbangkan tenaga untuk masyarakat dan negara. Pendidikan digiatkannya kini di RW 07 itu dinilainya sebagai bersifat "gerilya". Kenapa? "kami kerjakan sedikit demi sedikit". Lalu katanya bangga: "Buta huruf itu bisa diberantas secara gerilya, saudara".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus