Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGUNG terkulai di tempat tidur. Pria 28 tahun itu tampak kurus. Sudah dua bulan ia menghuni Rumah Sakit Kusta Sitanala, Tangerang. Setahun belakangan, ayah satu anak itu sering merasa lemas dan tak bertenaga. Mulanya, warga Karawang, Jawa Barat, ini mengira dirinya sekadar capek. Dia pun pergi ke tukang urut. Namun kondisinya tak membaik.
Bobotnya malah susut. Tangannya hampir tak lagi bisa digerakkan. Baru kemudian terungkap bahwa ia mengidap kusta. Agung masih termasuk ”beruntung”. Penyakitnya cepat terdeteksi dan belum berdampak pada penampilan fisiknya.
Lain halnya Jaleha, 25 tahun. Wanita asal Pemalang, Jawa Tengah, ini sebenarnya sudah didera kusta sejak kelas II sekolah dasar. Namun itu baru disadarinya pada umur 15 tahun, ketika tangan bengkok dan kaki luka-luka. Kedua kakinya tak tertolong sehingga terpaksa diamputasi di Sitanala.
Agung dan Jaleha hanya sekelumit kisah tentang kusta yang masih menyergap negeri ini. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2008 menyebut Indonesia berada pada peringkat ketiga di dunia—setelah India dan Brasil—dalam hal jumlah penderita kusta. Posisi negara ini bahkan lebih buruk dibanding Nigeria, Ethiopia, dan Mozambik, tiga negara miskin di Afrika. Data terbaru ini dimunculkan dalam peringatan World Leprosy Day atau Hari Lepra Dunia, 25 Januari lalu.
Untuk meningkatkan kesadaran publik akan kusta, diadakanlah acara sosialisasi di tempat ”gaul” orang kota. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peringatan tahun ini digelar di dua mal mewah: Pondok Indah Mall II dan Senayan City, Jakarta. ”Kami ingin menarik perhatian lebih banyak orang, bukan hanya kalangan medis dan penderitanya,” kata A.B. Susanto, Duta Besar The Leprosy Mission International untuk Indonesia.
Pesan yang hendak disampaikan lewat keramaian ini, yang sekilas tak ada hubungannya, adalah: lepra kini sudah ada obatnya dan gratis di pusat kesehatan masyarakat. Penderita bisa sembuh total dan tak menulari siapa pun bila sudah diobati.
Dokter J.P. Handoko Soewono, penjabat sementara Wakil Direktur Pelayanan Rumah Sakit Kusta Sitanala, menjelaskan bahwa kusta atau lepra (leprosis) adalah penyakit yang disebabkan bakteri Mycrobacterium leprae. Penyakit ini menyerang kulit dan saraf tepi. Tanda-tandanya ada tiga. Pertama, muncul bercak-bercak putih di permukaan kulit mirip panu. Tapi, berbeda dengan panu, putih-putih di kulit ini jika disentuh, bahkan digores atau ditusuk sampai berdarah, tak terasa apa pun alias kebas (mati rasa).
Bila lama didiamkan, bakterinya perlahan-lahan menyerang saraf hingga menimbulkan kerusakan fisik. Terutama menyerang lengan bawah, tungkai bawah, dan wajah. Jika menyerang tangan, akan menyebabkan mati rasa, kelumpuhan otot, atau jari kiting (claw hand), yaitu kondisi jari-jari yang menekuk ke dalam dan tak bisa kembali diluruskan. Begitu juga jika sampai di kaki, telapak akan baal, kaki lunglai dan tidak bisa diangkat. Pada wajah, akan menyebabkan kelumpuhan otot kelopak mata sehingga sulit terpejam dengan benar.
Seseorang bisa terkena kusta karena tertular penderita yang belum minum obat kusta MDT (multiple drug therapy). Dalam banyak kasus, karena pada tahap ini belum muncul tanda-tandanya, penderita tak menyadari ia mengidap kusta. Ini lebih patut diwaspadai ketimbang mereka yang, meskipun sudah cacat, telah mendapat obat kusta. Jika sudah mendapat obatnya, dapat dipastikan dalam 2 x 24 jam ia takkan menularkan penyakitnya lagi.
Sampai saat ini, kata Sandri Manalu, dokter di Yayasan Transformasi Lepra Indonesia, satu-satunya sumber penularan kusta adalah manusia. Meskipun begitu, kuman kusta dapat hidup pada armadilo (binatang berkulit tebal yang kulitnya bisa digunakan untuk bergulung, melindungi badannya), simpanse, dan telapak kaki tikus. Kuman kusta masuk ke tubuh diduga melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang luka.
Penyakit ini terdiri atas dua jenis, yaitu kusta dengan kuman sedikit atau pauci baciller (kusta kering) dan kusta dengan kuman banyak atau multiple baciller (kusta basah). Jenis yang terakhir lebih parah karena ada lebih dari lima titik mati rasa di kulit. Penderita kusta kering wajib menenggak MDT selama enam bulan, sedangkan kusta basah selama 12 bulan. Jika sudah mendapat obat ini, kata Sandri, dapat dipastikan pasien kusta akan sembuh total.
Namun, kata Handoko, walau urusan kuman kusta selesai, tidak demikian halnya dengan cacat yang sudah telanjur terjadi. Misalnya, kaki yang sudah telanjur bengkok tak bisa pulih. Karena itu, ia mengingatkan ihwal pentingnya berobat secara dini sebelum cacat. Jika cepat berobat, ”Seseorang akan sembuh sempurna dan orang tak akan tahu dia pernah kusta,” katanya.
Pada masa lalu—sebelum era 1970-an—penyakit kusta tergolong mengerikan dan sulit diobati. Obat-obatan yang ada hanya bersifat menghambat perkembangan penyakit. Namun kini sudah ada obat yang dapat menyembuhkan kusta, yaitu MDT itu tadi. Obat tersebut terdiri atas tiga komponen: Rifamipisin, Lampreme, dan Dapson. Obat ini tersedia gratis di rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat.
Dokter Handoko Soewono menyatakan setiap tahun Sitanala melayani hingga 800 pasien. Rumah sakit ini memberikan hampir semua layanan medis kusta, dari mendiagnosis seseorang terkena kusta atau tidak, perawatan luka, rehabilitasi terhadap penderita, hingga operasi untuk memulihkan cacat akibat kusta.
Handoko menjelaskan, operasi dilakukan, misalnya, untuk memulihkan kaki yang bengkok agar kembali lurus dan dapat bergerak. Sedangkan rehabilitasi atau pemulihan mencakup, antara lain, fisioterapi dan pemberian alat bantu cacat, seperti sandal khusus dan kaki palsu.
Sitanala juga menangani mantan pasien yang sudah sembuh. Mereka ditempatkan di Kampung Serbaguna di sekitar rumah sakit. Kampung ini bagian dari Kelurahan Karangsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Menurut Handoko, permukiman eks penderita kusta ini sudah ada sejak 1951. Kini penduduknya 1.000 keluarga (sekitar 3.000 orang) yang tersebar di lima rukun tetangga dan dua rukun warga. Ketika menelusuri kampung ini, Tempo dengan mudah menjumpai orang dengan jari tangan bengkok, atau kaki yang sudah tergerus. Kampung serupa juga ada di Jawa Timur (lihat boks, ”Romantika di Dusun Kusta”).
Itulah contoh penderita kusta yang terlambat berobat, yang banyak terjadi. Bisa karena mereka telat menyadari terserang bakteri kusta, bisa pula lantaran malu. Ini tak lepas dari berbagai stigma yang ada di masyarakat. Lepra kerap dianggap penyakit kutukan atau hukuman Tuhan. Penderitanya tak hanya tidak diobati, tapi bahkan dikucilkan dan didiskriminasi hingga di zaman modern seperti sekarang.
Lihatlah yang terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, November 2007. Waktu itu Yayasan Transformasi Lepra Indonesia akan menggelar pelatihan bagi kelompok-kelompok advokasi penderita kusta di provinsi tersebut. Ketika para peserta—termasuk 30 orang pasien dan mantan penderita kusta—melakukan check in dan menginap satu malam, tak ada masalah apa pun. Baru keesokan harinya, ketika sarapan dan berkumpul di lobi, mereka dipaksa pihak hotel untuk check out. Alasannya, tamu-tamu lain merasa tak nyaman dan takut tertular. Pihak manajemen takut kehadiran orang berpenyakit kusta membuat pengunjung lain emoh datang ke hotel itu.
Stigma seperti ini masih terjadi di mana-mana dan mempengaruhi penanggulangan kusta di Indonesia. Seperti dikatakan A.B. Susanto, yang juga pendiri Yayasan Transformasi Lepra Indonesia, kadang yang lebih berat bukan penyembuhan penyakitnya, melainkan justru dampak sesudahnya. Apalagi jika sudah telanjur cacat.
Hingga kini masih jadi pertanyaan besar di mana kuman kusta berkembang biak dan mudah menular. Dokter Handoko menjelaskan, faktor gizilah yang diduga memudahkan penyebaran bakteri ini ke manusia. Sebagian besar kasus kusta terjadi di negara-negara berkembang, terutama di daerah kumuh dan miskin. Kuman juga diduga kuat masuk lewat sentuhan yang lama di kulit atau terhirup lewat saluran pernapasan. Artinya, lingkungan yang sehat dan gizi yang cukup bisa menangkal masuknya kuman lepra ke tubuh kita.
Andari Karina Anom, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo