Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia saat ini menjalani pesta demokrasi. Semakin dekat waktu pemilihan presiden, semakin intensif pula kampanye antara Calon Presiden Joko Widodo dan saingannya Prabowo. Ada berbagai macam cara kampanye kedua belah pihak. Selama masa kampanye itu, semakin banyak pula terlihat ketegangan antar pengikut dan pendukung keduanya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Tidak jarang orang mengalami perpecahan dalam menghadapi situasi kampanye yang semakin panas ini. Managing Director Indika Foundation, Ayu Kartika Dewi, berbagi dua tips dalam menjaga perdamaian dengan menyebarkan semangat toleransi kepada masyarakat dan juga anak-anak.
Baca: Kisah Toleransi dari Kota Kediri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Salah satu program utama Indika Foundation adalah menyebarkan semangat toleransi. Masyarakat diharapkan sadar bahwa ragam perbedaan adalah kekayaan yang menyatukan, bukan memisahkan. Oleh karena itu, penting sekali menghormati dan menghargai tanpa diskriminasi Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA). "Kami bekerja sama dengan berbagai komunitas dalam menyebarkan semangat persatuan dari begitu banyak perbedaan di Indonesia ini," kata Ayu dalam acara Kolaborasi Pendidikan antara Hijup dan Semua Murid Semua Guru dalam gerakan #KirimBudi di Jakarta 30 November 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Cara pertama mengajarkan toleransi, kata Ayu, adalah dengan bertemu berbagai macam orang dengan berbeda latar belakang. Latar belakang ini meliputi latar belakang suku, agama, budaya, strata sosial, cara berpakaian, hingga perbedaan pendapat. "Kita sering diberitahu suku X orangnya jahat-jahat, orang dengan agama Y sukanya kasar. Padahal belum tentu rumor itu semuanya benar," katanya.Managing Director Indika Foundation, Ayu Kartika Dewi. Tempo/Mitra Tarigan
Ia sering menemukan orang-orang yang baru tersadar bahwa fakta suku itu, atau agama ini, tidak sesuai dengan yang didengarnya. "Dengan kita bertemu orang yang berbeda, kita akan mengurangi prasangka buruk terhadap kelompok atau orang itu," katanya.
Tips kedua yang juga berkaitan dengan tips pertama, adalah tentang pentingnya seseorang nyaman dengan perbedaan. Untuk para guru, bisa saja mereka mengajarkan murid-muridnya menerima berbagai perbedaan yang ada di lingkungannya. "Tidak usah langsung bicarakan agama atau hal yang serius, bisa saja dimulai dari hal yang sederhana," katanya.
Salah satu yang dicontohkan Ayu adalah membahas tentang perbedaan antara 'penganut' cara makan bubur. Ada orang yang makan bubur dengan cara tidak diaduk sama sekali, ada pula yang memakannya dengan diaduk terlebih dahulu hingga merata. Perbedaan pendapat cara makan bubur ini sering menjadi pembahasan utama para pecinta bubur. Sering pula kedua kelompok itu mempertahankan argumen dalam menikmati bubur dengan cara terbaiknya masing-masing. "Walau jarang ada kata sepakat, perbincangan cara makan bubur itu pasti dibahas dengan tertawa antar kedua kubu. Harapannya, pembahasan perbedaan kubu politik juga bisa dilakukan sesantai membahas cara makan bubur," kata Ayu.
Baca: Bertemu Pelajar, Ini Pesan Jokowi dan Turnbull tentang Toleransi
Dengan menerima perbedaan latar belakang, Ayu berharap, hilang pula urusan persekusi dengan alasan itu. Pada tahun politik, sering sekali kita melihat ada orang yang putus hubungan pertemanan karena berbeda kubu pendukung calon presiden. Ada pula yang sampai keluar dari grup chat di aplikasi telepon karena merasa tidak dalam satu pendapat dengan mayoritas anggota grup. "Hanya karena kamu beda cara makan bubur dengan saya kan tetap tidak perlu ada kata 'Kamu aneh banget sih cara makan bubur' atau 'kamu saya keluarkan dari grup Whats App ya karena cara makan buburnya berbeda'. Harusnya saat membahas perbedaan politik juga tidak ada persekusi itu," kata Ayu.