Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Menginap di Rumah Kuno Berarsitektur Persia di Lasem

Lasem telah ada jauh sebelum Semarang menjadi bandar utama di utara Jawa. Kota ini memiliki gedung-gedung tua, salah satunya berarsitektur Persia.

23 September 2019 | 13.52 WIB

Rumah Ijo salah satu rumah berarsitektur Persia di Lasem. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Perbesar
Rumah Ijo salah satu rumah berarsitektur Persia di Lasem. TEMPO/Francisca Christy Rosana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Rembang - Pulau Jawa menjadi destinasi persilangan budaya sejak abad pertengahan. Namun pengaruh budaya Persia sayup-sayup terdengar di kalangan travlerTapi, di pesisir utara Jawa, terdapat peninggalan sejarah, rumah tua yang dipengaruhi arsitektur Persia.

Lasem bisa jadi yang paling beruntung. Kota kecil di pesisir utara Pulau Jawa itu sarat bangunan berarsitektur kuno. Bangunan-bangunan tua itu seperti tak menggerakkan waktu, bila wisatawan bertandang ke Lasem. Poros pesonanya adalah rumah-rumah masa lampau yang konon berdiri sejak masa VOC berjaya. 
 
Siang hari pada 10 September lalu, saya memulai perjalanan ke Lasem bersama dua kawan dari Jakarta. Misi kami menyambangi Lasem seragam: menepi dari peradaban Jakarta yang belakangan makin bising.
 
Bus ekonomi tanpa AC dengan tiket seharga Rp 22 ribu pun membawa kami melaju menuju Lasem dari kota Semarang. Selama 3 jam, kami disuguhi pemandangan khas Pantura. Ada tambak-tambak garam, langit memerah, dan matahari yang mulai rendah. Kadang-kadang, pemandangan di balik kaca berganti dengan hamparan pesisir yang pasirnya tampak tak terlampau putih. Di mulut pesisir itu, kapal-kapal cadik bersandar. Sekali waktu, kapal-kapal tersebut terlihat bergoyang santai tersenggol ombak. 
 
 Rumah Ijo menjadi penginapan yang murah bagi wisatawan yang bertandang ke Lasem. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Dari dalam bus, kami juga turut bergoyang. Lagu dangdut koplo gubahan Cak Sodiq yang diputar sopir sepanjang 3 jam dengan volume maksimal, membuat jempol tangan kami tergerak mengikuti irama. 
 
Sesekali, pandangan kami teralih kepada pengamen yang naik-turun bus sembari menimang kencrung. Keringat deras membanjir di wajah mereka yang hitam terkena asap. “Selamat sore, Bapak Ibu, mohon maaf menggaggu perjalanan. Ketimbang mencuri, kami lebih baik mengamen,” ucap pengamen sebelum berdendang. 
 
Tak lama kemudian, jari dengan kuku-kuku yang cokelat itu terlihat lincah mencabik senar kencrung. Bersama suara yang sumbang, mereka menyanyi dua-tiga lagu. “Hidup di Pantura katanya keras,” kata Silvi, berbisik. Maka, ketika para pengamen menyodorkan kantong uang, kami bergantian memasukkan duit receh. 
 
“Lemah teles, Gusti Allah sing mbales,” kata para pengamen setelah mengantongi recehan. 
 
Mengancik sore, bus jurusan Surabaya yang kami tumpangi menghentikan lajunya tepat di perempatan Kota Lasem. “Yok, Masjid Lasem, Mbak-mbak yang mau ke Lasem, turun di sini Mbak,” kata kondektur bus. Suaranya lantang, mengagetkan kami yang sedang enak-enaknya menikmati dendangan ‘Bahtera Cinta’ dari balik tape. 
Suasana Omah Ijo, bangunan kuno berarsitektur Persia di Lasem, Jawa Tengah. Bangunan ini telah dipoles dengan nuansa khas Jawa. TEMPO/Francisca Christy Rosana
 
Bersama langit yang memerah, Lasem menyambut dengan sahaja. Kami langsung menyusuri Jalan Jatigoro, jalan utama atau jalan satu-satunya menuju kawasan heritage Lasem. Tujuan pertama kami adalah mencari penginapan. 
 
Berdasarkan riset sebelumnya, tak banyak penginapan di Lasem. Kami setidaknya hanya menemukan tiga penginapan: Rumah Oei, Rumah Merah, dan Omah Ijo. Kami memilih yang terakhir. Alasannya tak lain karena murah dan lokasinya strategis di tengah Kota Lasem. 
 
Omah Ijo adalah rumah berarsitektur Persia yang disulap menjadi tempat singgah. Lokasinya tepat di perempatan jalan, 300 meter dari masjid besar Kota Lasem. Ketimbang bangunan lain, Omah Ijo terlihat paling beda. Bangunan di sekitarnya menampilkan arsitektur Cina, sedangkan Omah Ijo mencitrakan bangunan khas Timur Tengah yang telah berakulturasi dengan budaya Jawa. 
 
Gerbang rumah yang bercat dominan hijau putih ini bak pagar bumi: menjulang tinggi dan berdinding tebal. Masuk ke area bangunan, saya disambut halaman yang cukup lapang dan pohon yang membuat pekarangannya adem. 
 
Konon, hotel itu milik Grace Widjaya, cucu keluarga Oei. Kakek Grace, Oei Gwett, membeli rumah yang terletak di Jalan Jatirogo nomor 16 ini dari keluarga keturunan Persia pada 1923. Rumah ini diambil alih Oei tak lama setelah menikah. 
 
Omah Ijo pernah dipinjamkan kepada kolonial Belanda semasa perang. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, rumah ini menjadi kantor penjajah. Selepas merdeka, rumah ini sempat menjadi sekolah rakyat. 
 
Grace dan keluarganya tampaknya hobi mengoleksi benda-benda kuno. Ya, mata saya memang langsung dihujani interior Jawa yang autentik sesaat setelah tiba di rumah itu. Ada kursi kayu, lantai tegel bermotif kembang, hingga lampu-lampu antik. 
 
Di teras rumah berlantai dua itu, saya duduk di kursi sejenak, menikmati waktu yang melempar saya mundur ke era 1920-an. Saya melihat kamar-kamar di sisi bawah dipoles bak ruangan kuno dengan ranjang besi tempo dulu. “Kamar yang bawah, isi dua orang semalam Rp 200 ribu,” kata laki-laki muda yang menyebut diri sebagai pegawai Grace. “Sedangkan yang isi satu orang, semalam Rp 100 ribu,” katanya. 
 
Ternyata, penginapan itu juga menawarkan kamar dengan kasur isi tiga orang. Harganya jauh lebih murah, yakni Rp 250 ribu per orang. Tampak cocok untuk para backpacker yang berlibur ramai-ramai. 
 
Di sudut lain, saya melihat dinding-dinding penuh tempelan unik: rentetan istilah berbahasa Jawa lengkap dengan translatenya. Si empunya penginapan ingin mengajari tamu berbahasa Jawa melalui poster sederhana itu.
 Sepeda kumbang yang bisa disewa dari Rumah Ijo untuk para wisatawan. TEMPO/Francisca Christy Rosana
 
Di bagian tepi rumah, saya menjumpai sebuah jalan menuju menara. Ya, rumah ini memiliki menara. Menara itu bernama Merbabu. Dari balik menara, tamu dapat menyaksikan Kota Lasem yang bersahaja. Tak habis di situ, empunya rumah juga memajang koleksi sepeda ontel klasik berwarna. Tamu dapat meminjamnya untuk keliling Lasem. 

FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus