Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Enam difabel menggelar pameran fotografi bertajuk Pameran Foto Alat Bantu Adaptif di Annika Linden Centre, Denpasar, Bali, hingga Ahad, 9 Februari 2025.
Pameran foto itu menyampaikan pesan soal salah kaprah pemberian alat bantu bagi difabel.
Peserta pameran termasuk difabel netra yang sebelumnya dibekali pelatihan fotografi.
NYOMAN Bawa mendekatkan matanya ke foto-foto yang terhampar dalam "Pameran Alat Bantu Adaptif" pada Ahad, 2 Februari 2025 di Annika Linden Centre, Denpasar, Bali. Laki-laki dengan disabilitas netra low vision itu tak bisa melihat secara jelas, tapi dia tetap mampu menangkap bentuk-bentuk obyek secara umum. “Saya masih bisa merasakan kehadiran Bapak di hadapan saya, meskipun saya tak bisa mengenali wajah Bapak,” katanya kepada Tempo di sela pembukaan pameran itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nyoman tengah menikmati karya-karya Komang Handayani, rekannya sesama peserta pameran fotografi tersebut. Penglihatan Komang juga terganggu. Mata kirinya tertutupi sejenis tumor sehingga ia tak bisa melihat sama sekali. Sementara mata kanannya mengalami miopia—sulit melihat obyek jauh atau mata minus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto-foto karya Komang diambil dan ditampilkan dengan teknik blur. Dia seolah-olah ingin mengingatkan adanya batas antara orang yang melihat jelas dan mereka yang mengalami masalah penglihatan.
Nyoman Bawa (kanan), seorang disabilitas netra dengan kategori "low vision", menikmati karya Komang Handayani pada Pameran Foto Alat Bantu Adaptif, di Annika Linden Centre, Denpasar, Bali 2 Februari 2025. TEMPO/Rofiqi Hasan
Kehadiran karya Nyoman dan Komang menjadi pesan kuat pameran fotografi ini bahwa ada beragam kondisi disabilitas netra. Mereka memerlukan dukungan peralatan yang adaptif atau disesuaikan dengan kondisi masing-masing.
Pesan lain disampaikan I Wayan Damai, yang tunadaksa karena kakinya terserang polio saat kecil. Dengan kursi roda adaptifnya, dia dapat melakukan berbagai aktivitas, dari menyapu lantai, mencuci pakaian, hingga memperbaiki sepeda motornya.
Dalam pameran ini, Damai menampilkan foto-foto yang ia jepret secara selfie dan menggunakan timer alias pengatur waktu. “Belum semua aktivitas ditampilkan karena jumlahnya dibatasi,” ujarnya. Kesibukan Damai banyak karena ia juga aktif sebagai seniman, pelatih olahraga, serta pengelola asrama yang ditempati para difabel.
Damai pertama kali mendapat kursi roda adaptif saat menjadi pelatih yang mendampingi atlet difabel mengikuti kompetisi di Singapura pada 2015. Di sana dia bertemu dengan kolega dari Amerika Serikat yang mengagumi semangat hidup pria asal Desa Keliki, Ubud, Bali, itu.
Teman tersebut kemudian mengirim kursi roda yang telah disesuaikan dengan ukuran tubuh Damai, khususnya di bagian tangan yang menjadi penggerak utama alat itu. Alat itu memiliki empat roda dengan dua roda kecil di bagian depan yang bisa digunakan untuk berbagai manuver gerakan. “Harganya sekitar Rp 50 juta,” ucapnya.
Peraih medali perak ASEAN Para Games 2017 Kuala Lumpur cabang paracycling itu mengatakan kursi rodanya ini berbeda jauh dengan yang miliknya terdahulu, yang posisi tempat duduknya sangat rendah dan rodanya sulit digerakkan.
Wayan Damai dengan foto-foto karyanya do Pameran Foto Alat Bantu Adaptif, di Annika Linden Centre, Denpasar, Bali 2 Februari 2025. TEMPO/Rofiqi Hasan
Damai berterima kasih kepada pemerintah yang memberikan kursi roda itu kepada dia saat di sekolah luar biasa setingkat sekolah menengah atas. Namun dia berharap, di masa mendatang, para difabel bisa memperoleh peralatan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka sejak masa kanak-kanak.
Pameran foto yang akan digelar hingga Ahad, 9 Februari 2025, ini merupakan bagian dari kampanye agar semua pihak makin menyadari perlunya dukungan yang adaptif atau sesuai dengan kondisi orang dengan disabilitas. Sebelumnya, pada Desember 2024, enam fotografer yang menjadi peserta mengikuti workshop foto bercerita yang diinisiasi fotografer profesional Anggara Mahendra. Foto-fotonya kemudian dikurasi oleh pekerja seni Savitri Sastrawan.
“Karena bersifat jurnalistik, acuan foto yang ditampilkan lebih banyak pada narasi yang hendak disampaikan ke publik,” tutur Savitri.
Dia juga berusaha mengurangi pengulangan visual sehingga tiap fotografer hanya boleh menampilkan lima karya. Setting pameran dibuat lebih inklusif, misalnya dengan menempatkan foto di atas meja, alih-alih digantung di dinding, untuk memudahkan pengguna kursi roda.
Pameran fotografi ini diselenggarakan oleh Gugus Tugas Alat Bantu Adaptif Disabilitas Bali. Kelompok kerja ini dibentuk pada 2021 melalui kerja sama United Cerebral Palsy Roda untuk Kemanusiaan atau UCPRUK, Pusat Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Bali, dan Annika Linden Centre dengan dukungan Inspirasia Foundation.
Program mereka secara garis besar adalah memastikan penyediaan alat bantu dan teknologi adaptif yang berkelanjutan bagi difabel di Provinsi Bali. “Fokus kami terutama untuk membantu mengarahkan kebijakan di tingkat provinsi dan di Kabupaten Badung serta Kota Denpasar,” kata Ketua Gugus Tugas Alat Bantu Adaptif Disabilitas Bali Putu Juliani.
Kelompok kerja ini mewadahi perwakilan dari 16 organisasi difabel di seluruh Bali, baik disabilitas fisik, netra, maupun tuli. Mereka berharap pemenuhan alat bantu bagi difabel tidak hanya berdasarkan pendekatan belas kasihan, tapi juga dianggarkan dan direncanakan secara inklusif. “Praktik baik sudah dilakukan di Yogyakarta yang semua alat bantunya gratis dan didanai oleh pemerintah setempat, tapi direncanakan bersama komunitas,” ucap Juliani.
Dia mengingatkan bahwa dukungan yang tepat bagi difabel akan membantu mewujudkan kemandirian sehingga mereka tidak menjadi beban bagi lingkungan dan negara. Bantuan yang kurang tepat tak hanya menjadikan mereka sebagai liabilitas, tapi juga berisiko membahayakan.
Foto-foto karya Wayan Damai yang menunjukkan aktivitas kesehariannya dengan kursi roda adaptif di Pameran Foto Alat Bantu Adaptif, di Annika Linden Centre, Denpasar, Bali 2 Februari 2025. TEMPO/Rofiqi Hasan
Juliani mengatakan hambatan yang banyak mereka hadapi adalah masalah birokrasi dan penganggaran. Apalagi saat pemerintah menerapkan sistem pengadaan barang dengan sepenuhnya mengacu pada e-katalog. “Banyak alat bantu adaptif yang sulit masuk,” ujarnya.
Dia berharap komunitas difabel dapat dilibatkan dalam perencanaan anggaran sehingga bisa menentukan model bantuan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Menurut Juliani, para pejabat birokrasi di Bali cukup memahami masalah itu, tapi terbentur oleh sejumlah aturan. “Karena itulah kami menyampaikan masukan berupa draf yang dapat ditetapkan sebagai peraturan daerah yang mengatur masalah ini.”
Mengenai pameran foto tersebut, Juliani dan kawan-kawan ingin menyentuh publik dengan cara yang berbeda. Mereka hendak mengajak masyarakat banyak berempati pada perasaan dan harapan para difabel dalam melakoni kehidupan sehari-hari. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo