Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Pengelola Hotel Virtual Tak Lagi Bebas Beroperasi di Yogyakarta

Pemerintah Kota Yogyakarta berjanji menindak tegas maraknya sebaran hotel virtual, yang makin merambah ke perkampungan Kota Yogyakarta.

13 Januari 2020 | 21.26 WIB

Kampung Prawirotaman Yogyakarta selama ini menjadi surga bagi turis asing yang berkunjung ke Yogyakarta.
material-symbols:fullscreenPerbesar
Kampung Prawirotaman Yogyakarta selama ini menjadi surga bagi turis asing yang berkunjung ke Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Kota Yogyakarta berjanji bakal menindak tegas maraknya sebaran hotel virtual, yang belakangan makin merambah ke perkampungan Kota Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Mereka (hotel virtual) ini usaha manajemen yang bergerak di bidang layanan seperti hotel, menyewa bangunan penduduk tapi tidak berizin usahanya," ujar Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti usai bertemu perwakilan Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta Senin 13 Januari 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hotel virtual yang dimaksud, ujar Haryadi, yakni penyedia layanan manajemen perhotelan sejenis RedDoorz, Oyo, Airy Rooms, dan sebagainya. Usaha yang ditawarkan berbasis usaha jasa pengelolaan penginapan, namun menggunakan bangunan yang sudah ada. Bisa hotel dan non hotel.

Pemerintah Kota Yogya berjanji akan menerapkan regulasi serupa pada pelaku usaha hotel virtual itu. Sehingga sama kedudukan dan kewajibannya seperti usaha hotel yang beroperasi resmi, "Dasarnya kami meregulasi hotel virtual ini apa? Dasarnya IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dong," ujar Haryadi.

Sebab, ujar Haryadi, tak bisa serta merta bangunan yang perizinannya berfungsi sebagai tempat tinggal, tiba tiba berubah menjadi badan usaha. Tentu ada perlakuan berbeda karena dampak yang ditimbulkan.

Haryadi menuturkan hotel virtual di Yogyakarta belakangan masif merambah perkampungan. Mereka tak melalui prosedur usaha layanan yang biasa ditempuh pelaku usaha perhotelan, tapi bisa menangguk keuntungan maksimal dari bidang yang sama.

Pertumbuhan hotel di Yogyakarta yang pesat, membuat bisnis hotel di kota itu seret. Pada haris biasa, okupansi hanya 40 persen dari target 70 persen. Selain itu, mereka juga harus bersaing dengan hotel virtual. TEMPO/Pribadi Wicaksono

 

"Tiba tiba ada bangunan di kampung sudah terdaftar di RedDoorz, di Oyo, dan sebagainya. Padahal ketika mereka beroperasi itu kan juga harus ada proteksi kepada konsumen," ujarnya.

Haryadi mencontohkan, saat orang menginap 1 x 24 jam di perkampungan ada aturan harus lapor RT/RW. Hal ini tak terjadi pada layanan hotel virtual ini.

Dikhawatirkan ketika hotel virtual ini tanpa pengawasan dan jaminan perlindungan pada konsumen, terjadi hal hal tak diinginkan pada konsumen dan tak ada penanggungjawab.

"Misalnya di hotel virtual itu ada kejadian konsumen keracunan makanan, atau hal-hal lain yang tak diinginkan yang merugikan masyarakat, siapa yang menanggung?" ujarnya.

Lebih jauh, Haryadi menilai, tanpa prosedur perijinan dan kewajiban yang jelas, hak hak konsumen yang memanfaatkan layanan hotel virtual ini rentan diabaikan.

Lebih jauh, masifnya pelaku hotel virtual mengubah atau menyewa bangunan tak resmi untuk usaha perhotelan, dikhawatirkan meluas ke arah mengubah fungsi atau mempermak bangunan heritage yang sebagian masih dikelola perorangan.

Ketua PHRI DIY Deddy Pranowo menuturkan keberadaan hotel virtual ini sebenarnya sudah mulai meresahkan dalam kurun setahun terakhir, "Pendataan kami sementara ada empat pelaku (brand) hotel virtual ini di Yogya," ujar Deddy.

Hotel virtual ini, ujar Deddy, biasanya saat peak season menerapkan tarif berkisar Rp 500 ribu bahkan ada yang sampai Rp. 1,25 juta per malam seperti hotel berbintang di Yogyakarta pada umumnya.

Deddy menuturkan dampak paling terasa dari hotel virtual ini ketika wisatawan membeludak ke Yogyakarta, namun ternyata serapannya ke hotel yang ada tak sebanding. Karena sebagian wisatawan terserap ke hotel virtual itu.

Keraton Yogyakarta masih menjadi destinasi wisata yang paling diminati wisatawa. Saat wisatawan membludak, hotel justru pendapatannya tak signifikan. TEMPO/Pribadi Wicaksono

"Ketika capaian PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari pajak hotel turun, tetap kami yang dikejar kejar pemerintah, padahal wisatawan memilih hotel virtual yang tak bayar pajak," ujarnya.

Deddy mengatakan, dampak hotel virtual saat ini di Yogyakarta berpotensi mencaplok sekitar 15 persen dari okupansi yang seharusnya menjadi pasar perhotelan.

PRIBADI WICAKSONO

Ludhy Cahyana

Ludhy Cahyana

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus