Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Saat ini, lebih dari 90 vaksin Covid-19 tengah dikembangkan di seluruh dunia. Setengahnya sudah diujicobakan pada manusia. The Barcelona Institute for Global Health (ISGlobal) mengadakan survei terhadap 13.400 orang dari 19 negara yang terkena dampak paling parah Pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Sebanyak 72 persen responden akan menggunakan vaksin itu setelah dinyatakan bisa digunakan, 14 persen menyatakan ragu-ragu, dan 14 persen menyatakan menolak menggunakan vaksin," kata Jeffrey V. Lazarus, Kepala Grup Riset Sistem Kesehatan ISGlobal dalam siaran pers yang diterima Tempo, Selasa malam, 20 Oktober 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hasil ISGlobal ini dirilis pada hari pertama Konferensi Dunia Union untuk Kesehatan Paru ke-51 yang digelar secara virtual. The Union, penyelenggara konferensi ini adalah organisasi internasional yang berfokus pada kesehatan paru dan didirikan seratus tahun lalu oleh negara-negara yang sepakat memerangi Tuberkulosis pada 20 Oktober 1920. Konferensi ini dibuka dengan pembicara kunci mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dan diikuti 4.000an delegasi dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Angka 28 persen itu, kata Lazarus sangat besar artinya. "Jika diterjemahkan menjadi puluhan juta orang di seluruh dunia potensial menghindari memakai vaksin itu.
Menurut Lazarus yang dijadwalkan akan berbicara mengenai survei itu pada hari kedua konferensi, keraguan itu disebabkan kurang percayanya masyarakat terhadap cara pemerintahnya menangani pandemi. "Kepercayaan terhadap vaksin selalu lebih tinggi di negara-negara yang pemerintahnya mendapatkan trust dari rakyatnya," ujarnya.
Seorang petugas medis lokal bersiap menerima suntikan vaksin Covid-19 Sputnik-V di Tver, Rusia, 12 Oktober 2020. Sebanyak 30 petugas medis mengajukan diri untuk mendapatkan vaksin virus corona Sputnik-V. REUTERS/Tatyana Makeyeva
ISGlobal dalam melakukan penelitian ini mendapatkan dukungan dari 'la Caixa Foundation, the City University of New York Graduate School of Public Health and Health Policy (CUNY SPH), Proyek Kepercayaan Vaksin di London School of Hygiene and Tropical
Medicine (LSHTM), dan Georgetown University Law School.
Dekan City University of New York Graduate School of Public Health and Health Policy, Ayman El-Mohandes mengatakan Cina yang menjadi asal mula pandemi Covid-19 ini menjadi negara dengan skor tanggapan positif tertinggi terhadap vaksin. Sebanyak 87 persen responden di Cina berpendapat vaksin akan efektif mengobati Covid-19 dan hanya 0,7 persen yang bereaksi negatif.
Polandia, kata El-Mohandes, merupakan negara yang bereaksi negatif tertinggi terhadap vaksin, sebanyak 27 persen. Sedangkan responden Rusia memberikan jumlah tanggapan positif terendah (55%). Di Spanyol, 74% responden menjawab positif, 13% enggan, dan 12% tidak pendapat.
“Kita perlu meningkatkan kepercayaan terhadap vaksin dan meningkatkan pemahaman publik tentang bagaimana mereka dapat membantu mengendalikan penyebaran Covid-19 di keluarga dan masyarakat sekitar, ” ujarnya.
Pertanyaan yang diajukan dalam survei itu adalah, apakah Anda akan menerima vaksin jika direkomendasikan oleh majikan Anda dan dinyatakan aman serta efektif oleh pemerintah. "Sebanyak 32 persen responden sangat setuju, sementara 18 persen agak setuju dan sama sekali tidak setuju. "
Cina sekali lagi memiliki persentase tertinggi dari para pekerja yang memberikan tanggapan positif (84%) dan negatif terendah (4%). Rusia memiliki persentase tanggapan negatif tertinggi (41%) dan persentase responden terendah (27%) yang akan menerima rekomendasi dari bos di perusahaan mereka.
Penerimaan vaksin juga bervariasi sesuai usia. Orang tua lebih bisa menerima vaksin itu dibanding mereka yang berusia di bawah 22 tahun. Pendapatan yang lebih tinggi, lebih dari 32 dolar per hari, bisa menerima vaksin dibandingkan yang berpenghasilan di bawah dua dolar perhari.
Heidi J. Larson, Direktur Proyek Kepercayaan Vaksin di London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM) mengatakan, temuan ini semestinya menjadi peringatan serius. "Jika kita tidak mulai membangun literasi vaksin dan memulihkan kepercayaan publik pada sains hari ini, kami tidak dapat berharap bisa mengendalikan pandemi ini."