Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Bumi Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, luluh-lantak pada Jumat sore, 28 September lalu. Gempa bumi berkekuatan 6 pada skala Richter pertama kali mengguncang dengan keras pada pukul 13.59, disusul dengan gempa yang berkekuatan lebih dahsyat, 7 skala Richter, dan menimbulkan tsunami. Akibatnya, sebanyak 1.558 nyawa melayang per 5 Oktober kemarin.
Baca: Relawan dan Penyintas Bencana Perlu Waspadai Penyakit Tetanus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan korban yang terkena dampak bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah memerlukan bantuan penyembuhan trauma. Banyak korban menjadi stres karena mereka belum pulih dari keterkejutan akibat bencana pertama, tapi masih harus berhadapan dengan sejumlah gempa susulan yang masih berlangsung."Ini yang disebut periode panik... mereka masih trauma, gempa masih berlangsung, kebutuhan juga terbatas. Keadaan ini menyebabkan mereka stres dan menderita, maka perlu diredam dengan trauma healing," ujar Sutopo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mengalahkan trauma sangat tak mudah. Bagi Ismail, 32 tahun, peristiwa gempa Padang, Sumatera Barat, pada 30 September 2009, akan melekat dalam ingatan. Dia dapat diselamatkan setelah terkubur dalam reruntuhan selama 18 jam dan bergantung pada celah di antara material untuk bernapas dan meminta tolong.
Sore itu, Ismail menuju rumahnya di Korong Lubuk Laweh Nagari Tandikek Utara, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Dia masih ingat betul urutan kejadian kala musibah tersebut terjadi."Sampai di rumah, saya mengunci pintu karena akan salat asar. Tiba-tiba terjadi gempa keras, dan saya tidak bisa lari," ucapnya. Dia menyaksikan dinding depan rumahnya roboh saat itu.
Guncangan berhenti. Dia melihat pohon kelapa tumbang. Lantas dia lari ke belakang rumah. Mendadak sontak rumahnya karam dan dia dihantam tembok rumahnya dengan keras."Saya seperti terseret, longsor, dan tahu-tahu sudah tertimbun material," ucapnya. Hanya ada sedikit celah tempat dia menggantungkan nasib, untuk bernapas dan meminta tolong.
Waktu berlalu, teriakannya terasa sia-sia."Saya berhenti minta tolong untuk atur pernapasan," tuturnya. Lalu, dia kembali minta tolong."Setiap saya menjerit minta tolong, tanah masuk ke mulut," ucapnya. Saat itu, dia mulai sedikit merasa putus asa hingga sekitar pukul 18.30 dia mendengar ada derap langkah mendekatinya.
Perlahan-lahan material yang menimbunnya dipindah satu per satu hingga kepala dan dadanya terbebas dari impitan material. Namun, sayang, material yang mengubur tubuh bagian pinggang hingga ke bawah tak dapat diangkat. Ditambah satu lagi kabar buruk baginya saat itu, kakinya terjepit beton dan perutnya nyaris tertusuk.
Sembari menunggu pertolongan lanjutan datang, ia bertanya kepada orang yang menolongnya."Kenapa baru datang bantu saya, padahal sudah berteriak sejak tadi," tuturnya. Jawaban yang mengalir membuatnya terperanjat."Orang itu bilang tidak ada siapa-siapa lagi di situ yang masih hidup yang bisa menolong." Lalu orang itu menangis di sampingnya. Ismail sendiri hanya bisa termenung. Sekitar 132 warga Korong Lubuak Laweh Jajaran meninggal dunia terkubur longsor yang dipicu gempa.
Dia baru dapat dievakuasi penuh pada 1 Oktober 2018, sekitar pukul 11.00. Artinya, dia sudah tertimbun selama 18 jam di reruntuhan beton."Saya dirawat di rumah sakit sekitar 17 hari, kaki saya patah dan retak sehingga harus menggunakan tongkat sebagai alat bantu jalan," ujarnya. Musibah tersebut menyisakan tanda yang ia bawa seumur hidup: ia menjadi pincang.
Selama di pengungsian, Ismail mesti berdamai dengan kehilangan fungsi normal kakinya. Dia juga mesti belajar berdamai dengan rasa trauma yang teramat pekat menguasai pikirannya."Saya takut masuk ke rumah bertembok, saya takut melihat perbukitan, saya juga takut melihat angin badai," katanya. Selama setahun dia berjibaku melawan trauma tersebut.
Baca: Bangkit dari Bencana ala Warga Pulesari, Mencoba jadi Tarzan
Perlahan, dia bangkit. Dia menyadari perekonomian warga kampungnya lumpuh."Kampung habis, tapi kebetulan masih ada kebun," ucapnya. Ismail mencoba membangkitkan semangat masyarakat dengan memaksimalkan potensi kebun."Saya mengajak masyarakat menanami kembali daerah yang longsor... kami menanam durian."
Saat ini, Ismail dikenal sebagai salah satu tokoh pegiat isu-isu kebencanaan, salah satunya di lembaga nonpemerintah Bumi Ceria, yang punya fokus di isu kebencanaan. Dia juga tengah melanjutkan kuliah dan aktif pula sebagai pengurus HMI Komisariat Padang Pariaman."Anak-anak di sini akhirnya memiliki pendidikan yang lebih tinggi juga," tuturnya.
KORAN TEMPO| PITO AGUSTIN RUDIANA | DINI PRAMITA