Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wisata sejarah menjadi satu cara warga Jakarta dan sekitarnya mengisi waktu menunggu buka puasa.
Ada banyak pilihan tema yang digelar berbagai pelaksana jalan-jalan sejarah, seperti Walk Indies, Sahabat Museum, dan Jakarta Good Guide, selama Ramadan 2024 ini.
Tempo mengikuti penelusuran jejak Freemason pada era Hindia-Belanda yang menjadi ageda dwimingguan Walk Indies.
RINTIK hujan membasahi Tanah Abang, Jakarta Pusat, saat serombongan orang meninggalkan Museum Taman Prasasti pada Sabtu petang, 17 Maret 2024. Puasa Ramadan tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus mengikuti wisata sejarah bertajuk “Secret Society of Batavia”, menelusuri jejak Freemason pada masa Hindia-Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapa yang tidak penasaran dengan Freemason? Kelompok persaudaraan tertua di dunia ini disebut-sebut beranggotakan banyak tokoh penting dan berperan di balik berbagai peristiwa dunia. Dengan anggota mencapai 6 juta jiwa, demikian ditulis situs web ilmiah populer Live Science, keberadaan mereka serba-rahasia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah kabut gelap Freemason, terselip beberapa petunjuk lewat berbagai simbol, seperti yang ditulis Dan Brown secara menarik dalam novel The Lost Symbol (2009). Simbol-simbol itu juga tersempil di sejumlah obyek peninggalan Hindia-Belanda di Jakarta. Tema itulah yang diangkat oleh Walk Indies, lembaga penyedia tur sejarah sejak 2015, pada Sabtu petang lalu.
“Tertarik dengan temanya, sekalian ngabuburit,” kata Izhar Alkhalifard, 25 tahun, warga Bogor, Jawa Barat. Bersama enam orang lain, Izhar berjalan kaki sekitar 7 kilometer menyusuri lima lokasi, termasuk Istana Merdeka dan Gedung Kimia Farma di Jalan Budi Utomo. Safari mereka sempat terhenti akibat guyuran hujan. Namun perhentian itu justru membuat peserta mendapat penjelasan lebih banyak soal obyek-obyek yang mereka kunjungi.
Pemandu sejarah dari Walk Indies menunjukkan simbol Freemason yang ada pada nisan Mayor Lodewijk Schneider di Museum Taman Prasasti, Jakarta, 16 Maret 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti
Di Kerkhof Laan atau Museum Taman Prasasti, misalnya. Pemandu perjalanan, Mimireich Lie, menunjuk batu nisan dari andesit yang terpampang di tembok depan museum. Di sana tertulis “Di sini dimakamkan Lodewijk Schneider, mayor pada pasukan berkuda N.7” berikut keterangan kelahiran pada 1788, kematian pada 1820, dan kenangannya.
Di bagian bawah mistar tertera gambar mata di dalam segitiga, mistar, dan jangka. “Itu adalah simbol Freemason,” kata Mimireich.
Kerahasiaan kelompok yang banyak berisi kaum intelektual ini membuatnya kerap disalahpahami. Mimireich mengatakan Freemason sering disebut sebagai serikat yang berlawanan dengan agama. Simbol mata, misalnya, disebut sebagai lambang dajal, setan bermata satu yang disebutkan akan turun ke dunia menjelang kiamat. “Padahal itu artinya Yang Maha Melihat,” kata pemandu lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti itu.
Mimireich juga menunjuk nisan-nisan lain yang memiliki simbol yang menunjukkan pemiliknya merupakan anggota Freemason. Ada jam pasir yang bermakna perjalanan waktu, ada juga gambar kerangka manusia dan bulir gandum. Posisi lengan bersilang yang membentuk tanda salib berarti jalan menuju kesempurnaan, sementara bulir gandum menyimbolkan buah kehidupan.
Makam yang turut menjadi perhatian adalah milik Johan Harmen Rudolf Kohler. Mayor jenderal itu wafat pada usia 54 tahun oleh peluru tentara Aceh di depan Masjid Raya Banda Aceh pada 1873. Pada nisannya tertera simbol ular melingkar menggigit ekornya serta obor terbalik. “Dua simbol itu adalah simbol dari Freemason,” ujar Mimireich. Menurut dia, Freemason memiliki banyak simbol dan pemakaian simbol tertentu pada nisan biasanya menggambarkan pandangan atau prinsip orang tersebut.
Dihubungi terpisah, Lilie Suratminto, sejarawan yang menulis Membuka Tabir Makna Batu Nisan Belanda (2023), mengatakan gambar ular melingkar pada nisan berarti kehidupan yang kekal pasca-kematian. Sementara itu, obor terbalik bermakna ada sesuatu yang belum rampung semasa hidupnya.
Menurut peneliti sekaligus tim ahli Cagar Budaya Nasional tersebut, ular melingkar dan obor terbalik, juga jam pasir serta tengkorak, bukan simbol khas Freemason. “Itu simbol umum yang banyak dipakai umat Kristiani di Eropa,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Buddhi Dharma, Tangerang, itu. Lilie yakin simbol Freemason hanya mata, penggaris, dan jangka, seperti yang terdapat pada nisan Lodewijk Scheneider di Taman Prasasti.
Buku Membuka Tabir Makna Batu Nisan Belanda karya Lilie Suratminto. TEMPO/Reza Maulana.
Meski demikian, Lilie melanjutkan, tidak semua anggota Freemason mencantumkan simbol serikat pada nisan mereka. Dia mencontohkan makam Dr H.F. Roll, pendiri sekolah tinggi kedokteran pertama di Hindia Belanda atau STOVIA di Museum Taman Prasasti. Batu kubur marmer tersebut berbentuk buku sonder simbol mata, mistar, ataupun jangka.
Namun Lilie yakin Roll merupakan anggota Freemason, mengingat posisinya sebagai Direktur STOVIA. “Banyak orang STOVIA, juga mayoritas pejabat tinggi Hindia-Belanda asal Eropa, adalah Freemason,” katanya. Di antaranya Olivia Mariamne Devenish, istri Thomas Stamford Raffles; dan John Casper Leyden, penasihat Raffles yang makam in situ-nya ada di Museum Taman Prasasti. Tak ada simbol Freemason pada makam keduanya, tapi mereka, seperti juga Raffles, diyakini sebagai anggota serikat rahasia tersebut.
Rombongan Walking Tour berada di seberang Istana Merdeka, tempat yang pernah ditinggali Gubernur Jenderal Leonard Pierre Joseph du Bus, di Jakarta, 16 Maret 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti
Jejak Freemason juga terendus di Istana Merdeka, titik kedua yang disinggahi peserta wisata sejarah Secret Society of Batavia. Pada 1826-1830, istana merupakan rumah peristirahatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Leonard du Bus de Gisignies. “Dia memberikan uang 12 ribu gulden kepada Freemason, yang kemudian digunakan untuk membangun loji atau gedung perkumpulan,” kata Mimireich.
Kedua loji itu masih kokoh berdiri, yaitu Gedung Kimia Farma di Jalan Budi Utomo dan Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jalan Taman Surapati, keduanya di Jakarta Pusat. Rombongan tidak menyambangi Gedung Bappenas dan hanya melihat Gedung Kimia Farma dari luar.
Lilie mengatakan sejumlah buku menyebut kedua bangunan tersebut sebagai gedung pertemuan Mason Bebas alias Freemason. Peserta pertemuan memang mayoritas pejabat tinggi asal Eropa, tapi ada juga kaum intelektual pribumi, seperti Radjiman Wedyodiningrat (Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI) dan doktor Soepomo (perancang UUD 45 bersama M. Yamin dan Sukarno). Keterangan itu tertera pada Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 karya T.H. Stevens. “Ada juga yang menyebut Raden Saleh dan Sultan Hamengku Buwono VIII. Tapi saya kurang tahu. Hanya katanya, katanya,” ujar Lilie kepada Tempo.
Wisata sejarah pada Sabtu petang itu kelar di Gedung Kimia Farma setelah peserta berjalan menyambangi Istana Daendels—kini Kementerian Keuangan—di depan Lapangan Banteng. Istana Daendels awalnya hendak dihuni oleh Gubernur Jenderal du Bus de Gisignies. Tapi, setelah bangunan itu rampung, dia memilih tetap tinggal di Istana Gambir—nama awal Istana Merdeka.
Kumandang azan magrib mengakhiri wisata sejarah Secret Society of Batavia pada hari itu. Para peserta buka puasa bersama dengan es teh serta roti yang disediakan panitia. Sofie Choirun Nisa, 23 tahun, mengaku senang bisa ngabuburit sembari belajar sejarah, meskipun capek seusai empat jam berjalan kaki saat puasa. “Ini pengalaman pertama saya mengikuti walking tour,” ujar pekerja di lembaga swadaya masyarakat di Jakarta Selatan itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo