Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARILAH kita pisahkan yang melulu enak dari dunia pijat.
Pijat-enak, tidak mengandung arti penyemban sesuatu yang cidera
pada tubuh. Melainkan lebih bersifat melenturkan urat-urat yang
kaku karena kerja keras. Pijat-enak ini bisa menjadi sangat
laris, apalagi kalau dilakukan oleh wanita. Nilainya pun
berubah: sasarannya meningkat menjadi pelipur lara.
Tetapi Imam Suwandi, orang Pekalongan yang berusia 55 tahun,
adalah tukang pijat yang tidak enak. Hampir semua orang yang
pernah dipijatnya menggeliat kesakitan. Jangankan tertidur -
orang bisa menjerit-jerit dibuatnya. Ia sendiri hanya
ketawa-ketawa tidak jarang malahan ngeledek pasiennya. Sepuluh
buah jarinya bagaikan batang besi, satu kelingking saja sudah
bisa bikin orang minta ampun. Kalau lima jarinya menerkam betis,
orang boleh merasa bagaimana rasanya dicomot ular naga. Tapi
perkara manfaat, jangan tanya. Suwandi yang bekas pandu Hisbul
Wathon ini sudah tersohor sampai ke Jakarta--level menteri.
Paru-Paru Basah
Dukun pijat belakangan ini memang banyak tercatat prestasinya,
sehingga sering dipakai untuk ngeledek dunia kedokteran.
Misalnya ada orang yang menurut pemeriksaan harus dioperasi oleh
dukun pijat dibereskan dengan sentuhan saja. Ada juga yang
karena kurang cermat, atau timbul kelainan dalam operasi,
terpaksa harus dioperasi untuk kedua kali. oleh dukun pijat juga
cukup diraba-raba. "Semua penyakit, insya Allah saya dapat
membantu. Kecuali gila," kata Suwandi. "Habis itu bukan bidang
saya." Cepat-cepat ditambahkannya: "Tapi yarig menyembuhkan
penyakit bukan saya, melainkan Allah. Saya cuma ikhtiar."
Rumahnya di batas selatan Kotamadya Pekalongan, terbuka 24 jam.
Setiap tanggal 10, selama 10 hari ia membuka praktek di Jakarta.
Tempatnya tidak tetap. Memang seringkali di rumah Pak Kowara,
besan Pak Harto. Kadangkala di rumah pasiennya yang lain. Mereka
yang bermaksud dipijat harus pesan terlebih dahulu, supaya
waktunya bisa diatur. Suwandi biasanya menggarap setiap pasien
dalam 3 kali pijat. Yang pertama kali palin sakit. Berikutnya
berangsur kurang. Kalau sudah tidak terasa sakit lagi, tandanya
sudah sembuh.
Yang istimewa adalah: sasaran utamanya perut anda. Kenapa perut?
Ini menyangkut soal asal-mula penyakit. Kalau perut sehat maka
seluruh tubuh akan sehat. "Semua penyakit sumbernya di perut.
Itu hadis Nabi," kata dukun ini kepada Churozi Mulyo ari TEMPO.
Kedengarannya berbau agama. Memang, Pijat Suwandi ini pijat
Islam.
Suwandi tidak ada maksud bikin ragu orang kepada dokter. Pegawai
Kantor Pendidikan Agama Kabupaten Pekalongan ini, yang
bersiap-siap untuk pensiun mulanya juga ada di bawah lindungan
dokter. Isterinya bertahun-tahun dirongrong sakit. "Menurut
dokter, paru-parunya basah," kata Suwandi. Untuk mengobati
isterinya, ia terpaksa mempertaruhkan apa saja--termasuk melego
dua buah rumah. "Dan saya terpaksa menyewa ini," katanya
menunjuk rumah yang kini ditempatinya.
Tapi itu belum cukup. Pak Wandi sendiri kemudian ketularan,
padahal ongkos-ongkos sudah buntu. Suwandi tak dapat berbuat
lain dari menyerahkan diri pada Tuhan. Hampir setiap malam ia
banlun untuk sembahyang tahajjud, antara jam 3 sampai subuh.
Kebetulan ia menjadi salah seorang ketua Panitia Pembangunan
Masjid Hikmah di Desa Podosugih. Di halaman bakal masjid itulah
dia sembahyang.
Entah bagaimana, pada suatu malam ia bermimpi berada di tengah
padang pasir. Di sana hanya ada 2 buah rumah. Pada salah satu
rumah berkumpul banyak orang. Mereka berkata: "Ah, kamu tabib
apa. Ini kami punya tabib yang hebat." Seketika itu juga muncul
orang berjubah putih di hadapannya, mengajak salaman. Ketika
ujung tangan hendak bertemu Suwandi merasa tubuhnya seperti
dialiri listrik. Waktu itu ia bangun.
Seperti Radar
Bingung. Lalu teringat hadis Nabi, bahwa perut adalah sumber
penyakit. Ia pun coba-coba memijit perutnya sendiri. "Eee,
tahu-tahu saya sembuh," katanya. Ia meneruskan pijitan itu ke
perut isterinya. Berhasil juga. Bahkan waktu ada familinya sakit
parah, setelah perutnya dipijit, kok sembuh. Sejak itu Suwandi
percaya bahwa tangannya, di samping berfungsi untuk memegang,
juga memiliki potensi untuk mengobati. Dan sasarannya terutama
perut. Perut!
Lewat masa 6 tahun uwandi menjadi bertambah ahli. Apalagi ia
menggarap pasien dengan tangan kosong. Tak pernah didahului
mantra dan jampi-jampi. Juga tak diikuti pemberian resep. "Cukup
dengan pijat," kata Suwandi. Kalau toh memberi obat, paling yang
dikasih sebuah pel kina -- untuk segala macam penyakit.
Dengan didahului bismillah, ia segera dapat membedakan orang
yang sehat dan yang penyakitan. Dengan melihat roman muka dan
memijit perut, nah-ia dapat mengetahui apakah seseorang sakit
jantung, paru-paru, tekanan darah tinggi, kencing gula atau
kencing batu. Tanpa pakai periksa di laboratorium, sebab kan
tidak punya. "Dalam perut kalau saya raba, seperti ada jarum
penunjuk yang bergerak-gerak, seperti radar," katanya
menjelaskan.
Di Pekalongan, pasien Suwandi terdiri dari orang desa dan orang
kampung. Seringkali gratis, karena pasien tak mampu atau masih
kerabat sendiri. Tapi setelah praktek sekian lama, dukun pijat
ini toh berhasil mengumpulkan uang dan membeli sebidang tanah di
desanya, kini sedang dibangun. Tentulah ini disebabkan oleh
rezeki dari kelompok pasien yang lain. Dari buku catatannya
muncul sedetetan nama sarjana, jenderal berbagai angkatan yang
pernah ia rawat. Termasuk Sultan Deli atau Walikota Ujung
Pandang Daeng Patompo.
Di RST Gatot Subroto Jakarta namanya dikenal oleh para dokter.
Ada kalanya muncul pengalaman aneh. Pasien yang sulit diobati
secara medis, dengan seizin dokter jatuh ke tangan Suwandi.
Hanya dengan pijit-pijit bisa ditolong. Para dokter jadi geleng
kepala. Bahkan Menteri Sutami yang jauh-jauh berobat ke luar
negeri akhirnya berhasil lewat tangan Suwandi dengan cara yang
sangat sederhana. Menteri PUTL itu kemudian memberi
kenang-kenangan bertanggal 2 Agustus 1977 yang dengan senang
hati ditunjukkan oleh Suwandi kepada setiap orang yang
berkunjung Suwandi bukan orang ajaib. Sudah banyak kita
kenal--dari daerah Banten misalnya--tukang urut yang lihai.
Mereka bisa menyembuhkan tulang patah, bahkan tulang kaki yang
sudah sedemikian keadaannya akibat kecelakaan. Adapun Suwandi
ini, setelah menunjukkan hasil kerja yang baik, tetap menarik
karena sangat komunikatif. Dengan tubuh kurus, mata lebar, ia
adalah orang yang serius. Tapi manakala ketawanya yang renyah
seperti kerupuk mlinjo pecah, kita segera tahu bahwa ia ramah.
Ia tidak mombuat ilmunya jadi angker.
Satu ketika dari Jakarta balik ke Pekalongan seorang bapak
pernah menawukan naik kapal terbang lewat Semarang. Suwandi
menolak karena sudah cukup senang dengan kereta api. Waktu
disuruh mengambil pakaianya, Suwandi berdalih telah menitipkan
pakaiannya pada seorang famili. Padahal hanya sekedar malu
karena ia hanya membuntal pakaian dalam ransel lusuh. Kemudian
orang dikirim untuk mengambil. Muncul dua buah kopor besar yang
lux. Suwandi menolak: itu bukan miliknya! Tak tahunya itu
hadiah. Dan di dalamnya ia temukan juga ransel tuanya.
Sekarang ia sering dijamu pasiennya di hotel Borobudur atau
Marcopolo. Satu kali jamuan diadakan pula di rumah Pak Kowara,
dengan tata cara tingkat atas. Orang kampung ini jadi
kebingungan. Untung ada Sultan Deli di dekatnya, yang berbaik
hati menasehati apa yang harus dipegang, apa yang harus
dikunyah. Kalau dalam pengobatan ia tidak memakai otak, agaknya
pada kesempatan itulah ia benar-benar harus memeras otaknya.
"Sehingga hidangan yang enak-enak kurang lahap saya makan,"
ujarnya.
Sultan Deli dan Daeng Patompo pernah berebutan mengundangnya
berkunjung ke daerah. Biasanya kedua beliau itu datang ke
Jakarta untuk berobat. Kemudian diadakan undian. Pemenangnya
Sultan Deli. Tapi Suwandi tak bisa berangkat karena waktu itu
masih aktif sebagai pegawai. Mestinya ia bisa mempergunakan
dispensasi atau semacam itu, tapi Suwandi tidak memperlakukan
kepintarannya untuk mendapat hak istimewa, sebab itu memang
tidak baik.
Ia menunggu masa pensiunnya dengan sabar, tidak membiarkan
dirinya menjadi begitu komersiil. Tapi berapa lama hal semacam
ini bisa bertahan, sulit untuk mengatakannya. Mungkin kita
memang harus mengatakan, bahwa tidak semua orang mau menjual
kepintarannya, meskipun ia bisa kaya karena itu.
Pak Harto
Di Jakarta sendiri, ada juga tukang pijat yang pintar tapi tidak
berusaha bikin kaya dirinya. Namanya: Tan Tjin Hoat. Tinggal di
Jalan Lembang, daerah Menteng. Dalam usia 74 tahun, wajah masih
tampak segar. Setiap hari antara 8 sampai 10 orang pasiennya. Ia
memiliki sebuah ruang praktek khusus. Dahulu Tan Yoe Hok pernah
menjadi langganannya. Kini ia melayani Rudy Hartono. Khusus
terhadap Rudy, orang tua ini punya semangat tertentu: ia ingin
sekali jagoan All England itu kembali bertarung.
Sama seperti Suwandi, Tan juga bisa memijat untuk menyembuhkan
segala macam penyakit. Dengan rendah hati ia menjelaskan, bahwa
ia bisa melayani sakit kepala, darah tinggi, sakit pinggang,
bahkan juga impotensi. Jadi bukan hanya kesleo. Memang ia
menaruh perhatian khusus pada olahragawan. "Waktu ada Asian
Games ke-IV di Jakarta banyak pemain Pilipina yang saya
tolong," ceritanya. "Tidak lama kemudian saya diundang ke sana,
tapi waktu itu isteri saya sakit, jadi tidak bisa pergi. Tapi
kemudian pada tahun 1970 saya ke Kanada atas undangan orang
sana."
Di Kanada ia bertemu dengan seorang nyonya yang menderita
migraine, sakit kepala terus-menerus. Tiap hari ia minum
aspirin. "Saya pijat kakinya 2 hari berturut-turut selama
setengah jam. Setelah itu ia tidak sakit kepala lagi."
Tak belajar memijat karena iseng. Waktu ia mulai, usianya masih
21 tahun. Seorang rekannya memperlihatkan buku petunjuk olahraga
track sandow. Pada bagian how to massage -- bagaimana mengurut,
ia ternyata terpesona. Pemuda asal Cilegon ini kemudian mulai
mempelajari ilmu urut selama satu tahun. Tak dirlyana, waktu ia
menjadi pemain bola di perkumpulan sepakbola Tionghwa Surabaya,
ilmu itu amat berguna. Teman-temannya yang terkilir mulai
memanfaatkan Tan. Setelah itu tak terhitung orang yang
disentuhnya. "Banyak deh," kata Tan "dari tukang beca sampai ke
bapak-bapak. Pernah tahun 1965 mengurut Pak Harto, waktu beliau
kesleo di pinggang karena mencoba angkat kopor berat."
Untuk mengurut kesleo yang masih baru, Tan mengurut
paling-paling seperempat jam. Ini diulang di hari-hari
berikutnya. Ia memperbolehkan pasiennya berteriak kesakitan
kalau tidak tahan diurut. Justru kalau ditahan-tahan bisa jadi
penyakit. "Yang susah kalau ada pasien yang mau cepat-cepat
sembuh. Mana bisa, memangnya saya dewa," kata Tan. Sering juga
datang orang yang minta pijat lantaran pegal. Kontan Tan tua
mendamprat mereka. "Paling kesel kalau ada orang yang minta
pijit karena cape kerja. Memangnya saya tukang pijit semacam
itu. Saya suruh saja ke tempat lain!"
Tan adalah ayah Tan Liong How, itu gelandang kiri PSSI yang
tangguh pada zamannya. Untuk mengurut ia pakai modal jari dan
campur vaselin dengan mentol kristal. Jadi sedikit lebih "maju"
secara teknis dari Suwandi. Biayanya tidak tentu. "Nggak pernah
pikiran soal uang, sebab tujuan kita bukan cari uang," kata Tan
yang hidup sendirian sekarang. Ketika didesak, ia akhirnya
mencoba ngomong: "Yah kalau satu orang ambil Rp 500, hitung saja
berapa satu hari. Tapi seringkali saya yang kasih mereka untuk
ongkos pulang. Habis kalau mereka tidak punya uang, bagaimana."
Waktu ditanyakan pendapatnya tentang kebolehan tukang urut tim
olahraga kita pada masa ini, kakek ini menjawab: "Bisa sih bisa,
tapi kalau dibawa ke luar negeri bisanya shopping!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo