Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Spirit doll atau boneka arwah akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di media sosial. Spirit doll menjadi tren di jagat hiburan lantaran diadopsi oleh beberapa selebriti seperti Ivan Gunawan dan lain-lain. Mereka menjadikan boneka arwah sebagai makhluk hidup, bahkan tidak segan merawat layaknya seorang bayi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Psikolog Universitas Airlangga (Unair), Nurul Hartini, menyebut bahwa tindakan mengadopsi spirit doll telah mengarah pada perilaku yang tidak wajar. Jika ketidakwajaran itu tidak segera dihentikan, berisiko pada keadaan psikopatologi–ketidakstabilan fungsi kejiwaan, meliputi indera, kognisi, dan emosi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ketika seseorang menganggap boneka tersebut hidup dan percaya bahwa mereka akan bertumbuh besar, maka hal itu telah keluar dari batas akal sehat. Perilaku tersebut menjadi keanehan tersendiri yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya bisa jadi ingin mencari sensasi belaka,” kata Hartini seperti dikutip dari unair.ac.id, Kamis, 6 Januari 2022.
Terlepas dari anggapan sebagian orang bahwa mengadopsi boneka arwah bermanfaat untuk strategi pemulihan mental, menurut Hartini, boneka sejatinya hanyalah benda mati. Ia mengungkapkan bahwa boneka-boneka itu hanya menjadi perangkat yang tidak memiliki hal-hal khusus, kecuali hanya pengaruh dari perlakuan sang pemilik.
Ketika seseorang memperlakukan boneka secara spesial, kata dia, sebagai orang terdekatnya seyogianya memiliki kewajiban untuk membantu. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah mencari tahu alasannya terlebih dahulu, yakni seputar penyebab mereka untuk bertindak demikian. “Selagi mampu menjawab secara rasional, ya tidak apa-apa,” ujarnya.
Namun, ketika ketidakwajaran semakin terlihat jelas, yaitu benar-benar menganggap boneka tersebut hidup, maka penanganannya berbeda. Dapat dilakukan dengan memberikan nasihat secara secara baik-baik. Jika tidak ada perubahan, dapat membantu mengarahkannya ke psikolog atau psikiater.
“Kuncinya adalah rasional, realistis, dan proporsional. Selama tiga hal itu terpenuhi, maka kita senantiasa objektif dalam memikirkan, merasakan, dan melakukan segala hal,” kata dosen yang juga anggota Ikatan Psikologi Klinis Indonesia tersebut.
HARIS SETYAWAN