ADA penyakit gula, atau diabetes mellitus (DM), yang bergantung pada insulin. Penderitanya secara tetap mendapat suntikan insulin. Bila penyuntikan terlambat dilakukan, akibatnya bisa fatal. Para ahli endokrinologi kini berhasil menemukan metode baru menyuplai insulin ke dalam darah sebagai alternatif penyuntikan. Metode baru itu dengan penyemprotan insulin lewat hidung atau nasal insulin. Hasil penelitian itu disampaikan dr. A.C. Moses dalam Kongres IX Endokrinologi se-Asia Oceania, yang berakhir Jumat pekan lalu di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres internasional yang diselenggarakan empat tahun sekali itu dihadiri sekitar 400 peserta dari dalam dan luar negeri. Ada 68 plenary lecture dan simposium, serta 144 makalah bebas yang dibicarakan dalam kongres ini. "Sayangnya, nasal insulin belum bisa dipasarkan karena masih terus diteliti keampuhannya," ujar A.C. Moses. Ia ini Direktur Riset Endokrinologi Departemen Pengobatan Harvard Thorndike, Laboratory of Beth Israel Hospital (LBIH) Boston, AS. LBIH meneliti obat ini sejak 1983. Kini beberapa perusahaan di AS sedang mengembangkannya dan sudah memasuki taraf uji coba. Diperlukan waktu panjang sebelum dipasarkan. Menurut Moses, perbedaannya dari obat diabetes yang sudah biasa digunakan sekarang adalah bentuknya seperti semprotan yang dihirupkan ke hidung. "Penyemprotannya kepada pasien yang memerlukan insulin sebaiknya dilakukan sebelum makan. Ini untuk menurunkan glukosa darah," katanya. Kalau dilakukan setelah makan, diperkirakan glukosa darah pasien cukup tinggi. Insulin ini, yang dihirup pasien diabetes, langsung diserap dalam darah untuk mengubah gula darah jadi glikogen. Hal serupa terjadi pada pasien yang disuntik insulin. Namun, penelitian memperlihatkan, insulin yang dihirup lebih cepat diserap darah sekitar delapan menit dibanding pengobatan dengan insulin yang selama ini, yaitu sekitar satu setengah jam. Itu sebabnya penggunaan nasal insulin dianjurkan sebelum makan. Penyakit diabetes terjadi karena kelenjar pankreas yang menghasilkan hormon insulin tidak berfungsi. Hormon ini berfungsi mengubah gula dalam darah (glukosa) menjadi glikogen agar diserap sel-sel jaringan untuk pembentukan energi. Kekurangan insulin menyebabkan kadar gula darah meningkat. Di stadium awal, kekurangan ini bisa diatasi dengan obat-obatan. Pada tingkat lanjut, atau saat kerusakan kelenjar pankreas sudah parah, penderita harus disuntik insulin secara tetap. Menurut Profesor Dr. Utoyo Sukaton, ada enam tipe penyakit DM. Pertama, Insulin Dependent DM (IDDM), penderita yang bergantung kepada suntikan insulin. Tipe ini banyak terjadi pada anak-anak atau orang muda. Kedua, Non-Insulin Dependent DM (NIDDM), penderita yang tak bergantung pada suntikan. Biasanya penderita tipe II ini bisa ditanggulangi dengan obat, olahraga, atau diet. Ini banyak menyerang mereka yang berusia di atas 40 tahun. Tipe ketiga, Malnutrition Related DM (MRMD). Gejala dan penyebab tipe ini masih terus dipelajari. Tipe keempat disebut Gestational DM. Tipe ini belum banyak diungkapkan. Sedangkan tipe 5, kencing manis yang disebabkan kelainan organ. Misalnya kelainan pada anak ginjal. Dan tipe 6 diabetes yang disebabkan pengaruh obat-obatan. "Tipe 1 hingga 3 sulit untuk disembuhkan, jadi penyakit sepanjang hidup," ujar Utoyo Sukaton, Ketua Panitia Pelaksana Kongres. Saat ini di Indonesia ditaksir terdapat dua juta penderita diabetes, atau 1,5%o dari jumlah penduduk. Yang mencemaskan, penderita diabetes mudah terserang penyakit sekunder sehingga timbul komplikasi ginjal, impotensi, TBC, paru, tekanan darah tinggi, atau penyakit mata katarak. Menurut Moses, nasal insulin bukan diperuntukkan bagi pasien tipe pertama (IDDM). "Nasal insulin ini hanya dapat mengurangi banyaknya injeksi insulin yang disuntikkan pada pasien diabetes. Bukan menggantikan injeksi insulin secara keseluruhan," ujarnya. Namun, hasil penelitian membuktikan penderita DM dapat sembuh dalam waktu enam bulan dibandingkan cara biasa yang memakan waktu lebih dari dua tahun. Bagi ahli diabetes, nasal insulin termasuk baru dan merupakan titik terang bagi dunia kedokteran. "Masalahnya, belum bisa dipraktekkan secara luas karena baru dalam taraf uji coba," kata Askandar Tjokroprawiro. Menurut ahli penyakit dalam dari RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, ini, cara tersebut sebenarnya bisa mengurangi rasa sakit penderita. Hanya daya efeknya terlalu singkat, sekitar 90 menit. Sedangkan pengobatan konvensional selama ini bisa bertahan sampai enam jam. Pendapat serupa juga dikemukakan Utoyo Sukaton. Hanya yang belum diketahui berapa dosis nasal insulin harus disemprotkan. "Walaupun dapat menekan kadar gula dalam darah, tidak bisa bertahan lama. Setiap 1,5 jam harus disemprot kembali," tutur Utoyo kepada Siti Nurbaiti dari TEMPO. Di samping Moses dan kawan-kawan, hingga kini ada enam kelompok studi yang melakukan penelitian nasal insulin. Satu di Italia, sebuah grup lain di Boston, juga Australia, lalu di Prancis. "Sedikitnya ada lima ne-gara yan-g intensif melakukan penelitian," ujar peneliti yang mengaku belum tahu banyak tentang DM di Indonesia ini. Penanggulangan penyakit DM, menurut Moses, cukup memusingkan. Apalagi bagi penderitanya, insulin ini masih dianggap mahal sehingga pengobatannya tidak berjalan secara tuntas. Konon, pemakaian nasal insulin lebih mahal ketimbang pengobatan secara suntikan. "Biayanya diperkirakan tiga kali lipat," katanya. Namun, ia berharap nasal insulin dapat menggantikan pengobatan DM yang selama ini sudah ada. Moses agak menyayangkan masih banyak ahli yang pro dan kontra dalam masalah pengobatan penyakit ini karena menyangkut kepentingan sendiri-sendiri. "Setidaknya nasal insulin bisa memberikan harapan dan memperpanjang hidup penderita diabetes tanpa menimbulkan rasa sakit," ujar Moses sungguh-sungguh. Rudy Novrianto, Didi Prambadi (Jakarta), Zed Abidien (Surabaya)