Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila gelembung-gelembung yang merupakan jaringan plasenta dan sel-selnya itu belum berkembang menembus dinding rahim, kehamilan anggur bisa diselesaikan dengan kuretasi. Pasien pun bisa sembuh total. Namun, bila mola sudah tumbuh, melekat, dan menembus dinding rahim, sementara pasien tidak segera menjalani kuretasi, mola bisa berkembang menjadi mola invasif. Jenis mola seperti ini, bila tak segera ditangani, bisa berkembang menjadi tumor ganas. Hal itu dibuktikan Dr. Nurhalim Shahib, peneliti senior dan staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, yang tengah melakukan penelitian kerja sama Unpad-Universitas Kyushu, Jepang, untuk menelusuri asal usul tumor ganas pada rahim. Nursalim berangkat ke Jepang dengan membawa 10 sampel tumor (neoplasma trofoblas), yang antara lain terdiri atas kanker plasenta (choriocarcinoma) dan mola invasif. Yang disebut trofoblas sendiri adalah sel-sel yang berasal dari kehamilan yang dalam keadaan normal berkembang menjadi plasenta.
Hasil penelitian awal Nursalim mengejutkan. Ternyata, dua di antara sampel tumor yang dibawa Nursalim dibuahi oleh dua sel sperma. Ini temuan yang jarang didapat dalam dunia medis. Tak mengherankan bila penelitian Nursalim, yang dituangkan dalam karya tulis berjudul Genetic Origin of Trophoblastic Neoplasm, oleh Jepang dinyatakan sebagai karya terbaik di antara 1.200 karya lain yang datang dari berbagai negara.
Kehamilan anggur, Nursalim menjelaskan, terjadi bila pertemuan sel telur dan sel sperma tidak diikuti dengan proses mitosis (pembelahan sel) yang sempurna. Mitosis memerlukan enzim, protein, dan mineral untuk membentuk energi seluler. Bila proses ini terganggu karena enzim yang tidak lengkap, terjadi kehamilan tak normal. Dalam kasus mola, fetus atau bakal janin tidak bisa berkembang normal, sementara jaringan plasenta terus berkembang membentuk gelembung-gelembung berisi air. Calon janin pada kehamilan seperti ini ternyata hanya memiliki 23 kromosom yang semuanya berasal dari ayah. Padahal, normalnya, kromosom harus berasal dari ayah dan ibu, masing-masing 23 kromosom.
Kehamilan tak normal seperti itulah yang kemungkinan berkembang menjadi mola invasif dan—bila terlambat dideteksi dan tak segera ditangani—bisa menjadi kanker rahim. Menurut Prof. Dr. Djamhoer Marta Adisoebrata, spesialis kandungan dan kebidanan dari Fakultas Kedokteran Unpad, setidaknya 50 persen kasus mola invasif bisa berkembang menjadi kanker rahim. Malah, di Rumah Sakit Hasan Sadikin, kata dokter yang sudah menangani kasus mola sejak 1963 itu, 85 persen mola invasif berkembang menjadi kanker kandungan.
Karena mola punya potensi berkembang menjadi kanker, kehamilan anggur memang harus dideteksi sejak dini melalui kontrol ke dokter secara intensif. Memang tidak mudah mengenali kehamilan anggur yang memunculkan gejala-gejala yang persis seperti kehamilan normal. Namun, sebetulnya ada beberapa gejala kehamilan anggur yang bisa dikenali orang awam, seperti perdarahan pada usia kehamilan 1-2 bulan atau perut kelewat besar sehingga tampak tidak sesuai dengan usia kehamillan. Toh, tak semua kehamilan anggur berkembang menjadi kasus kanker rahim. Menurut Dr. Sumanadi, ahli kanker kandungan di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, dari 250 orang pasien kanker kandungan yang tahun lalu datang ke bagian genekologi RS Dharmais, tak ada satu pun yang disebabkan oleh kehamilan anggur. ”Dalam kurun waktu terakhir, angka kehamilan anggur sudah jarang,” katanya.
Ini berbeda dengan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Di rumah sakit pemerintah ini, setiap tahun terjadi 400 kasus kanker kandungan, dan 8-10 persen di antaranya disebabkan oleh kehamilan anggur. Kanker kandungan sendiri—bersama kanker payudara—adalah jenis kanker pada wanita yang paling banyak penderitanya. Menurut Dr. Farid Aziz, ahli kanker kandungan dari RSCM, angka penderita kanker rahim yang disebabkan oleh trofoblas memang tak terlalu besar. ”Trofoblas merupakan penyebab kanker kandungan di luar 10 besar penyebab kanker kandungan,” kata Farid.
Tapi mungkin saja itu tidak berlaku sama di semua tempat—sama halnya dengan angka kejadian kehamilan anggur di negara maju yang lebih jarang daripada di Indonesia. Di Amerika Serikat, perbandingan antara kasus mola dan kelahiran hidup adalah 1 : 1.500. Bandingkan dengan di Malang, pada 1998, yang angka perbandingannya 1: 400 (artinya, pada setiap 400 kelahiran hidup, satu di antaranya adalah kehamilan anggur). Di RS Hasan Sadikin, Bandung, setiap tahun malah terjadi 60-100 kasus mola dari 300 kelahiran. Bandingkan pula dengan di rumah-rumah sakit tipe C seperti di Cibabat, Subang, atau Majalaya—semuanya di Jawa Barat—yang insiden molanya begitu tinggi, masing-masing 1 : 46, 1 : 34, dan 1 : 28.
Bervariasinya insiden mola—rendah di negara yang tingkat kesejahteraannya tinggi dan sebaliknya pada masyarakat yang kondisi gizinya masih rendah—memperkuat pendapat bahwa kehamilan anggur dipengaruhi oleh tingkat gizi masyarakat. Namun, penyebab mola sendiri sebenarnya hingga sekarang belum diketahui persis. ”Meskipun mola sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, memang banyak pakar kesehatan ataupun akademisi yang masih penasaran,” kata Djamhoer.
Di Indonesia, tidak banyak penelitian yang bisa menjawab rasa penasaran itu. Penelitian mendasar di tingkat biomolekuler, yang dapat menguak rahasia mola, seperti dilakukan Nursalim pun masih dalam taraf permulaan. Itu sebabnya pekan ini Nursalim akan pergi ke Jepang lagi untuk melanjutkan penelitian yang masih harus melalui jalan yang panjang itu.
Gabriel Sugrahetty, Agus Hidayat (Jakarta), Upik Supriyatun (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo