Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Psikolog Sebut Tipe Orang yang Suka Panic Buying

Banyak orang belanja berlebihan di luar nalar atau panic buying kala PPKM Darurat. Psikolog menjelaskan tipe seperti apa orang-orang itu.

6 Juli 2021 | 15.16 WIB

Ilustrasi wanita belanja bahan makanan di tengah pandemi. Freepik.com/Aleksandarlittlewolf
Perbesar
Ilustrasi wanita belanja bahan makanan di tengah pandemi. Freepik.com/Aleksandarlittlewolf

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat di Jawa dan Bali, 3-20 Juli 2021, untuk menekan kasus baru Covid-19 justru menyebabkan panic buying atau orang berbelanja secara berlebihan. Psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia Mega Tala Harimukthi menyebut orang dengan kecenderungan mudah cemas sehingga terbiasa mengambil keputusan secara emosional punya kemungkinan melakukan pembelian yang impulsif atau panic buying.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Ketika seseorang terbiasa mengambil keputusan secara emosional, akhirnya otak emosional dia bekerja sangat cepat sehingga tidak punya pertimbangan matang, sangat impulsif, saat melihat orang lain (baik itu foto maupun video) belanja barang tertentu yang banyak dia mulai panik," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanpa sadar, pikiran emosional yang mengambil keputusan sehingga dia bersikap impulsif membeli barang-barang yang menurutnya dibutuhkan. Kegagalan orang berdamai dengan kondisi tak pasti juga bisa menyebabkan kecemasan dan berujung panic buying.

Pada keadaan cemas, orang akan lebih mudah menyerap hal-hal yang sifatnya negatif. Awalnya dia sangat takut mengalami hal negatif. Tetapi karena berpikir irasional, akhirnya malah mengikuti hal negatif.

Orang itu sudah merasa frustasi, semakin merasakan ketidakpastian di masa depan, sehingga ambang stresnya menjadi lebih rendah. Dia juga tidak lagi toleran dengan sekitarnya dan tak jarang mengalami gangguan kecemasan. Akibatnya, dia bisa sangat mengkhawatirkan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu terlalu dipikirkan.

Pada mereka yang mudah cemas, ada kecenderungan mengalami kecemasan yang sifatnya antisipatif. Dia berusaha preventif agar tidak mengalami hal buruk dan berusaha mengendalikan situasi agar sesuai dengan ekspektasi.

Sisi buruknya untuk orang lain, panic buying bisa menular. Pada kondisi seseorang yang sangat takut, kemudian melihat orang baik itu secara langsung ataupun melalui media foto dan video melakukan hal tertentu, dia bisa sangat emosional mempersepsikan hal tersebut, lalu ikut takut. Akhirnya, karena otaknya lebih mengutamakan sisi emosional dibanding logis dan dia membeli banyak barang yang bisa saja bukan kebutuhan utamanya.

Orang memborong susu steril sehingga produknya menjadi langka dan dibanderol dengan harga lebih mahal dari biasa, kelangkaan tabung oksigen, dan vitamin-vitamin untuk meningkatkan imunitas tubuh menjadi contoh nyata.

"Orang yang panik begini irasional, tidak masuk akal. Tetapi semakin dia menunjukkan aksi panic buying itu, membuat orang di sekitarnya jadi ikut terbawa merasakan kepanikan itu," kata Tala.

Di sisi lain, kondisi mentalitas kelompok atau lingkungan juga bisa menjadi penyebab orang panic buying. Orang bisa menafsirkan sebuah kondisi berbahaya, menakutkan, mengkhawatirkan, penuh ketidakpastian, dari reaksi orang di sekeliling.

"Otomatis dia jadi ikut seperti orang yang dia lihat," ujar Tala.

Informasi yang beredar di media, termasuk media sosial, mempengaruhi terjadinya panic buying. Tala menganalisis beredar video susu bergambar beruang diborong orang, salah satunya karena informasi susu itu bisa menyembuhkan COVID-19. Orang yang dalam kondisi cemas kemudian melihat informasi tersebut secara otomatis terpengaruh sehingga bersikap impulsif.

"Dorongan impulsif ini pada dasarnya karena dorongan emosional yang membuat dia ikut membeli atau memborong susu ini, padahal sebelumnya dia bahkan enggak suka. Media sosial ini sangat besar pengaruhnya karena kita bisa mengakses banyak informasi di situ, mau yang valid atau tidak," ujar Tala.

Sementara, pada kasus tabung oksigen yang langka, Tala mencontohkan adanya informasi yang menganjurkan orang menyediakan tabung oksigen portabel di rumah, mendorong orang membeli produk itu.

"Di satu sisi bagus untuk preventif. Tetapi di sisi lain, sekarang jadi habis. Kalaupun ada barang, harganya sudah enggak masuk akal. Sama hal seperti gelombang pertama, disinfektan, masker, dan hand sanitizer menjadi barang langka. Sekalinya ada harganya tidak masuk akal," tuturnya.

Agar hal serupa ini tak terjadi lagi, Tala menyarankan orang yang cenderung mudah cemas melakukan diet media sosial untuk menjaga kewarasan mental sekaligus fisik. Saat seseorang terbiasa cemas, panik, maka ini bisa menganggu fisik, mulai dari kualitas tidur, pikiran jadi lebih rumit, interaksi dengan orang lain lebih buruk, dan suasana hati memburuk.

"Coba diet media sosial karena pengaruhnya besar sekalli. Apalagi sekarang tidak hanya media sosial, kita melihat televisi saja isinya berita hal sama," tutur Tala.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus