Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGANSIAPIAPI rupanya tidak hanya tercatat sebagai daerah yang
memiliki sejumlah besar pengidap kecanduan narkotik, tetapi juga
terkenal sebagai tempat berkecambahnya beberapa penyakit lain.
Seperti kaki-gajah, yang menurut catatan Pembantu Tetap TEMPO di
Tanjung Pinang, "mempunyai prosentase yang cukup tinggi". Namun
dari semua penderita yang paling mengesankan untuk dijenguk
adalah para penderita kusta.
Perawatan penderita kusta di kota yang terletak di pesisir
Sumatera bagian tengah itu sebenarnya sudah dimulai sejak zaman
Belanda. Mereka ditampung dalam sebuah penampungan yang
dipencilkan sekitar 2 km dari kota penghasil ikan itu. Pusat
penampungan tersebut terdiri dari 2 barak panjang masing-masing
20 x 8 meter, untuk pria dan wanita. Di penampungan yang
terlindung pepohonan dan semak belukar itu tinggallah 15
penderita wanita dan 14 pria. Usia mereka rata-rata sudah
lanjut, kecuali seorang wanita yang baru berumur 15. "Dulu
jumlah kami di sini lebih banyak dari sekarang", ujar seorang
penderita. Mereka yang hilang itu menurut ceritanya ada yang
pulang karena sudah sembuh. Ada yang meninggal. Ada pula yang
kabur karena tak tahan hidup dalam penampungan yang rupanya
dirasakan asing dan berat. Sebenarnya jumlah penderita kusta di
penampungan ini bukanlah gambaran jumlah penderita untuk
Bagansiapiapi. Diperhitungkan sekitar 100 orang kustawan masih
tinggal di rumah mereka masing-masing. Mungkin mereka juga
merasa bahwa penyakit itu memang tak baik dibiarkan menggerogoti
tubuhnya perlahan-lahan. Tapi mereka kurang sudi untuk maju ke
penampungan. Soalnya sanak-keluarga ada yang tak setuju kalau di
antara familinya ada yang hidup bagai terbuang begitu. Selain
alasan ini, ada juga yang enggan mendapatkan pengobatan ke sana,
karena ini akan berarti mereka harus membanting-tulang untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Memasak Candu?
Mengapa mereka harus membiayai hidupnya sendiri, padahal
penampungan ini berada di bawah pengawasan Rumah Sakit Umum
Bagansiapiapi? Menurut para penderita mereka memang dapat
bantuan dari ibu-semang yang bernama rumahsakit, "tapi jumlahnya
tak mencukupi". Per bulan bantuan itu berupa 10 kg beras, 4 ons
gula, 3 ons kopi dan tentu saja pengobatan yang berjumlah 2 kali
seminggu. Selain itu masih mengalir pula sumbangan dari Gereja
Katolik sebanyak 3 kg beras, 1 kg gula, minyak dan kecap serta
sekedar perawatan. Rupanya di samping makanan mereka masih juga
membutuhkan sesuatu. Dan untuk itulah mereka terpaksa "lembur".
Ada yang menanam sayur-sayuran dan ada pula yang mengurusi kebun
kelapa milik para pastur. Yang paling mereka keluh-kesahkan
sebenarnya bukanlah kurangnya bantuan, tetapi masalah bangunan
tempat penampungan itu yang sudah waktunya untuk diperbaiki.
Terutama pada bangsal untuk pria yang hampir ambruk. Dan yang
paling penting adalah kurangnya obat-obatan.
Menurut para penderita, obat-obatan dulunya datang dari fihak
gereja. Bahkan mereka sendiri tahu persis ada obat-obatan yang
sering datang dari Italia dalam bentuk bantuan. Tapi sejak
penampungan itu berada di bawah pengawasan rumahsakit, maka
segala bala bantuan tadi harus melalui rumahsakit tadi. Sejak
itu bantuan dana tak pernah kedengaran lagi. Orang-orang gereja
sekarang datang ke sana bukan lagi membawa obat dan memberikan
perawatan sebagaimana dulu, tapi hanya untuk memimpin upacara
sembahyang. Hubungan dengan mereka tetap ketat. Kalau ada
penderita yang kumat, mereka sering minta tolong kepada para
zuster. Dan ini bukan berarti mereka tak menghormat para
pejabat/rumahsakit, soalnya orang-orang gereja itu memang sudah
kenalan lama.
Bantuan yang masih saja terasa kurang dan hidup di penampungan
yang terpencil serta jarang dilongok para pejabat kesehatan, di
daerah yang suka digambarkan sebagai pusat candu, bisa tumbuh
kecurigaan kalau-kalau daerah ini digunakan sebagai tempat
memasak candu. Lagi pula penderita yang 29 orang itu semuanya
kebetulan orang Tionghoa. Para penderita perlu uang, memasak
candu mungkin jadi pekerjaan yang menggiurkan dalam keadaan
seperti itu. Orang-orang yang berwajib di Bagansiapiapi sudah
punya prasangka begini, meskipun mereka "belum bisa
membuktikannya". Dalam keadaan di mana melongok pun jarang,
pekerjaan untuk membuktikan adanya kejahatan di situ tetu jadi
semakin mustahil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo