Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pembakar Mayat, Bukan Malaikat

Petugas pembakaran mayat yang sehari-harinya bergelut dengan mayat pada awalnya merasa risih. banyak jenis bangsa, terutama yang beragama budha yang memanfaatkannya.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUMPUKAN kayu api sekitar 6 m3 telah menutupi peti jenazah. Lalu 20 liter minyak tanah ditaburkan. Sebentar kemudian lidah api mulai melalap sekujur mayat yang hendak dijadikan abu itu. Sementara di antara kepulan asap hio, terdengar tangisan bagaikan lautan duka. Itulah yang selalu dihadapi Dharmawan Suryana, kepala pembakar mayat di Yayasan Krematorium Daya Besar - di pantai Cilincing, Jakarta. "Ah, saya sendiri juga sedih kalau yang meninggal itu lelaki muda," tuturnya. Karena ia iba melihat anak-anak yang ditinggalkan almarhum. Dharmawan (45 tahun) sudah bekerja 10 tahun sebagai pembakar mayat. Ia memang keturunan pembakar mayat-turunan dari bapaknya. Pos yang dihuninya sekarang adalah tempat kerjanya yang ketiga -- sebelumnya ia bertugas di Muarakarang Jakarta dan Cisalak (Bogor). Salah seorang anak buah Dharmawan bernama Kijang. Kalau sedang bertugas membakar mayat Kijang selalu memakai baju dan celana berwarna kuning muda dengan sepatu laras karet yang tinggi. Dengan sebuah galah sepanjang 3 meter yang berujung garpu besi ia mengatur kegarangan api. Setelah mayat jadi abu Kijang (60 tahun) mengambil 5 buah piring aluminium untuk menampung abu jenazah -masing-masing untuk: kedua kaki, tubuh, kepala serta tangan. Nantinya abu tersebut dimasukkan ke dalam kantung kain berwarna merah -- urut dari abu kaki ke atas. Beberapa hari kemudian abu itu ditaburkan di laut. Tapi ada juga yang disemayamkan di rumah keluarga setelah dimasukkan ke dalam guci tembikar. Kijang sering menyaksikan perebutan abu oleh keluarga yang mati, terutama kalau almarhum punya istri muda. "Tapi biasanya keluarga istri muda yang mengalah," katanya. Kijang membakar mayat sejak 1977. Sebelumnya ia adalah pensiunan penjaga kuburan muslimin di Tanjngpriok. Ia sendiri beragama Islam. Gaji yang diterimanya sebagai pembakar mayat sebesar Rp 75 ribu tiap bulan. Untuk itu ia harus menaati peraturan yang ketat: tidak boleh terima amplop dari keluarga almarhum. Namun ia berhak menikmati buah-buahan sisa samseng (sembahyang untuk orang yang sudah tiada). "Paling kesal kalau ada tetangga yang bertanya apa pekerjaan saya," kata Kijang. Siang hari kalau para pembakar mayat keluar dari kompleks pembakaran yang luasnya sekitar 5 ha itu, mereka selalu diejek oleh anak-anak muda di sekitarnya. "Awas minggir, minggir, malaekat mau lewat!" ejek anak-anak itu, "mau marah nggak bisa, yah terima saja." Tempat pembakaran mayat Cilincing merupakan bangunan tembok ukuran 5 x 4 meter, beratap seng asbes. Ada 8 buah bangunan yang nampaknya sudah lusuh. Dinding luarnya bercat kuning dengan tepi bergaris merah. Tungku pembakaran dikurung oleh pintu dari plat besi. Kalau tengah malam pintu itu berbunyi keras, seperti diguncangkan, pertanda esoknya seluruh tungku akan kerja keras. "Memang aneh, padahal tidak ada angin yang bertiup atau orang yang memukul pintu itu," kata salah seorang pembakar. Ini memang merupakan bagian dari cerita serem dalam pe kerjaan itu. Contoh lain pembakar mayat di Cilincing.yang bernama Basarrudin pada suatu malam Jumat Kliwon didatangi seorang wanita berpakaian putih-putih. Rambutnya tergulung rapi diikat pita hitam. Ia tersedu dan berkata: "Pak, tolong antarkan saya." Basarrudin sempat mencium bau harum. Hatinya cukup tenang untuk mempersilakan tamu itu duduk sejenak. "Nona siapa dan tinggal di mana? " tanya Basaruddin. Sambil tunduk tamu itu menjawab: "Tidak tahu." Basarrudin kemudian membangunkan istrinya, khawatir kalau timbul salah paham. Tapi karena malam dingin istrinya terus tidur. Akhirnya ia menyalakan lampu patromak. Waktu ia kembali, tamunya sudah lenyap. Ia kaget dan penasaran. Paling Jorok Esoknya ketika teman-temannya mendengar cerita itu, semuanya mengatakan Basarrudin sudah ketamuan setan. Tapi kebetulan di muka tungku ada lelaki muda berusia 35 tahun, sedang menunggu abu jenazah istrinya. Begitu mendengar cerita Basarrudin, ia langsung menangis tersendat-sendat. "Itu roh istri saya," ujarnya. Istrinya meninggal bunuh diri -- mungkin karena kesal tak punya anak. Baru saat itu meremang bulu kuduk Basarrudin. Lain waktu Basarrudin mendapat pengalaman aneh lagi. Masih pukul 8 malam waktu itu -- ia tak ingat persis kapan. Tapi saat itu ia sedang asyik membetulkan tumpukan kayu bakar yang akan digunakan esok harinya. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki yang diseret-seret. Waktu berbalik bulu kuduknya berdiri dan kakinya lemes. "Wah serem Oom, ada orang keluar dari ruang pembakaran mayat tanpa kepala," katanya kepada TEMPO sambil membelalakkan mata. Di tempat pembakaran mayat tidak hanya ada cerita serem. Para pembakar mayat juga sering kesal karena ulah para pengantar jenazah yang meninggalkan banyak kotoran. "Paling jorok orang Cina, buang sampah sembarangan," kata Kijang sambil menunjuk tong sampah yang sebenarnya sudah disediakan. Berbagai jenis bangsa sudah pernah dibakar di tempat pembakaran Cilincing. Cina, Indonesia, Jepang, Korea, Eropa dan Amerika. Umumnya dari kalangan yang beragama Budha. Hari Selasa dan Sabtu biasanya kosong -- menurut kepercayaan orang Cina membakar mayat pada hari-hari itu tidak baik buat keluarga yang ditinggalkan. Menurut seorang petugas "dalam satu bulan pernah 70 mayat dibakar di Cilincing." Tapi juga kerap terjadi dalam sebulan tak sampai 10 mayat. Ongkos pembakaran, tergantung dari jenis peti yang dipakai. Tarif termurah Rp 24 ribu. Untuk peti yang terbuat dari jati tebal bisa mencapai Rp 285 ribu. Herannya menurut keterangan para pembakar, orang Cina lebih suka dibakar dengan kayu ketimbang dengan listrik yang menyemburkan api. "Padahal dengan cara ini paling mahal Rp 61 ribu," kata seorang pembakar. Untuk bisa dibakar, diperlukan surat-surat lengkap dari Dinas Pemakaman Pemerintah DKI Jakarta -- seperti syarat penguburan umumnya. Kenapa? "Yah, kalau yang meninggal tersebut korban kejahatan, bisa-bisa kita yang berabe," jawab seorang petugas. Mereka harus teliti. "Pokoknya kita baru mulai membakar kalau sudah ada perintah dari kantor," ungkapnya. Lama pembakaran biasanya 8 jam. "Tapi untuk anak-anak bisa-bisa sampai 10 jam," kata pembakar yang bernama Didi. Ia tak menjelaskan mengapa anak-anak lebih lama. Menurut pengalamannya paling cepat membereskan mayat orang yang meninggal karena kecelakaan. "Abunya pun putih bersih. Sedangkan abu orang yang telah lama sakit-sakitan agak kekuning-kuningan," katanya dengan suara tenang. "Sekarang ini sedang sepi orang mati," kata Darmawi (40 tahun) seorang petugas di pembakaran mayat di Jelambar, Jakarta Barat. Ia telah bekerja di yayasan Krematorium Jelambar selama 20 tahun. Pada 1977 Jelambar memonopoli segala kegiatan pembakaran mayat di Jakarta -- sebab pembakaran mayat Muarakarang waktu itu ditutup. "Selama 24 jam kita membakar nonstop. Tapi sejak pembakaran di Cilincing didirikan jumlah yang dibakar merosot sampai separuh. Bayangkan, selama 10 hari ini baru 7 jenazah yang masuk," keluhnya dengan suara datar. Darmawi tadinya tukang buah di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Ia merasa kerja membakar mayat lebih enak. "Habis bulan terima gaji, nggak perlu modal, " ujarnya. Gajinya sekarang Rp 25 ribu, plus tip dari keluarga almarhum -- total bisa sampai Rp 50 ribu sebulan. Ia tidak pernah mengalami kejadian yang aneh-aneh. Mungkin karena itu ia betah kerja. Istrinya bekerja sebagai penjual kue. Digusur Mulyadi pembakar mayat yang telah 20 tahun bekerja di Yayasan Eka Praya di Surabaya, juga mengaku tidak pernah mengalami hal yang luar biasa. Ia hanya kadang-kadang merasa tidak enak. Pekerjaan sebagai pembakar mayat ditemukannya setelah bingung karena pensiun sebagai pegawai BPM (sekarang Pertamina), ketika ia masih berusia 50 tahun. Untuk menghidupi 8 orang anaknya, akhirnya tugas membakar itu diterimanya. "Ketimbang harus mencari nafkah dengan cara tidak halal," ujarnya. Mula-mula Mulyadi (70 tahun) disuruh membakar tulang-tulang sapi. Kemudian baru tulang manusia yang digali dari kuburan. Setelah itu baru mayat. "Aduh, badan ini rasanya munek-munek,"ujar orang tua kelahiran Ploso, Jombang itu menceritakan pengalaman kerjanya di saat-saat permulaan. Bathinnya sempat tersiksa, karena tak tahu pasti itu dibenarkan atau tidak oleh agama Islam yang dianutnya. Akhirnya teman-temannya mendorong dan menganjurkan agar ia menganggap sebagai sekedar cari upah. "Memang saya kan hanya menyalakan api," kilah Mulyadi. Lama-lama ia terbiasa juga. Kalau yang dibakar orang yang bunuh diri atau tabrakan, Mulyadi selalu menyiapkan mentalnya. Sebab dapat dipastikan kompor yang dipakainya akan mati tiba-tiba. Atau nyalanya melempem. "Mungkin dosanya banyak," kata orang tua itu. Yang celaka adalah kalau kompor macet sedangkan mayat belum habis terbakar. Udara dan bau di ruangan akan segera membetot kesehatan. "Barangkali karena itulah baru-baru ini saya terserang sakit paru-paru," keluhnya. Anak-anaknya menganjurkan supaya ia berhenti kerja. Tapi waktu mengajukan permintaan supaya dapat uang pensiun, perusahaan pembakaran mayat hanya bisa memberi pesangon Rp 200 ribu. "Setelah pikir-pikir, saya teruskan bekerja saja selama masih kuat," kata orang tua itu. Diributkan Pendeta Dharam Singh (60 tahun), di kompleks Sikh Temple, Medan, tak pernah merasa aneh atau takut selama membakar mayat. Ia menganggap itu kerja rutin, sebagaimana membaca buku suci Guru Grant Sahib di setiap rumah orang kemalangan. "Saya tak pernah mimpi apa-apa sehabis membakar mayat," ujarnya sambil mengelus janggutnya yang panjang dan putih. Di lingkungan kuil ini tak ada petugas pembakar mayat khusus. Terkadang dilaksanakan oleh keluarga si mati. "Kalau mereka tak ada yang bersedia, sayalah yang membakarnya," ujar Dharam. Sebagai pendeta ia dapat honor tetap Rp 50 ribu sebulan. Membaca Buku Suci di tempat almalhum yang tebalnya 1400 halaman, ia dapat Rp 3000 biasanya selama 10 hari. Tapi sebagai pembakar, tidak ada honor. "Saya tidak pernah berpikir jadi orang kaya. Lepas makan saja sudah cukup," kata pendeta kelahiran Punyab, India itu. Yang bikin risau pendeta ini sekarang adalah tempat pembakarannya yang sering diributkan, dengan alasan pengembangan kota. Tahun 1967, Walikota Medan menggusur tempat pembakaran karena protes penduduk setempat, tanpa ganti rugi yang jelas sampai sekarang. Tempat pembakaran dipindahkan ke lembah di pinggir kota yang tak berpenghuni. Tapi sekarang, rumah dan gedung-gedung bermunculan dl sekitar tempat pembakaran baru itu. Protes pun mulai gencar lagi.Tempat itu juga terpaksa kami pindahkan. Tapi ke mana, belum tahu," kata sang pendeta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus