Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hiburan

Agama Jangan Dipakai untuk Menekan Perempuan

Di beberapa daerah dan negara, masih ada yang menggunakan alasan agama untuk memasuk kemerdekaan perempuan.

14 September 2018 | 08.36 WIB

ilustrasi perempuan teraniaya (pixabay.com)
Perbesar
ilustrasi perempuan teraniaya (pixabay.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Acapkali agama selalu dijadikan pembenaran untuk memasung kemerdekaan diri seorang perempuan. Kisah ini mungkin salah satu contohnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Namanya Fareeba. Usianya 25 tahun. Sangat cantik, terutama di hari pernikahannya. dia didandani dengan baju pengantin warna merah menyala menutupi tubuhnya. Tangan dan kakinya dipenuhi oleh sejumlah perhiasan emas. Tak lupa juga hena yang terlukis. Musik dimainkan dan pesta dinyalakan. Semua orang bergembira, kecuali Fareeba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu dia menikah, tapi tak ada pengantin pria yang mendampinginya. Hari itu, Fareeba menikahi Al-Quran. Ia akan ditahbiskan sebagai perempuan suci seperti Maryam (ibu Isa) yang tidak pernah menikah dengan pria. Ia akan tetap suci selama-lamanya, menghabiskan sisa hidupnya untuk mempelajari dan menghapal Al-Quran sampai mati.

Sebagaimana dituturkan oleh sepupunya, Zubaida ali kepada Pakistan Press International (PPI), pernikahan di Sindh ini nyata. Hal ini dikenal sebagai Haq Bakshish, menyerahkan hak pernikahan kepada Al-Quran. Ia juga, sejak hari itu, harus memakai chadaar (cadar) hitam.

Sepintas lalu, apa yang terjadi di sebuah desa di Pakistan itu sebagai sebuah perayaan keagamaan. Tapi, sesungguhnya ini sama sekali bukan dari Islam. Sejumlah ulama mengecamnya, pemerintah Pakistan juga sudah melarangnya. Tapi, toh diperkirakan ada 10 ribu wanita seperti Fareeba di Pakistan. Tak ada sanksi yang benar-benar kuat untuk mencegahnya.

Hal ini biasanya dilakukan oleh keluarga-keluarga kaya dengan tanah ratusan hektar. Mereka tidak ingin hartanya diambil oleh menantu yang menikahi putri mereka. Biasanya, ini dilakukan saat tidak ada anak lelaki. Pernikahan akan membuat sang menantu menguasai harta mereka. Agar itu tidak terjadi, maka agamapun “diperkosa” agar tunduk pada kemauan dan nafsu mereka. Nafsu akan harta benda.

Ada banyak adat istiadat yang mengatasnamakan Islam yang digunakan untuk menekan perempuan dengan berbagai dalih di Pakistan, Afghanistan, India, atau negara-negara sekitar. Termasuk di antarnya adalah larangan bagi anak-anak perempuan untuk sekolah, karena mereka menganggap perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa mahram (atau muhrim, meski istilah ini salah).

Hal itu tidak hanya terjadi di Pakistan. Saat ini di Indonesia sudah mulai ada suami-suami yang mengunci istri mereka dalam rumah saat mereka keluar. Alasannya kurang lebih sama, agar tidak ada fitnah. Tidak banyak, tentu, tapi sejumlah orang yang saya kenal sudah mulai melakukannya.

Ada sejumlah aturan yang merugikan perempuan ditegakkan karena pandangan chauvinisme yang berlebihan. Curiga pada perempuan, semua keburukan disebabkan oleh perempuan. Bahkan, dalam banyak kasus pemerkosaan, perempuan yang menjadi korban malah disalahkan.

Pandangan seperti ini, tentu saja, harus segera dikikis. Pria dan wanita punya tanggung jawab yang sama pada masyarakat. Kita tidak bisa menumpahkan semua keburukan pada perempuan. Namun, yang pertama kali harus dikikis adalah cara pandang dan pikir kita.

Kita tentu tak ingin apa yang terjadi di luar negeri terjadi juga di negeri ini.

 

Tulisan ini sudah tayang di Almuslim.co

 

Qaris Tajudin

Wartawan Tempo. Sarjana hadis dari Universitas Al Azhar Kairo.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus