Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat divonis mengidap sindrom ovarium polikistik (SOPK) dua tahun lalu, Dhani Maulia, 31 tahun, tidak berhenti melakukan segala upaya agar segera mendapat momongan. Semuanya ia lakukan, dari menurunkan berat badan, mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat, sampai menjalani suntik hamil atau inseminasi.
"Belum berhasil juga, akhirnya sekarang saya dan suami memutuskan ikut program bayi tabung saja," tutur Dhani ketika dihubungi Tempo pekan lalu. Dhani dan suami pun menyambangi sebuah klinik khusus di Jakarta Pusat yang menyediakan jasa reproduksi melalui program bayi tabung.
Tapi ternyata Dhani tidak bisa sembarangan ikut program bayi tabung. Penderita SOPK seperti Dhani, yang mengalami gangguan hormonal sehingga muncul kista-kista kecil di tepi ovariumnya, ternyata juga berisiko tinggi jika mengikuti terapi bayi tabung konvensional yang biasa disebut in vitro fertilization (IVF). Ia bisa terkena sindrom hiperstimulasi ovarium.
Dalam IVF, untuk merangsang produksi telur di ovarium, diberikan suntikan-suntikan hormon jenis gonadotropin. Akibatnya, ovarium atau indung telur bisa membengkak-dan itu membahayakan orang berpenyakit seperti Dhani. "Efek paling parahnya bisa menyebabkan kematian, jadi kalau pasien SOPK memakai metode konvensional sama seperti menyiram bensin di atas api," ujar Budi Wiweko, spesialis kebidanan dan kandungan dari Klinik Yasmin Kencana, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Namun itu bukan berarti opsi untuk memiliki momongan bagi Dhani sudah tertutup. "Dokter bilang kami tetap bisa ikut program bayi tabung dengan metode IVM," katanya.
Apa itu? Metode IVM atau in vitro maturation adalah metode pematangan sel telur di dalam cawan petri. Sel telur yang belum matang (immature) diambil dari folikel-folikel-kantong berisi cairan di dalam indung telur-yang berdiameter 10 milimeter. Selama 24-48 jam, sel telur yang telah dipanen itu dimatangkan di dalam medium pembiakan khusus di laboratorium.
Pada 1994, Alan Trounson dari Monash University melaporkan berhasil melahirkan bayi tabung dengan teknik IVM pada pasien SOPK. "Teknik IVM masuk ke Indonesia empat atau lima tahun lalu," ujar Prima Progestian, spesialis kebidanan dan kandungan yang berpraktek di Brawijaya Women and Children Hospital, Jakarta Selatan.
Prima menjelaskan, metode ini memang cocok untuk pasien dengan kriteria tertentu, seperti penderita SOPK. Alasannya, dalam metode ini tidak diperlukan suntikan hormon seperti dalam IVF. Itu karena dalam teknik IVM, sel telur dimatangkan di luar rahim. "Ini perbedaan paling signifikan antara IVM dan IVF. Kalau IVF, telurnya perlu dimatangkan dulu di dalam, jadi perlu suntikan-suntikan hormon," kata Prima.
Selain untuk penderita SOPK, teknik bayi tabung IVM sesuai bagi perempuan yang memiliki riwayat hiperstimulasi terhadap obat-obat kesuburan dan perempuan yang berencana menjalankan kemoterapi. Tapi, di Indonesia, ada lagi satu alasan yang tidak bisa dilupakan kenapa pasangan suami-istri lebih memilih teknik IVM ketimbang IVF. "Tidak lain karena alasan ekonomi. Biaya untuk terapi IVM bisa lebih murah hingga 30 persen ketimbang IVF," ujarnya.
Bila menggunakan teknik IVF, pasangan suami-istri harus menyiapkan dana hingga Rp 65 juta, sementara IVM hanya membutuhkan dana maksimal Rp 40 juta. Ini menjadi alternatif bagi pasangan yang ingin memiliki anak dengan metode bayi tabung tapi belum punya dana yang cukup. Alasan ekonomi itu memang tidak dimungkiri oleh Dhani, apalagi ini pertama kali ia dan suaminya mencoba teknik bayi tabung untuk mendapat momongan. "Kami putuskan coba IVM dulu. Minggu depan kalau lancar sudah bisa mulai program."
Teknik IVM, kata Budi Wiweko, pertama kali dipraktekkan di Indonesia dan berhasil pada 2009. Meski begitu, hingga sekarang, belum banyak rumah sakit dan klinik yang menjalankan teknik IVM secara murni. Di tingkat global, negara maju pun belum banyak yang menjadikan teknik ini sebagai salah satu teknik baku atau alternatif utama untuk bayi tabung. Saat ini, baru Vietnam dan Korea Selatan yang tercatat sebagai negara dengan praktek IVM terbanyak.
Tergolong teknologi baru, teknik IVM belum lepas dari beberapa kelemahan. Di antaranya rasio sukses yang masih rendah. "Rasionya hanya separuh dibanding menggunakan teknik IVF," ujar dr Arie Polim, spesialis kebidanan dan kandungan dari Klinik Morula, Rumah Sakit Bunda, Jakarta.
Arie menjelaskan, dengan teknik IVF, rasio sukses untuk hamil bisa mencapai 40-50 persen, sementara dengan IVM hanya 19,6 persen. Begitu pula tingkat sukses dalam melahirkan, berdasarkan data, IVF tetap lebih unggul ketimbang IVM, dengan perbandingan 44,3 dan 16,5 persen.
Rendahnya rasio sukses itu tak lain karena karakter folikel-folikel sel telur yang belum bisa dipastikan. "Tidak semua telur itu respons dan kualitasnya bagus. Kalau IVF itu jelas telurnya sudah merespons dan kita seleksi untuk dibuahi. Sudah hampir pasti kita mendapat sel telur yang besar dan matang," katanya.
Walaupun teknik IVM cocok bagi perempuan penderita SOPK, menurut Arie, mengubah gaya hidup tetap hal pertama. Umumnya penderita SOPK memiliki penyakit ini karena badan terlalu gemuk. Biasanya dokter akan menyarankan mereka menurunkan berat badan dan menjalani beberapa terapi alamiah. "Biar sudah ikut bayi tabung, kalau masih terlalu gemuk, reaksinya akan lambat. Obat apa pun akan kurang efektif," ujar Arie.
Gustidha Budiartie
Program Bayi Tabung Dengan Metode IVM
Metode IVM atau in vitro maturation adalah metode pematangan sel telur di dalam cawan petri. Metode ini cocok untuk pasien penderita sindrom ovarium polikistik. Alasannya, dalam metode ini tidak diperlukan suntikan hormon seperti dalam terapi bayi tabung in vitro fertilization (IVF).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo