Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYAKIT darah talassemia major tak pernah memberi kesempatan
korbannya tumbuh menjadi dewasa. Sampai sekarang belum ada obat
yang bisa menyembuhkannya. Penyakit keturunan dengan kerusakan
hemoglobin (pembawa oksigen) ini hanya bisa diatasi dengan
tranfusi darah secara terus-menerus.
Keadaan yang menyedihkan dan menyerang anak-anak itu ternyata
mendapat perhatian yang besar dari dr Iskandar Wahidayat, 47
tahun, ahli penyakit anak-anak dari RS Cipto Mangunkusumo,
Jakarta. "Saya ingin memberikan sekedar sumbangan untuk ilmu
pengetahuan agar penderitaan masyarakat bisa diringankan,"
katanya.
Sejak ia bertugas di Bagian Ilmu Kesehatan Anak, RSCM tahun 1960
ia mulai menekuni thalassemia. Hasil-hasil penelitiannya selama
19 tahun itu telah memberikan bekal untuk menyusun sebuah
disertasi mengenai thalassemia di Jakarta. Pekan kemarin
Iskandar Wahidayat berhasil mempertahankan disertasi tadi di
depan seregu penyanggah di FKUI, Jakarta dan berhak menyandang
gelar Doktor.
Thalassemia, sebagaimana kata dasarnya Thalassa berasal dari
bahasa Yunani yang berarti laut. Semula penyakit ini memang
hanya dikenal dinegara-negara Laut Tengah. Tapi kemudian
ternyata juga berjangkit di negara-negara sepanjang
khatulistiwa, juga Amerika Serikat, Eropa dan Australia.
Indonesia sendiri baru mengenal penyakit ini ketika Neeb
menemukannya pada 1950.
Penyakit ini diturunkan oleh orangtua yang menderita thalassemia
yang kurang menunjukkan gejala-gejala, yang disebutkan juga
thalassemia minor. Dari perkawinan antara dua pembawa sifat
thalassemia tadi secara teoritis akan lahir 25% anak yang
normal, 50% mengandung thalassemia minor (tanpa keluhan
penyakit) sedangkan yang 25% menderita thalassemia major.
Penderita thalassemia major terkadang sudah meninggal begitu
dilahirkan. Anak-anak penderita yang terus-menerus diganti
darahnya, wajahnya tampak pucat kehitaman. Warna kehitaman ini
diakibatkan oleh zat besi yang menumpuk karena penggantian darah
tadi. Sekalipun tumpukan zat besi ini bisa dikeluarkan dengan
pengobatan, namun kerusakan pada organ lain tak terhindarkan,
seperti membengkaknya limpa.
Dalam penelitian yang dilakukan Iskandar Wahidayat usia
penderita hanya antara 6 - 7 tahun. Meskipun ada di antaranya
yang bisa bertahan sampai 19. Sekalipun ada yang bisa bertahan
sampai belasan tahun penderita mengalami kemunduran pertumbuhan
fisik, dan terkadang ditemukan juga gangguan mental. "Karena
penyakit thalassemia ini merupakan penyakit yang diturunkan
kepada anak-anak dari kedua orangtuanya, sebenarnya penyakit
tersebut dapat dicegah dengan menghindarkan perkawinan antara 2
pembawa sifat penyakit thalassemia," demikian Iskandar Wahidayat
dalam disertasinya yang mulai disusun sejak 1971, meliputi 22
penderita dan keluarganya.
Untuk mencegah penyakit ini dokter ahli penyakit anak kelahiran
Serang, Jawa Barat itu menganjurkan pemeriksaan darah untuk
mereka yang akan kawin. Ia sendiri sekarang ini sangat tergoda
untuk mempelajari teknik yang sedang dikembangkan di Amerika
Serikat dan Inggeris. Para ahli di negara tersebut mencegah
lahirnya penderita thalassemia dengan mengambil contoh darah
dari janin yang berusia 16 minggu. Kalau pemeriksaan darah
ternyata menunjukkan calon bayi itu menderita thalassemia, maka
si ibu dibujuk untuk menggugurkan kandungannya.
Kalau Tak Mampu
Penyelidikan yang dilakukan Iskandar hanya menyangkut penderita
yang masuk ke RSCM yang saban tahun mencapai 20 penderita.
Padahal dari berbagai daerah laporan tentang gejala thalassemia
ini banyak terdengar. Ia menganjurkan agar diadakan penelitian
mengenai frekuensi penyakit tersebut di Indonesia. Penelitian
semacam itu penting apalagi kalau diingat perjalanan klinis
penderita thalassemia di sini jauh lebih berat dibandingkan
dengan Amerika, Eropa dan Australia. Ia selalu terdiam menahan
air matanya kalau-kalau para orang tua anak-anak penderita
menangis di depannya karena tak tahan menanggung penderitaan.
"Hati saya lebih menangis kalau yang menderita itu dari keluarga
tak mampu," katanya.
Untuk menolong anak-anak seperti ini, Iskandar dan beberapa
dokter anak di bagian hematologi (penyakit darah) anak-anak RSCM
seperti Markum, Muslichan dan Maria Abdulsalam, saban bulan
menyumbangkan seluruh gaji dan honorarium mereka untuk membantu
pasien tak mampu. "Saban bulan ia menyumbang Rp 180.000," kata
seorang perawat dibagian anak-anak RSCM.
"Ia adalah seorang yang saleh dan murah hati. Memberikan banyak
bantuan untuk orang lain, tanpa banyak bicara," komentar dr
Masri Rustam, direktur Lembaga Tranfusi Darah Pusat. "Hatinya
halus. Andai banyak dokter seperti dia sungguh banyak orang yang
akan tertolong, "ujar Ny. Dewi Abidin, ketua Yayasan
Hematologi, sebuah yayasan yang berniat membantu para penderita
yang tak mampu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo