Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Curah hujan yang tinggi menyebabkan banjir besar melanda Jabodetabek dan banyak daerah lain pada awal Maret 2025, yang juga bertepatan dengan awal Ramadan 1426 H. Puluhan ribu orang menjadi korban dan harus mengungsi serta kehilangan harta benda, bahkan anggota keluarga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Setelah banjir surut, para korban pun kembali ke rumah masing-masing yang sudah dalam kondisi rusak dan kotor. Bencana alam ini tentu saja meninggalkan trauma pada banyak korban, sebagian mungkin mengalami fobia melihat genangan air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Sekarang mau pergi ke mana-mana jadi takut, khawatir pas rumah ditinggal banjir lagi, masih trauma rasanya," ujar Ati, seorang korban banjir di Bekasi kepada Tempo setelah bisa kembali ke rumahnya.
Ia mengisahkan sempat mengungsi ke tempat kerabatnya yang tak jauh dari rumahnya namun berlantai dua. Rumahnya yang hanya satu lantai tergenang hingga sebetis orang dewasa dan membuat banyak perabotan rusak.
Bukan hanya banjir yang bisa menyisakan trauma pada para korban. Musibah lain seperti kebakaran, tanah longsor, gempa bumi, dan angin kencang juga bisa memicu trauma yang sama.
Macam Trauma dan Pemicunya
Kita mungkin sering berpikir trauma adalah dampak kejadian di masa lalu. Faktanya, trauma jauh lebih kompleks dan subjektif, tergantung yang mengalaminya. Trauma juga tidak pandang usia dan jenis kelamin. Jika tidak diatasi dengan baik dan tepat, apalagi terus diabaikan, orang dapat mengalami berbagai gangguan kesehatan mental mulai ringan hingga kronis.
Psikiater lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jiemi Ardian, menjelaskan beberapa jenis trauma, gejala, juga cara mengatasinya. “Trauma adalah reaksi tubuh yang terjadi saat ini akibat peristiwa yang terjadi di masa lalu. Jadi, bukan tentang kejadiannya saja, ini tentang reaksi tubuh yang ada saat ini," katanya, dikutip dari Antara pada Januari 2023.
Reaksi tubuh yang dimaksud adalah ingin terus melindungi diri atau merasa terancam, misalnya takut, cemas, tegang, atau bersiap siaga terhadap pemicu stres sehingga kita menyebutnya mudah terpicu atau sensitif. Dokter di Rumah Sakit Siloam Bogor itu menjelaskan orang yang memiliki trauma kerap mengalami kilas balik secara mendadak. Memori buruk bukan sengaja diingat-ingat tapi timbul di otak begitu saja. Berikut macam trauma.
Gangguan stres pascatrauma (PTSD)
Gangguan stres pascatrauma merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderita teringat pada kejadian traumatis. Beberapa peristiwa traumatis yang dapat memicu PTSD adalah perang, kecelakaan, bencana alam, dan pelecehan seksual.
Gangguan stres pascatrauma kompleks (CPTSD)
CPTSD adalah kondisi di mana pengidap mengalami beberapa gejala PTSD disertai beberapa gejala tambahan, salah satunya kesulitan mengendalikan emosi.
Gejala stres pascatrauma (PTSS)
Penderita PTSS sering mengalami kilas balik emosional diiringi perasaan intens seperti ketakutan, malu, sedih, atau putus asa.
Trauma mental di masa perkembangan
Developed mental trauma atau trauma pada masa perkembangan adalah hasil dari pengalaman masa kanak-kanak yang berefek hingga dewasa, seperti merasa tidak diinginkan, diabaikan, dianiaya, dilecehkan, yang telah berulang kali terjadi.
Cara Redakan Trauma setelah Bencana Alam
Memulihkan diri dari gangguan emosional setelah mengalami bencana alam butuh waktu dan upaya sendiri. Cobalah praktekkan hal-hal yang bisa menenangkan pikiran dengan tujuan menavigasi gelombang stres dan kecemasan serta memberi Anda stabilitas.
Lebih dari itu, jangan bersikap terlalu keras pada diri sendiri. Pemulihan mungkin perlu melalui langkah demi langkah kecil, tapi setiap langkah yang bisa dilalui adalah kemenangan. Berikut langkah-langkah yang bisa diambil, dilansir dari calm.com edisi 17 Januari 2025.
Batasi paparan berita
Anda mungkin ingin mengetahui kabar terbaru pascabencana. Namun terus terpapar berita buruk justru akan memperparah kondisi. Foto-foto kerusakan atau pembahasan mengenai risiko di masa datang justru bisa membuat pikiran macet dalam situasi kewaspadaan tinggi.
Ciptakan rutinitas perawatan diri
Perawatan atau memanjakan diri sangat penting dalam proses pemulihan emosional. Meski mungkin sulit untuk melakukannya, cobalah. Mulai dengan ritual sederhana seperti minum kopi di pagi hari, mandi air hangat, dan olahraga ringan. Lengkapi dengan makan yang bergizi, tetap terhidrasi, dan cukup istirahat.
Cari dukungan
Anda tak perlu menghadapi hidup setelah bencana sendirian. Cari dukungan dari kerabat, keluarga, teman tetangga, atau kelompok pendukung, yang bisa memberi rasa nyaman dan membuat Anda tidak merasa sendirian.
Pulihkan diri di alam terbuka
Jika kondisi aman, cobalah habiskan waktu di alam terbuka. Berada di luar ruang bisa memberi rasa tenang dan damai, bisa dengan berjalan-jalan di taman, kebun, atau ruang terbuka lainnya.
Kapan Perlu Bantuan Profesional?
Bila trauma tak juga hilang meski sudah melakukan langkah-langkah di atas, jangan malu untuk meminta bantuan profesional seperti psikolog, psikiater, atau terapis mental. Merasakan stres, kesedihan, dan kecemasan setelah bencana alam itu wajar. Namun berikut tanda-tanda Anda butuh bantuan profesional menurut calm.com.
-Terus mengalami tekanan emosional atau bertambah parah.
-Sering teringat kejadian yang sudah berlalu.
-Sulit melakukan tugas-tugas dan aktivitas harian.
-Bersikap menghindar, misalnya menghindari tempat, orang, atau aktivitas yang akan mengingatkan pada bencana.
-Muncul gejala fisik seperti kelalahan kronis, sakit kepala, sakit perut, atau gejala lain akibat tekanan emosional.
-Muncul pikiran untuk membahayakan diri sendiri atau orang lain.