Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sudah kusta dicurigai lagi

Penampungan penderita penyakit kusta di bagan si api-api, semua orang tionghoa. bangunan sudah rapuh, jaminan dan obat-obatan kurang. penghuni harus bekerja dan dicurigai sebagai pemasak candu. (ksh)

9 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGANSIAPIAPI rupanya tidak hanya tercatat sebagai daerah yang memiliki sejumlah besar pengidap kecanduan narkotik, tetapi juga terkenal sebagai tempat berkecambahnya beberapa penyakit lain. Seperti kaki-gajah, yang menurut catatan Pembantu Tetap TEMPO di Tanjung Pinang, "mempunyai prosentase yang cukup tinggi". Namun dari semua penderita yang paling mengesankan untuk dijenguk adalah para penderita kusta. Perawatan penderita kusta di kota yang terletak di pesisir Sumatera bagian tengah itu sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Belanda. Mereka ditampung dalam sebuah penampungan yang dipencilkan sekitar 2 km dari kota penghasil ikan itu. Pusat penampungan tersebut terdiri dari 2 barak panjang masing-masing 20 x 8 meter, untuk pria dan wanita. Di penampungan yang terlindung pepohonan dan semak belukar itu tinggallah 15 penderita wanita dan 14 pria. Usia mereka rata-rata sudah lanjut, kecuali seorang wanita yang baru berumur 15. "Dulu jumlah kami di sini lebih banyak dari sekarang", ujar seorang penderita. Mereka yang hilang itu menurut ceritanya ada yang pulang karena sudah sembuh. Ada yang meninggal. Ada pula yang kabur karena tak tahan hidup dalam penampungan yang rupanya dirasakan asing dan berat. Sebenarnya jumlah penderita kusta di penampungan ini bukanlah gambaran jumlah penderita untuk Bagansiapiapi. Diperhitungkan sekitar 100 orang kustawan masih tinggal di rumah mereka masing-masing. Mungkin mereka juga merasa bahwa penyakit itu memang tak baik dibiarkan menggerogoti tubuhnya perlahan-lahan. Tapi mereka kurang sudi untuk maju ke penampungan. Soalnya sanak-keluarga ada yang tak setuju kalau di antara familinya ada yang hidup bagai terbuang begitu. Selain alasan ini, ada juga yang enggan mendapatkan pengobatan ke sana, karena ini akan berarti mereka harus membanting-tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Memasak Candu? Mengapa mereka harus membiayai hidupnya sendiri, padahal penampungan ini berada di bawah pengawasan Rumah Sakit Umum Bagansiapiapi? Menurut para penderita mereka memang dapat bantuan dari ibu-semang yang bernama rumahsakit, "tapi jumlahnya tak mencukupi". Per bulan bantuan itu berupa 10 kg beras, 4 ons gula, 3 ons kopi dan tentu saja pengobatan yang berjumlah 2 kali seminggu. Selain itu masih mengalir pula sumbangan dari Gereja Katolik sebanyak 3 kg beras, 1 kg gula, minyak dan kecap serta sekedar perawatan. Rupanya di samping makanan mereka masih juga membutuhkan sesuatu. Dan untuk itulah mereka terpaksa "lembur". Ada yang menanam sayur-sayuran dan ada pula yang mengurusi kebun kelapa milik para pastur. Yang paling mereka keluh-kesahkan sebenarnya bukanlah kurangnya bantuan, tetapi masalah bangunan tempat penampungan itu yang sudah waktunya untuk diperbaiki. Terutama pada bangsal untuk pria yang hampir ambruk. Dan yang paling penting adalah kurangnya obat-obatan. Menurut para penderita, obat-obatan dulunya datang dari fihak gereja. Bahkan mereka sendiri tahu persis ada obat-obatan yang sering datang dari Italia dalam bentuk bantuan. Tapi sejak penampungan itu berada di bawah pengawasan rumahsakit, maka segala bala bantuan tadi harus melalui rumahsakit tadi. Sejak itu bantuan dana tak pernah kedengaran lagi. Orang-orang gereja sekarang datang ke sana bukan lagi membawa obat dan memberikan perawatan sebagaimana dulu, tapi hanya untuk memimpin upacara sembahyang. Hubungan dengan mereka tetap ketat. Kalau ada penderita yang kumat, mereka sering minta tolong kepada para zuster. Dan ini bukan berarti mereka tak menghormat para pejabat/rumahsakit, soalnya orang-orang gereja itu memang sudah kenalan lama. Bantuan yang masih saja terasa kurang dan hidup di penampungan yang terpencil serta jarang dilongok para pejabat kesehatan, di daerah yang suka digambarkan sebagai pusat candu, bisa tumbuh kecurigaan kalau-kalau daerah ini digunakan sebagai tempat memasak candu. Lagi pula penderita yang 29 orang itu semuanya kebetulan orang Tionghoa. Para penderita perlu uang, memasak candu mungkin jadi pekerjaan yang menggiurkan dalam keadaan seperti itu. Orang-orang yang berwajib di Bagansiapiapi sudah punya prasangka begini, meskipun mereka "belum bisa membuktikannya". Dalam keadaan di mana melongok pun jarang, pekerjaan untuk membuktikan adanya kejahatan di situ tetu jadi semakin mustahil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus