Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI antara pedagang kaki lima yang menyia-nyiakan fasilitas
mendiami pasar Inpres di Blok VI Proyek Senen, terdapat Bujang.
Kawan berusia 26 tahun asal Sumatera Barat ini, lebih suka
kembali ke pinggir jalan dan menerima predikat sebagai pedagang
liar. Padahal sebenarnya ia sudah kenyang melata di kaki lima.
"Saya suka pusing kejar-kearan dengan petugas terus," ujarnya
kepada Widi Yarmanto dari TEMPO.
Dengan kotak kayu ukuran 70 x 100 x 20 Cm Bujang menjual
obat-obatan, masih di bilangan kakilima Senen. Ia memiliki
kardus-kardus obat kosong yang disejajarkan dengan rapi untuk
memikat pembeli. Beberapa kapsul seperti tetracyclin atau
hemaviton terselip di tali kotak. Modalnya hanya Rp 3.000. Kalau
ada pembeli menanyakan obat, setelah harga didamaikan, Bujang
akan berlari ke pasar inpres Blok VI mencari obat yang
dimaksudkan dari grosirnya. "Kami cuma modal dengkul," ujarnya.
Macan
Pagi hari Bujang mengambil obat dari pemiliknya dengan taruhan
kepercayaan. Malam hari ia setor kembali. Kalau hari baik ia
bisa mendapat untung bersih sampai Rp 1.500. Seperti ia katakan
"dagang begini kadang dapat nyamuk, kadang dapat macan." Untuk
itu risikonya cukup besar. Selama setahun jadi pedagang obat
liar, sudah 2 kali ia tertangkap. Tapi sampai sekarang tidak
juga jera. Beberapa kali ada aksi pembersihan, ia lari tunggang
langgang tak semat membawa kabur dagangannya. Kalu begini
biasanya bisa ditebus. Tapi Bujang lebih suka membiarkan saja.
Habis harganya cuma Rp 2000: tebusannya Rp 5.000. Bujang tidak
pernah menyesal. "Kita hadapi apa yang terjadi," ujarnya dengan
tenang.
Bujang sekarang tampak lebih tua dari usianya. Ia ingin mencari
sumber hidup yang lebih baik, tapi belum ketemu jalan. Waktu
kecil ia pernah bermimpi jadi wartawan. Tapi waktu kecil di
Sumatera ia terlalu cepat kenal uang padahal dasar untuk itu tak
ada. Sekolahnya hanya sampai SD. Waktu itu di luar pengetahuan
orang tuanya 3 hari dalam seminggu ia berjualan krupuk di pasar.
Drang tuanya tak bisa mengontrol karena sekolahnya berjarak 1
Km dari rumah. Maka setelah tamat SD, minatnya sudah hilang
untuk mengejar kepintaran. Ia pun merantau ke Palembang sebagai
pekerja kapal.
Perjalanan hidup Bujang dilanjutkan sebagai jurumudi di kapal
Musi Jaya yang berukuran 90 ton. Di atas kapal itu semua orang
berdagang. Nakhoda pun terlibat. Kapal yang berdaya angkut 100
ton dijejali muatan seberat 120 ton. Waktu Bujang melaporkan hal
ini, nakhoda menghardik, "Kau tahu apa!" Sebagai bawahan Bujang
hanya bisa panas melihat permainan orang-orang atasannya.
Permainan ini kemudian dihajar oleh nasib di Selat Karimata. Di
sana nasi menjadi bubur, kapal yang bermuatan gandum, semen,
plat besi serta juga mobil, masuk ke dasar laut.
Bersama empat belas orang lainnya Bujang menggapai sekoci, drum
dan papan. Bujang mengikat dirinya di papan. 36 jam ia
terkatung-katung dalam busa air Selat Karimata. "Tak ada harapan
saat itu, tak ada rasa takut, nasib kami serahkan kepada Tuhan,"
kata Bujang mengenang. Syukurlah kemudian ada kapal Jepang
menyelamatkan mereka dan membawanya ke Singapura. Bujang dan
kawan-kawannya diserahkan kepada KBRI setempat.
Bujang kerja lagi di kapal tanker dan cargo. Tapi kemudian nafsu
dagangnya kambuh lagi. Pada tahun 1972 ia membelanjakan semua
uangnya di Singapura membeli barang-barang kosmetik. Ada
harapannya untuk menjual kembali barang itu di Jakarta dengan
untung besar. Tapi lacur, di bea cukai Tanjung Priok langkahnya
tersandung. Seluruh modalnya disita. Bujang menggigit jari.
Tanpa berusaha menebus barannya, ia kabur meninggalkan kapal.
Dari kapal, Bujang beralih jadi tukang cuci motor di pinggir
jalan By Pass Priok Jakarta. Kemudian mulai berdagang alat-alat
listrik dan kain. Bangkrut lagi. Untung ada tetangga yang
menampung. Dan sekarang ia hidup di kaki lima. Pukul 7 pagi
sudah harus buka. Tengah hari pukul 11 ia sembahyang di mesjid
Senen, sekalian tidur. Sekitar pukul 3-4 sore, ia bangun untuk
sholat Ashar. Selebihnya jualan lagi hingga pukul 12 atau jam
satu malam.
"Saya sedang mencari jalan keluar, masak mau jadi pedagang kaki
lima sampai tua," katanya. Di tangannya ada seratus perak. Itu
sudah cukup untuk sarapan. Kalau ada untung, dua bulan sekali ia
mengirim Rp 5 ribu kepada orang tuanya. Tapi ia sendiri belum
berniat pulang. "Orang merantau pulang nggak bawa apa-apa bikin
malu, gengsi!" ujarnya dengan mantap. Ia terus mencari jalan
keluar. Dan jalan itu dirasanya tak akan ditemukan lewat pasar
inpres.
Gajah
Buyung, 41 tahun, pedagang kakilima yang lain asal Padang juga,
persis seperti Bujang. Ia juga tidak melihat ada jalan keluar di
pasar inpres. "Memang saya terlambat daftar, tapi taroklah saya
dapat tempat di pasar inpres," katanya, "dengan modal cuma Rp 10
ribu percuma, bagaimana bisa?" Seperti Bujang, Buyung memberi
alasan: pasar inpres yang sepi tidak mungkin mendapat rezeki
seperti diharapkan. "Di sana cuma nyamuk, tidak ada gajahnya.
Tiga bulan di sana modal saya bisa habis nggak karuan, pak,"
tutur Buyung.
Buyung tak bermaksud untuk berjuang sampai mati sebagai
pedagang kaki lima. Ia berminat juga masuk ke pasar inpres, asal
pasar itu sudah ramai. Terutama karena ia harus menanggung
isteri, ibu dan dua orang anak yang sudah bersekolah di SD.
Untuk sementara ia hanya memusatkan perhatian pada mencari
rezeki, sambil menahan rasa malu atas sindiran orang kenapa ia
hanya jadi pedagang kaki lima. "Lho, kau sekarang sudah jadi
sampah ya!" kata salah seorang kawannya pada suatu kali. Buyung
hanya menjawab: "Sampahpun di DKI ada harganya."
Buyung jadi keras kepala. "Siang malam di kaki lima ini tak akan
mundur, "ujarnya. Kalau ada petugas ketertiban, ia segera kabur.
"Tapi begitu ia pergi, saya datang lagi," katanya dengan tenang.
Itu sebabnya disamping mengawasi pembeli ia membagi
perhatiannya untuk mengawasi keamanan. Ini memang melelahkan.
"Leher saya kaku," kata Buyung, "lucu juga rasanya. Ini barang
saya sendiri, tapi kalau lagi dikejar-kejar rasanya betul-betul
kayak maling." Buyung bersama keluarga tinggal di Pulogadung,
dalam sebuah kamar 4 x 5 m yang dikontrak Rp 5 ribu sebulan.
Kamar itu dibagi dengan tirai-tirai. Pukul 8 pagi ia mulai
jualan sampai tengah hari. Sore hari pukul 4 ia mulai ronde
kedua sampai pukul 10 malam. Ia tak pernah berdaang sampai jauh
malam, takut siangnya disergap kantuk. "Kalau ngantuk, tahu-tahu
ada pembersihan kita bisa digaruk, ya lebih baik tidur di
rumah," kata Buyung.
Isteri Buyung tidak pernah ikut ke kaki lima. Ini ada alasannya:
"Barang cuma sebungkus plastik kenapa mesti ditunggu berdua.
Lagi pula kalau ada pembersihan, bisa-bisa bikin isteri saya
sakit jantung," kata Buyung. Ia sadar bahwa penderitaan di kaki
lima tidak perlu ditambah dengan merusakkan kebahagiaan isteri.
Dengan muka yang hitam akibat sengatan matahari, Buyung mengaku
tidak suka mengeluh. "Di dunia kita ini pasti nggak akan ada
kelaparan. Semut di lobang batu pun bisa makan, apalagi
manusia!" ujarnya. Tentang perubahan nasib, memang sudah ia
fikirkan. Tapi ia tetap tidak melihatnya di pasar inpres. Ia
merasa mungkin ada di Ternate atau mungkin sekali di Timor
Timur. "Kalau saya sudah punya modal seratus ribu, kalau saya
dapat modal, ya selamat tinggal kaki lima ! " katanya dengan
mata berbinar-binar.
Arif Fadilah, 48 tahun, mendahului mimpi Buyung. Ia telah
mengucapkan selamat tinggal pada kakilima, tapi tidak pergi ke
Ternate. Ia cukup puas dengan pasar inpres di blok VI Senen. Dia
mewakili pensiunan kaki lima yang berjuang menegakkan rezeki
dalam kesepian pasar inpres. Berteman arloji-arloji yang harus
direparasinya, ayah dari 9 anak ini mendiami kapling 2,1 x 1,50
m di pasar itu. Barangkali ia mendapatkan imbas dari profesinya,
yakni memperbaiki jam rusak -- sekaligus untuk memperbaiki
keadaan yang sepi itu jadi berdetak dalam kesibukan.
Arif juga datang dari Padang. Perekonomian yang suram di Padang
pada tahun 1961 melentingkannya ke Ibukota. Karena ia sudah
mengenal jam sejak usia 10 tahun, turun temurun dari kakeknya,
maka iapun menghadapi Jakarta dengan darah seorang tukang jam.
"Kerja begini tak ada kemajuan. Kalau sakit tak ada yang
menggantikan, sedang kalau dagang biasa jika sakit masih bisa
diganti," kata Arif. Namun demikian ia toh tetap memperbaiki
jam. Tak tahu apa yang sebenarnya menarik dari sebuah jam.
Barangkali alamlah yang menghendakinya memperbaiki jam penduduk
Jakarta.
Waktu masih melata di kakilima Arif mangkal di Kramat Bunder.
Begitu sering ia main kucing-kucingan dengan para petugas,
selalu berakhir dengan selamat. Pendapatannya tak tentu. Satu
hari bisa nol. Tapi Tuhan lebih besar dari segala kesulitan:
uang kemarennya masih sisa. Ini memang ilmu hidup orang kecil.
Untung saja Arif tetap berfikir sederhana. "Pemerintah sudah
menyediakan tempat yang baik," katanya menunjuk pasar inpres,
"ya kita tempati. Saya sendiri bingung kalau ada yang tidak mau
menempati. Bukankah panas dan hujan bukan gangguan lagi, kita
bisa buka terus! "
Arif tidak sempat mengatakan bahwa berbeda dengan Buyung dan
Bujang, ia tidak ngotot mencari pembeli. Para langgananlah yang
mencarinya, berhubung namanya sudah lumayan. Ini barangkli
sebagian dari hikmah yang menjadi milik kelas tukang jam, baik
dia di kaki lima atau di pasar inpres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo