Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ledakan rezeki setahun sekali

Meski sudah ada larangan untuk membuat petasan, pembuat petasan tak pernah kapok. sering terjadi ledakan yang membawa korban. (sd)

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULANG dari ronda malam, Syamsuri tak langsung tidur. Buruh serabutan yang penghasilannya tak menentu ini mengambil kotak kayu yang tersimpan di kolong tempat tidur. Isinya bahan pembuat petasan. Di emper depan rumahnya, di Kampung Ronodigdayan, Yogyakarta, dengan diterangi lampu sentir, ia mulai membuat petasan -- seperti yang biasa ia lakukan setiap bulan puasa. Setelah makan saur, sisa bahan di kotak kayu ia kembalikan ke kolong tempat tidur. Istri dan dua anaknya tidur lelap di atasnya. Dua anaknya yang lain, telah keluar rumah, berlari pagi setelah makan saur tadi. Tapi tatkala Syamsuri mau melanjutkan membuat petasan, terdengar ledakan amat keras. "Saya sampai terlempar dua meter," kata Syamsuri, 32 tahun, mengenang. Ledakan menjelang subuh pertengahan bulan lalu itu, menggegerkan kampung yang padat itu. Syamsuri sudah bisa menduga, bahan-bahan petasan yang baru saja ia letakkan di bawah tempat tidur tadi telah meledak. Ia masuk ke rumahnya yang porak poranda. Di tengah asap yang masih mengepul ia memanggil istri dan anaknya. Tak ada jawaban. Tetangga kiri kanan segera berdatangan. Samsudin, anak Syamsuri berusia 5 tahun, ditemukan tewas di tengah reruntuhan. Kaki kanannya hilang, jari tangannya hancur. Ketika asap mulai tipis, terdengar suara wanita mengerang. Teryata istri Syamsuri tersangkut di pagar tembok setinggi 4 meter. Di situ pula ditemukan kaki kanan Samsudin. Penduduk buru-buru melarikan Ponirah, istri Syamsuri, ke rumah sakit. Nyawanya tak tertolong sebelum tiba di tujuan. Rumah Syamsuri berukuran 3 x 7 meter itu, porak poranda. Tiga rumah tetangganya juga rusak berat. Kesemrawutan ini menyulitkan penduduk mencari anak Syamsuri yang satu lagi, Triastuti, yang tadi tidur lelap bersama ibunya. Setelah matahari terang, baru Tri ditemukan: nyangkut di antena tv sekitar 15 meter dari pusat ledakan. Anak itu pun sudah tak bernyawa lagi. Syamsuri yang ceroboh menutup kotak bahan petasan itu, kini merenungi nasibnya. "Saya benar-benar menyesal," katanya setengah terisak. "Saya telah mengabaikan nasihat tetangga," katanya lagi. Tetangga kiri kanan, memang sering menasihati dia agar berhenti membuat petasan. Selain berbahaya, sejak 1980 Pemerintah Daerah DI Yogyakarta melarang membuat dan membunyikan mercon. Tetapi penghasilan yang tak menentu menyebabkan Syamsuri terwsik kembali membuat petasan. Apalagi bahan-bahan yang dibelinya tahun lalu masih tersisa. "Lebaran tahun lalu saya rayakan dengan uang petasan," katanya, "hasil petasan cukup banyak, bisa juga ditabung." Musibah petasan di Kota Yogya ini menyebabkan razia petasan ditingkatkan -- tak kalah gesit dengan operasi menumpas gali. Dua hari setelah ledakan di rumah Syamsuri puluhan pembuat petasan kena operasi. Di antaranya terdapat Sumarto, 50 tahun, yang kebetulan juga ketua RT 132 di Kampung Lempuyangan. "Saya tak tahu lagi, bagaimana mencari tambahan untuk Lebaran dan biaya anak sekolah," kata Sumarto terus terang. Ayah enam anak ini sejak 1970 membuat petasan, dengan sembunyi-sembunyi tentu saja. Setiap Lebaran ia bisa membuat dan menjual sekitar 3.500 biji petasan ukuran kecil. "Untungnya sekitar Rp 20.000," kata Sumarto yang sehari-hari menjadi buruh bangunan. Cara yang ia pakai agak berbeda dengan Syamsuri. Sumarto selalu menghabiskan obat petasan yang ia beli. Kalau pasaran sepi, sisa petasan itu disimpan dan djual Lebaran berikutnya. "Menyimpan petasan yang sudah jadi lebih aman dari menyimpan bahannya," katanya. Namun bukan berarti tak pernah terjadi kecelakaan. "Anak saya pernah terkena ledakan ketika mengisi kelongsong. Untung merconnya kecil, tidak luka parah," ujar Sumarto. Membuat petasan memang harus lebih berhati-hati. Bahannya yang terdiri dari bubuk potas, belerang, brown, yang banyak dijualbelikan di toko besi, mudah meledak kalau kena panas, bahkan panas akibat gesekan ketika meramu bahan-bahan itu. Di Desa Singopolo, Pasuruan, Ja-Tim, yang dikenal sebagai pusat pembuatan mercon, hampir setiap tahun terjadi kecelakaan. Awal Ramadhan tahun ini, kakak beradik pembuat mercon meninggal hangus karena ledakan bahan mercon yang sedang dijemur. "Paman saya tahun 1970 juga tewas karena ledakan bahan mercon," cerita Asfan, seorang penduduk Singopolo. Tapi penduduk desa itu tak pernah kapok mengolah sumber rezeki tahunan itu. Sejak awal puasa ini, Asfan, 32 tahun, bahkan mempekerjakan 15 buruh di rumahnya. Ia memproduksi mercon berbagai ukuran dengan diberi merk Singa, Meriam, Srikandi Gajah, Seruling, Serimpi, dan Jempol. Kertas merk ini, "peninggalan tahun 1960-an," katanya. Asfan, sehari-hari adalah pengrajin sepatu sepak bola dengan merk Adidas -- tak ada hubungan dengan Adidas yang made in luar negeri itu. Peralatan pembuat sepatu praktis disingkirkan, diganti alat-alat pembuat petasan. Buruh-buruhnya, yang sebagian wanita, hanya bekerja mengisi kelongsong dengan bahan-bahan. "Pekerjaan itu tidak berbahaya," katanya. Yang berbahaya mencampur adonan brown, potas, dan belerang. Itu dikerjakan Asfan sendiri di malam hari. "Setiap mencampur obat, hati saya dag dig dug terus," katanya. Selain karena pamannya yang tewas, ia sendiri mengalami kecelakaan tahun 1972. Paha dan tangannya terbakar karena bahan-bahan meledak. Produksi Asfan tiap hari mencapai 20 bal. Setiap bal berisi 100 pak. Satu pak yang berisi 20 biji dijual Rp 100. Untungnya, "empat kali lebih besar dari usaha membuat sepatu," kata Asfan tanpa menyebut jumlah. Dari uang yang mengalir sebulan dalam setahun inilah Asfan membangun rumah gedung. Tetangganya bahkan punya rumah bertingkat dari usaha petasan. Sebuah kampung di utara Kota Bandung, dikenal sebagai pusat pembuatan petasan. Penduduknya meminta agar nama kampung mereka tak usah disebut. Paling tidak ada 20 pembuat petasan yang menghuni rumah sempit di kampung itu. Usaha ini betul-betul tersembunyi. Orang luar yang datang selalu dicurigai. Setiap orang akan menjawab "tidak tahu" bila ditanyai tempat membeli petasan. "Takut digerebek polisi," kata Entang, murid kelas III SMP, salah seorang pembuat petasan di sana. Polisi yang dimaksud tentulah bukan polisi yang sudah dikenal yang, katanya, sering datang dengan dalih merazia, tetapi "bisa diajak musyawarah." Di kampung ini, menurut Entang, empat tahun lalu pernah terjadi musibah ledakan bahan mercon. Sebuah rumah hancur dan tiga jiwa melayang. Tetapi penduduk tak kapok juga. Entang yang membuat petasan dibantu ibu dan adiknya, bisa menghasilkan 5.000 petasan jenis cabe rawit. Bahkan bisa lebih kalau bekerja sampai malam. Hasilnya lumayan, setiap hari bisa dapat Rp 10.000. Ia susah punya langganan tetap, seorang pedagang mercon keliling. Bahan baku petasan, menurut Entang, tak sulit diperoleh. Harganya pun tergolong murah. Serbuk belerang Rp 400 per kg, potas Rp 1.700 per kg, sedangkan brown Rp 12.000 per kg. Kertas yang dipakai kertas bekas kartu pos atau pos wesel. Di Bandung, kertas bekas pos wesel ini bisa dibeli dengan harga Rp 300 per kg. Tiap kilogram berisi sekitar seribu lembar. Entang merahasiakan tempat ia biasa membeli bahan baku mercon itu. "Kalau pembeli tidak dikenalnya, toko tak mau melayani," kata Entang. Lelaki perokok berat ini mengaku sejak kecil sudah biasa membuat petasan. Setiap tahun ia pasti mengulangi pekerjaan itu, betapa pun gencar larangan yang datang. "Lumayan untuk Lebaran, walau risikonya cukup besar," katanya. Risiko digerebek ternyata tak ditakuti pembyat petasan di Kampung Jati Parung, Bogor. "Dulu waktu masih ada pungli, petugas datang menakut-nakuti, mau mengirimkan pembuat petasan ke sel. Padahal mereka mau minta petasan secara cuma-cuma, untuk dijual," kata Madi, 52 tahun, yang membuat petasan sejak 1960. "Sekarang tak pernah ada razia lagi," katanya pula. Madi yang mengaku sebagai perintis petasan di Kecamatan Parung Panjang, Bogor, membuat petasan secara terus-menerus tak hanya menjelang puasa dan Lebaran. Tapi ia mengakui, menjelang Lebaran produksi dilipatgandakan. Ia pernah mengalami panen besar justru di luar bulan puasa. Yakni ketika petasannya diborong untuk membantu penggiringan gajah di Air Sugihan, Sumatera Selatan. "Rangkaian petasan itu dipasang di pohon untuk mengejutkan gajah. Sebanyak dua Cok petasan dikirimkan ke sana," ungkapnya. Di DKI Jakarta, membuat, menjual, dan membunyikan petasan dilarang berdasarkan SK Gubernur. Tetapi bunyi dor masih terdengar di sana-sini: Petasan itu, boleh jadi buatan Babe Hasnan, 73 tahun, penduduk Rawasari, Jakarta Timur. Ia membuat petasan hanya untuk mengisi hari-hari sepinya. Anaknya sudah kawin dan tak ada yang tinggal serumah. Yang belum kawin cuma seorang dan jadi pelaut. "Tadi barusan saja saya dari kantor polisi, gara-gara ada yang melaporkan saya," kata kakek ini dengan logat Betawi. Ia diadukan tetangganya karena masih saja membuat petasan. Tentu saja pulang dari kantor polisi, semua peralatan merconnya ia simpan. "Babe tak enak, sudah tua begini berurusan sama polisi," ujarnya lagi. Tahun lalu, ia juga diadukan ke polisi, karena petasannya dibungkus kertas bertulisan huruf Arab. Memproduksi barang larangan memang tak pernah lepas dari intaian -- dari kiri kanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus