Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO , Jakarta: Pria yang dijuluki budayawan sufi, Candra Malik, telah merampungkan novel perdananya yang berjudul Mustika Naga. Novel ini diterbitkan oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan dirilis pada Senin, 6 Juli 2015.
Cerita dalam novel ini berfokus pada petualangan spiritual dua insan dan perburuan pusaka nusantara dengan balutan roman percintaan. Sepasang kekasih Sarpayatna Taksaka dan Tarkeisya menjadi tokoh terpenting dalam cerita fiksi ini.
Sepasang kekasih itu diceritakan mencari pusaka Mustika Naga demi kepentingannya masing-masing. Nantinya, sejumlah konflik pun timbul dari terungkapnya rahasia keluarga hingga munculnya orang ketiga dalam percintaan mereka.
Pria kelahiran Solo, 25 Maret 1979, ini mengungkapkan bahwa novel ini lahir dari pengalaman hidup dan perenungannya. Ajaran-ajaran sufi yang didalami Candra tentang memahami diri dan ilahi banyak dia tuangkan.
Selain itu, ajaran Hindu dan Buddha juga turut menghiasai novel ini. Latar dalam cerita ini adalah berbagai tempat yang pernah dikunjungi Candra seperti Jepang, Australia, serta daerah nusantara seperti Bali, Mentawai, bahkan Papua.
"Novel ini adalah pergumulan dari perjalanan spiritual saya sebagai sufi selama 22 tahun," ujar Candra saat dihubungi Tempo, Selasa, 7 Juli 2015.
Pengamatannya yang tajam terhadap pengalaman hidup menjadi syarat utama dalam memadukan khazanah intelektual seputar nusantara. Dengan kelincahan dan ketekunannya menulis, dalam waktu dua pekan saja, lahirnya novel yang banyak bertuah soal kekayaan budaya bangsa. Dia juga mengangkat kisah mitologi yang sudah lama hidup di nusantara, seperti kisah mitologi Garuda dan Naga.
"Novel ini dapat memberi stimulus bahwa bangsa kita adalah bangsa yang kaya jika kita mau melihat ke akar tradisi," kata pria yang juga pelantun lagu Rukun Iman dan Sabda Cinta itu.
Lewat menarasikan mitolgi nusantara, Candra yakin itu akan membuat pembaca lebih mengenal identitas kebangsaannya. Oleh karena itu, Candra sungkan membicarakan politik. Sebab, menurut dia, pehamanan tentang identitas diri dan bangsa jauh lebih penting dari politik karena itu menjadi pondasi dalam membangun tata negara dan kebhinekaan yang kokoh.
"Kalau politik itu kan sementara, tapi kalau tata negara itu ketentuan yang lebih besar," ujar peraih piala Vidia di ajang Festival Film Indonesia 2014 untuk kategori Penata Musik Film Televisi Terbaik.
LUHUR PAMBUDI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini