Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rokok elektronik diklaim bisa membunuh kecanduan merokok. Tawaran menggiurkan ini kerap kali menjadi alasan bagi anak muda untuk merokok elektronik sebagai dalih tidak mengkonsumsi rokok konvensional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenyataannya, Kepala Pusat Laboratorium Narkotika Badan Narkotika Nasional (BNN) Brigadir Jenderal Mufti Djusnir mengatakan, pengguna rokok elektronik berpotensi menyalahgunakan narkoba. “Di dalam liquid vape yang diserahkan ke kami, terkandung 5-Fluoro ADB, 5-Fluoro-MDBD-PICA, Cannabidiol, FUB AMB, dan tetrahydrocannabinol,” kata Mufti di Focus Group Discussion Sinergisme Pengawasan Produk Tembakau Tinjauan dan Kebijakan Rokok Elektronik di Indonesia, Selasa, 25 Juni 2019. Diskusi ini diadakan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
5-Fluro ADB dan FUB-AMB merupakan jenis new psychoactive substances (NPS) golongan synthetic cannabinoid dan sudah diatur sebagai golongan I Narkotika dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 50 tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Adapun 5-Fluoro-MDBD-FICA meski termasuk jenis NPS golongan synthetic cannabinoid, belum diatur dalam peraturan tersebut.
Bagaimana dengan Cannabidiol? Cannabidiol adalah nama lain dari ganja. “Intinya cannabinoid sintetik atau ganja sintetis seperti tembakau gorila, dan ganesha,” kata Mufti.
Menurut Mufti, dari sampel pada liquid yang dilaporkan ke BNN itu, ada 237 barang bukti yang positif mengandung ganja sintetis itu. “Perbandingannya 1 banding 10, maksudnya dari satu orang yang ditangkap, sembilan orang lolos,” katanya.
Yang lebih mengerikan lagi, kata Mufti, penggunaan rokok elektronik sangat memungkinkan sebagai kamuflase peredaran sabu. Jika dulu mengkonsumsi sabu menggunakan bong, kata Mufti, “Tidak menutup kemungkinan mengubah sabu yang kristal itu dicampur ke dalam liquid rokok elektronik.”
ea cukai hanya ingin mengawasi. Berbeda dengan rokok, industry ini hanya disukai anak muda, usianya beberapa bulan saja. Sangat cepat perputaran mereknya, sekarang modelnya besar-besar, nanti bisa berubah. Kalau gak didaftar kami gak tahu bentuknya. Mereka tidak tahu ada kandungan narkotika tapi mereka opelaku pasar yang bisa dilacak.
Penindakan narkotika semua setuju tapi kalau rokok, banyak sekali tantangannya, “Ini lapang kerja kami.” HPTL yang kami tindak 10 ribu liter jika dibuat kecil-kecil berapa. Setelah ini mau dibawa ke mana.
Kepala Subdirektorat Penyakit Paru Kronik dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan Theresia Sandra Diah Ratih menuturkan, prevalensi merokok rokok elektronik usia 18 tahun ke bawah sebanyak 1,3 persen, usia 10 tahun ke atas 1 persen, dan 15 tahun ke atas 1 persen. Kondisi yang mencengangkan ini, kata Sandra, seharusnya segera ada aksi dari pemerintah.
“Kami sudah merekomendasikan untuk melarang semua peredarannya, impor dan ekspor,” ujarnya. Menurut Sandra, saat itu, Menteri Perdagangan Waktu itu Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito menjawab dengan memberlakukan pembatasan pada impor. “Kami bilang, impor dilarang yang di dalam tidak, pasti akan jadi masalah. Buat kami, sesuatu yang mengakibatkan kesakitan tanpa manfaat kesehatan ya ngapain diizinkan untuk beredar.”