Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Fenomena perubahaan iklim yang terjadi saat ini diprediksi akan berpengaruh pada berbagai hal, seperti meningkatnya bencana hidrometeorologi dan ancaman terhadap ketahanan pangan atau food estate. Berbagai daerah mulai menyikapi fenomena perubahan iklim itu belakangan ini, salah satunya Yogyakarta dengan kearifan lokal untuk mewujudkan ketahanan pangan bernama Lumbung Mataraman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Yogyakarta selain sebagai daerah wisata, juga telah mengembangkan kebijakan Lumbung Mataraman untuk ketahanan pangan di masa mendatang akibat perubahan iklim," kata pakar yang juga Direktur Pengabdian Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Rustamaji Senin, 27 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Lumbung Mataraman secara sederhana merupakan upaya mengedukasi warga agar memanfaatkan pekarangannya untuk budidaya dan diversifikasi konsumsi pangan.
Kebijakan Lumbung Mataraman, yang sudah dibuatkan festival tahunannya itu, kata Rustamaji, menyasar pemanfaatan tanah berkarakter khusus agar bisa menghasilkan berbagai komoditas pangan berkelanjutan.
Pola ketahanan pangan lokal Lumbung Mataraman di Yogyakarta sendiri diprediksi sudah berlangsung beratus tahun silam atau sekitar abad ke-17 atau masa pemerintahan Sultan Agung tahun 1613-1645.
Penataan area persawahan kala itu telah dikombinasikan dengan budidaya ternak yang disebut konsep Crop Livestock System atau CLS.
Konsep ini mendorong sistem pertanian berpijak pada pengembangan komoditas lokal, seperti pala kesampar, pala baruwah, pala gumanthung, dan pala kependhem. Termasuk komoditas padi, dengan melakukan rekayasa dalam intensifikasi tanaman padi.
"Yang menjadi tantangan sekarang menyiapkan sumber daya manusianya untuk mengolah dan menghidupkan tanah-tanah itu agar optimal sebagai bagian Lumbung Mataraman," kata Rustamaji.
Hingga saat ini tercatat sudah ada 51 lebih titik lokasi yang dijaga menjadi Lumbung Mataraman yang tersebar di empat kabupaten/kota di DIY.
Mengacu filosofi "nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur" atau "menanam apa yang bisa dimakan, makan apa yang ditanam", Lumbung Mataraman diandalkan jadi kearifan lokal Yogyakarta menghadapi berbagai fenomena perubahan iklim ke depan.
Dalam forum bertajuk Menuju Indonesia Emas yang Berkeadilan, Bermartabat, Berkedaulatan dan Berketahanan Iklim di University Club UGM Yogyakarta pekan lalu, 24 November 2023, pakar lingkungan yang juga Direktur Lembaga Sustainitiate Nazir Foead menyoroti perubahan iklim.
"Perubahan iklim bisa membawa ancaman serius ketahanan pangan di Indonesia, hal ini diperparah dengan menurunnya tutupan hutan hingga 50 persen dalam 60 tahun terakhir," kata dia.
Di sisi lain, penambahan jumlah penduduk Indonesia meningkat tiga kali lipat dalam kurun waktu yang sama. Kondisi ini menuntut pemerintah dan semua unsur masyarakat untuk melakukan langkah antisipasi sejak dini.
Nazir mengatakan ketahanan pangan yang dicoba digaungkan selama ini masih mendapati kegagalan karena tidak melibatkan petani lokal. Meskipun dalam skala besar membutuhkan kemitraan dari dunia usaha, pelibatan petani tetap perlu dilakukan. Apalagi terdapat banyak lahan terlantar yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian melalui prorgam tanah objek reforma agraria (Tora).
"Para petani hanya membutuhkan tanah untuk dikelola, itu bisa menambah kekuatan ketahanan pangan," ungkapnya.
PRIBADI WICAKSONO
Pilihan Editor: Diguyur Hujan, Gunung Merapi Luncurkan Dua Kali Awan Panas