Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI banyak orang, produk kolagen diyakini membuat awet muda. Namun, bagi Sunarti, 40 tahun, kolagen menjadi malapetaka. Karena kesalahan sistem imunitas, tanpa mengkonsumsi produk kolagen pun kulitnya mengeras. Saking kerasnya sampai-sampai jari jempol, telunjuk, dan tengahnya tak bisa ditekuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sunarti menderita scleroderma, autoimun yang menyerang jaringan ikat. Kolagen adalah salah satu protein pembentuk jaringan ikat. Kondisi ini membuat organ tubuh yang memiliki jaringan ikat-termasuk paru-paru dan jantung-menjadi kencang, menebal, dan mengeras. "Saya merasakan kulit mengencang sejak 1997, tapi tak ada dokter yang bisa mendiagnosis penyakit saya dengan tepat," kata warga Karawang, Jawa Barat, itu pada Kamis dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru lima tahun kemudian dokter spesialis penyakit dalam memvonis Sunarti menderita scleroderma. Saat itu, sang dokter juga curiga pasiennya ini menderita rheumatoid arthritis, autoimun yang membuat sendi meradang. Efeknya juga bisa membuat jaringan persendian hancur. Hasil tes darah Sunarti menunjukkan tingkat peradangan yang sangat tinggi. "Tapi waktu itu belum ada gejalanya," ucap ibu satu anak ini.
Rheumatoid tersebut baru terasa dua tahun kemudian. Sendi Sunarti terasa kaku-kaku. Pergelangan tangan kirinya terasa nyeri seperti keseleo sepanjang hari. "Orang keseleo sakitnya baru terasa saat digerakkan, kalau ini enggak diapa-apain pun sakit sekali," ujar Sunarti.
Nia, 45 tahun, punya pengalaman berbeda. Sejak umur 20-an tahun, rambutnya rontok parah, sampai pitak di beberapa titik kepalanya. Tapi ia tak curiga karena ibunya punya pengalaman yang sama.
Sumber kebotakan itu baru diketahui setelah Nia divonis menderita Sjogren's syndrome, autoimun yang menyerang kelenjar penghasil cairan, pada 2015. Dari hasil konsultasi dengan dokter, kebotakan tersebut rupanya disebabkan oleh alopecia areata, autoimun yang menggempur folikel rambut. "Saya punya dua autoimun," kata warga Jakarta Barat yang menolak dituliskan nama belakangnya ini.
Autoimun, menurut Iris Rengganis, dokter spesialis penyakit dalam konsultan alergi imunologi, terjadi ketika sistem kekebalan tubuh terganggu. Semestinya sistem imun menjadi penjaga tubuh. Ketika ada organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh, imun akan menjadi pasukan yang menyerbu. "Namun, karena gangguan, sistem imun ini malah berbalik menyerang jaringan tubuh itu sendiri," ujar Iris.
Ada sekitar 150 penyakit yang termasuk autoimun. Sebagian merupakan gangguan autoimun sistemik yang menyerang banyak organ, seperti lupus eritematosus sistemik atau yang dikenal hanya dengan sebutan lupus, Sjogren's syndrome, dan rheumatoid arthritis.
Sebagian lainnya hanya menyerang organ yang spesifik, seperti penyakit Addison yang menyerang kelenjar adrenal, tempat diproduksinya beberapa hormon; dan idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), yang menggempur trombosit.
Satu saja sudah bikin repot, apalagi banyak. Celakanya, seperti Sunarti dan Nia, banyak penderita yang memiliki lebih dari satu autoimun. Menurut Sumariyono, dokter spesialis penyakit dalam konsultan reumatologi, memiliki lebih dari satu autoimun adalah hal lumrah. "Tapi ini hanya terjadi pada sebagian kecil penyandang," kata dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ini.
Penyebabnya, Sumariyono melanjutkan, adalah faktor genetik. Kerentanan genetika tertentu membuat imun berbalik menyerang bagian tubuh tertentu. Misalnya, pada orang dengan rheumatoid arthritis, kerentanan terjadi pada gen HLA-DR4. Sedangkan pada orang dengan lupus lain lagi. Kalau penyandang memiliki banyak kerentanan genetik tersebut, bisa jadi autoimun yang dideritanya lebih dari satu.
Menurut dokter Andini S. Natasari, kerentanan genetik ini bisa diturunkan. Maka dalam satu keluarga bisa terdapat beberapa kerabat yang menderita autoimun aneka jenis. Di keluarganya, ada yang terkena lupus, ITP, alopecia, dan myasthenia gravis-autoimun yang memutuskan komunikasi dari saraf ke otot sehingga otot melemah. Andini sendiri menderita rheumatoid arthritis, Sjogren's syndrome, vaskulitis (peradangan pada pembuluh darah), dan penyakit Addison. "Yang diturunkan adalah kerentanan genetiknya, bukan penyakitnya," ucap dokter biologi imunologi dari Medical School Newcastle University di Inggris ini.
Selain keturunan, kerentanan genetik tersebut bisa terjadi akibat mutasi spontan. Di samping kerentanan yang acak tadi, ada kerentanan yang berpola. Menurut Andini, dunia kedokteran mengenal sindrom poligrandular. Poli artinya banyak, sedangkan grandular artinya kelenjar. "Jadi ada sindrom beberapa autoimun yang menyerang lebih dari satu kelenjar," ujar Andini.
Di situs Institut Kesehatan Nasional milik Departemen Kesehatan Amerika Serikat disebutkan ada tiga jenis sindrom poligrandular yang diturunkan secara genetik. Tipe pertama meliputi kandidiasis mukokutan, yaitu penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur; hipoparatiroidisme, yakni kondisi berkurangnya produksi hormon paratiroid yang mengatur kadar kalsium dalam darah dan tulang; serta penyakit Addison.
Sedangkan tipe kedua adalah penyakit Addison plus penyakit tiroid yang disebabkan oleh autoimun atau diabetes tipe 1. Mereka yang terkena tipe sindrom kedua ini juga bisa memiliki masalah dengan kelenjar endokrin lain, termasuk hipogonadisme primer, myasthenia gravis, dan penyakit celiac, yakni masalah pada pencernaan ketika mengkonsumsi gluten.
Adapun tipe ketiga biasanya terjadi pada wanita di usia paruh baya akibat kegagalan kelenjar menghasilkan hormon. Tipe ini termasuk autoimun tiroiditis bersama penyakit autoimun spesifik-organ lainnya, seperti diabetes melitus, anemia pernisiosa, vitiligo, alopecia, myasthenia gravis, dan Sjogren's syndrome.
Meskipun memiliki banyak kerentanan genetik, belum tentu semua autoimun tersebut bakal aktif. Faktor pemicunya antara lain lingkungan, termasuk gaya hidup yang tak sehat, dan infeksi. "Beberapa penyakit autoimun tampaknya dipicu atau diperburuk oleh infeksi tertentu," kata Iris Rengganis. Termasuk autoimun yang tak terkendali bisa memicu keluarnya autoimun-autoimun akibat kerentanan genetik lainnya.
Jika telanjur kena borongan, pengobatan tiap autoimun tersebut berjalan terpisah. Andini, misalnya, tetap mengkonsumsi obat untuk rheumatoid arthritis, Sjogren's syndrome, penyakit Addison, dan vaskulitis. Sunarti juga demikian, tiap hari ia menenggak obat untuk scleroderma dan rheumatoid arthritis. "Kalau tidak, kondisi saya akan makin parah," ujarnya.
Nur Alfiyah
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo