Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

City Tour Mataram, Menyambangi Situs Bersejarah dan Toleransi

Mataram ibu kota Lombok, di masa lalu merupakan wilayah yang dikuasai para raja Bali. Peninggalan mereka berupa taman dan simbol toleransi beragama.

30 November 2019 | 22.48 WIB

Bale Kambang, semacam pendopo, yang terletak di tengah kolam besar di Taman Narmada. TEMPO/Supriyantho Khafid
Perbesar
Bale Kambang, semacam pendopo, yang terletak di tengah kolam besar di Taman Narmada. TEMPO/Supriyantho Khafid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Mataram - Kota Mataram menawarkan paket city tour untuk mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah di Pasar Besar Kebon Roek di Ampemam atau pasar Mandlika di Bertais, juga ke Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB), Kota Tua Ampenan, Islamic Center NTB, Taman Mayura, Pura Miru, Taman Lingsar dan Taman Narmada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Destinasi tersebut merupakan peninggalan sejarah keemasan Kerajaan Mataram dari Karangasem, Bali. Sekaligus simbol toleransi pada masa tersebut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

City tour di Mataram dimulai dari Museum Negeri NTB yang memiliki koleksi 7.695 benda. "Ya jika melakukan kunjungan ke lokasi bersejarah haruslah ke museum dulu sebagai tempat warisan budaya," kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha Museum Negeri NTB, Bunyamin kepada TEMPO, Sabtu 30 November 2019.

City tour yang berlangsung pada 27 - 30 November 2019 tersebut, ditujukan untuk 30 siswa SMA/SMK/Madrasah Aliyah dan 10 orang guru dari 10 kota dan kabupaten se-NTB. Mereka mengikuti program Lawatan Sejarah Daerah yang diselenggarakan oleh Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTB.

Menurut Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB Fairuzzabadi, city tour ini merupakan bentuk baru dalam mempelajari sejarah, agar menarik dan tidak membosankan. ''Membangkitkan dan penanaman nilai-nilai sejarah bagi generasi muda untuk menumbuhkan kesadaran sejarah mempekokoh persatuan dan kesatan bangsa,'' kata Fairuzabadi.

Perahu nelayan yang biasa digunakan nelayan di Lombok, bahkan di seluruh Nusa Tenggara Barat. Dok. Museum Negeri NTB

Menurut Ketua Panitia Lawatan Sejarah Daerah Baiq Ellyse Iswandari, city tour tersebut bertema “Internalisasi Nilai-Nilai Budaya Toleransi Dalam Pembelajaran Sejarah” bertujuan menggugah kesadaran generasi penerus, mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan untuk kemajuan bangsa di masa mendatang berdasarkan refleksi sejarah di masa lampau.

City tour ini juga dilengkapi dengan pengetahuan sejarah dari tiga etnis Sasak, Samawa, Mbojo oleh narasumber budayawan dan akademisi. Dengan didampingi sejarawan dan budayawan, peserta diajak berkeliling Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat, mengunjungi lokasi bersejarah seperti Pantai Ampenan, Islamic Center, Masjid Nurul Falah Cakranegara, Pura Meru - pura terbesar di Lombok, Taman Mayura, Taman Lingsar dan Taman Narmada.

Setelah dari Museum Negeri NTB itu, mereka kemudian berkunjung ke kota lama yang disebut sebagai Kota Toea Ampenan. Kota itu, sebelum Mataram menjadi ibu kota NTB, merupakan kota pelabuhan dan perdagangan. Bunyamin menjelaskan di pelabuhan itu bertempat etnik Melayu, Banjar, Arab, Cina, dan Bugis.

Ampenan juga rumah bagi gereja dan klenteng Po Hwa Kong sebagai klenteng tertua di NTB. "Ini bagian dari toleransi yang bukan hanya masalah agama tetapi juga etnis," ujar Bunyamin.

Sebelum kota Mataram jadi ibu kota dan pusat perdagangan di Nusa Tenggara Barat, Ampenan merupakan bandar dan pusat perdagangan di Pulau Lombok. TEMPO/Supriyantho Khafid

Destinasi selanjutnya adalah Taman Lingsar yang merupakan tinggal pertama komunitas Bali dari Karang Asem sewaktu ke Lombok sekitar abad 17. Di dalamnya terdapat Pura Gaduh. Simbol tolerasi di Taman Lingsar ditandai dengan adanya Kemaliq dari Islam Wetu Telu yang berdekatan dengan pura. "Jadi berdampingan, toleransi dalam beribadah," ucapnya.

Dari Taman Lingsar, rombongan menuju Narmada, yang merupakan salah satu bangunan termegah dan terluas, petilasan Kerajaan Bali di Lombok. Taman itu dibangun pada saat masa keemasan kerajaan Bali di Lombok sebelum 1839.

Taman Narmada menurut Van der Kraan sejarawan Belanda yang menulis sejarah Lombok menyebut, Narmada dibangun ketika masa keemasan Kerajaan Mataram dari Karangasem. Sebelum menjadi taman, Narmada adalah hutan yang dihuni ular. Untuk memusnahkan ular-ular itu, didatangkan merak dari Mayura sebagai predator.

Lombok yang memikat para agresor dari Bali, diakhiri dengan pembangunan Pura Meru yang dibangun pada 1744. Pura tersebut menjadi simbol persatuan Kerajaan Mataram, Kerajaan Pagesangan, Kerajaan Pagutan dan Kerajaan Sengkongok. Selain jadi pemersatu kerajaan-kerajaan dari Bali yang berebut pengaruh di Lombok, di sebelah barat Pura Meru tersebut dibangun masjid sebagai simbol toleransi.

Rombongan siswa itu juga dibawa ke Taman Mayura yang juga disebut sebagai Taman Kelepuk. Kata Kelepuk diambil dari dua kisah atau pendapat: bunyi letusan senjata puk, puk, puk dan suara air, pak puk pak puk dari dalam tanah sewaktu taman tersebut dibangun.

Pura Meru yang dibangun pada 1744 menjadi simbol persatuan Kerajaan Mataram, Kerajaan Pagesangan, Kerajaan Pagutan dan Kerajaan Sengkongok. TEMPO/Supriyantho Khafid

Sementara nama Mayura diambil dari nama burung merak. Dalam bahasa Sansekerta, mayura adalah burung merak. Di Taman Mayura itu terdapat Bale Kambang -- sebuah pendopo -- di tengah kolam besar. Di sisi timur, selatan dan barat masing-masing terdapat dua patung haji di antara Pelinggih - untuk peribadatan umat Hindu. Keberadaan enam patung haji tersebut merupakan bentuk toleransi.

Haji merupakan penyempurna rukun Islam, nah, patung haji itu merupakan bentuk toleransi masyarakat Lombok kala itu.

SUPRIYANTHO KHAFID

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus