Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Apresiasi Anestesi

Anestesiologi berperan besar dalam pengembangan ilmu bedah. selain farmakologi & fisiologi, ahli anestesi harus memahami seluk beluk ilmu saraf. di indonesia dokter spesialis anestesiologi masih sedikit.

9 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA mengawali tugasnya di Pontianak, seorang anestesiolog harus menghadapi tantangan berat. Bukan kurangnya peralatan, tapi karena kehadirannya ditolak ahli bedah senior. Pem- biusan untuk operasi, menurut para dokter senior itu, cukup dilakukan oleh perawat. Anestesiolog di Pontianak itu adalah ahli anestesi pertama di Kalimantan. Maka pantaslah bila sebagian dokter di sana merasa kepalang tidak memerlukan ahli pembiusan. Setelah sekian lama anestesiologi hampir dilupakan di Kalimantan, baru dua tahun silam operasi di sana memanfaatkan perkem- bangan ilmu anestesi. Dan sesudah "tarik ulur" setahun, kemudian ahli bedah dan ahli kebidanan di Pontianak menyadari pentingnya aneste- siologi. Angka kematian di meja operasi bahkan turun drastis, sementara angka operasi besar naik. Peluang melakukan operasi sulit juga terbuka, antara lain bedah saraf. Kurangnya apresiasi pada anestesiologi itu bukan cuma terjadi di Kalimantan. Secara umum, ahli anestesi itu masih dilecehkan. Dalam operasi besar yang mengundang berita, hanya nama ahli bedahnya yang disebut-sebut. Sementara itu, bila terjadi kematian di meja operasi, kecurigaan tertumpah pada ahli anestesi. "Barangkali karena anestesi melangkah dengan kaki yang salah," kata Prof. Dr. Muhardi Muhimin. Ucapan ini dilontarkan Sabtu dua pekan lalu dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta. "Anestesi ditemukan oleh dokter gigi. Pada waktu itu di mata dokter bedah kedudukan dokter gigi dianggap lebih rendah," tambah Muhardi. Kalau yang menemukan dokter bedah agaknya penghargaan terhadap anestesi akan lain. Masih dalam pidatonya, Muhardi menguraikan, anestesi ditemukan pada 1846 oleh seorang dokter gigi, William Thomas Greene Morton, dan baru sekitar tahun 1900 dikukuhkan menjadi anestesiologi. Di Indonesia ilmu itu dipraktekkan baru pada 1954. Perintisnya, almarhum dr. M. Kelan, seorang asisten bedah yang diminta belajar ke Amerika Serikat untuk menjadi spesialis anestesiologi. Pada masa itu muncul kesadaran kemajuan ilmu bedah bergantung pula pada kemajuan anestesiologi. Meski demikian, jumlah dokter spesialis anestesiologi di tanah air hingga kini masih sedikit. Jumlah lulusan anestesiologi FK UI, yang dibuka pada 1968, misalnya, baru 110 orang. Sedangkan jumlah semua anestesiolog di Indonesia pada saat ini hanya 185 orang. Menurut Muhari, ilmu anestesi berbeda dengan cabang ilmu kedokteran lain. Dasar anestesi adalah farmakologi dan fisiologi. Kedua ilmu dasar ini sangat penting dalam menentukan pemberian pembiusan. Karena itu, ahli anestesi harus menguasai kedua "ilmu murni" yang mendasari semua ca- bang ilmu kedokteran itu. Maka, ahli anestesi pada dasarnya harus menjadi generalis di bidang ilmu kedokteran. Selain menjadi generalis anestesiolog di sisi lain harus memahami seluk-beluk ilmu saraf yang hingga kini masih misterius. Sampai sekarang, misalnya, belum diketahui dengan pasti bagaimana persisnya kondisi neurologis yang membuat seorang pasien menjadi tidak sadar. Karena melibatkan berbagai pertimbangan itu, anestesiologi hampir tidak mengenal petunjuk praktek yang pasti. Dalam menjalankan tugasnya ahli anestesi bekerja seperti seorang jenderal di medan perang, di antaranya, turut mempertim- bangkan berbagai aspek dan menentukan strategi. Termasuk bertindak cepat ketika pasien menghadapi krisis. Karena itu, di negara maju, ketua tim operasi biasanya seorang anestesiolog. Dalam anestesiologi ada anjuran umum: mempertahankan tekanan darah pada tingkat normal ketika melakukan pembiusan. Ternyata, anjuran ini tidak selalu dapat diterapkan. Dalam praktek, kondisi tekanan darah yang rendah malah bisa mengun- tungkan pasien. Untuk melihat peluang ini,menurut Muhardi, seorang anestesiolog harus mempunyai pengetahuan farmakologi dan patofisiologi. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, misalnya, kenaikan tekanan darah (apalagi kenaikan denyut jantung) akan langsung menambah konsumsi oksigen otot jantung. Padahal, kenaikan kebutuhan oksigen ini tak baik untuk jantung. Karena itu, dalam operasi jantung, ahli anestesi harus mencari dosis anestesi yang didasarkan pada kondisi penyakit jantung koroner itu. Artinya, semua teknik harus memperhatikan sirkulasi pembuluh darah koroner jantung. Termasuk di antaranya menjaga dampak tekanan darah. Dengan pertimbangan yang kompleks itu, obat-obatan yang digunakan dalam anestesi bukan cuma "obat bius", juga perlu berbagai obat lain. Obat-obat tambahan ini, yang jumlahnya sangat banyak dipakai untuk mengurangi risiko operasi, misalnya efek tekanan darah pada penderita jantung tadi. "Untuk memilih obat yang tidak menimbulkan masalah diperlukan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman, yang totalnya cukup rumit" kata Muhardi. Dan yang paling penting adalah ditemukannya anestesi berimbang hingga obat bius, atau anestetikum, tidak lagi harus langsung dimasukkan ke aliran darah. Dalam anestesi berimbang, anestetikum dititipkan melalui pernapasan. Maka, proses tidak sadar terjadi lebih wajar dan mudah dikontrol melalui berbagai indikator, misalnya denyut jantung, tekanan darah, dan ritme pernapasan. Keuntungan anestesi berimbang ini, lamanya keadaan tidak sadar tidak terbatas. Kemungkinan inilah yang membuka peluang dikembangkannya operasi besar dan rumit yang memerlukan waktu lama. Misalnya bedah saraf. Karena itu, rasanya tak berlebihan kalau Muhardi mengingatkan bahwa kemajuan anestesiologi ikut menentukan keberhasilan dan pengembangan ilmu bedah. Hingga kini ilmu anestesi masih berkembang terus. "Di masa depan, anestesi bisa dilakukan dengan memberi gula-gula yang dihisap, atau semacam plester yang mengandung obat," kata Muhardi. Obat-obat baru yang ditemukan sekarang ini jauh lebih potensial sehingga masa kerjanya lebih cepat. Sedangkan efek sampingnya lebih sedikit Jim Supangkat, Sugrahetty Dyan K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus